Seseorang yang baru datang, tanpa ba -- bi -- bu masuk.  Ia diam seribu bahasa. Hanya matanya yang setajam elang terus menyorot ke arah Kacong dan tamunya yang lain. Mukanya merah padam. Para tamu jadi tak enak hati, mereka merasa kikuk. Dalam hati mereka yakin, seseorang ini bukan orang lain dalam keluarga, mungkin anak atau saudara.Â
Tapi siapa? Tatapan matanya yang penuh dengan kebencian dan permusuhan jelas bukan sambutan yang ramah. Saat itulah Pak Djati keluar, dengan diiringi oleh pelayan. Dan sekarang, pendatang itu ganti menatap Pak Djati penuh tanya dan raut mukanya bernada protes. Sejenak Pak Djati gelagapan, hingga pria yang datang segera berbalik menuju pintu, dan menutup pintu keras -- keras... Brakkk...
    Semua tamu berpandangan. Sementara Pak Djati, merasa kehilangan muka di depan tamunya, gopoh -- gapah dialihkannya dengan perintah ke bawahannya...
    "Ayo Rusdi... segera taruh makanan dan minumannya di sebelah sana!" dengan sigap ia turut membantu. Beberapa detik kemudian, beberapa mangkok makanan dan minuman segarkelapa muda telah terhidang. Makanan khas Banyuwangi pula, Rujak Soto.
    "Oh ya, ini namanya Rujak Soto. Kuliner khas Banyuwangi yang terkenal. Ayo, mari mari!" ujar pak Djati seraya membuka toples kerupuk.
    "Ayo Pak Kacong ajak mereka makan. Kan perjalanan dari Jakarta jauh... capek tentunya!" dan akhirnya mereka semuapun makan dengan lahapnya. Seusai makan, segelas jeruk hangat terasa begitu pas membasahi kerongkongan. Lalu Pak Djati membuka pembicaraan.
    "Mohon maaf semuanya, yang datang tadi adalah keponakan saya, Birowo. Dia juga salah satu pejabat perkebunan di sini, dibawah saya..." ucap Pak Djati sambil menghela nafas yang berat, sementara pandangannya tetap menerawang jauh ke depan.
    "Mm... tapi mengapa sikapnya seperti itu?" Kamal memberanikan diri bertanya.
    "Iya pak, kami jadi tak enak hati. Belum apa -- apa sudah ada permasalahan begini..." Surya dari kantor ILO Jakarta menimpali.
    "Tenang, tidak apa -- apa. Selama saya menjabat di sini, saya jamin kegiatan ini akan berjalan! Jangan kuatir!" Pak Djati menyapukan pandang mengharap keseluruh tamunya. Ia coba yakinkan mereka. Para tamu mengangguk -- angguk, namun mereka sepertinya masih menunggu jawaban Pak Djati.
    "Jadi begini, setelah proses korespondensi dan kontak dengan ILO beberapa bulan lalu, perkebunan ini seolah terbelah suaranya, terutama di kalangan pejabat. Ada yang menolak dengan keras, proses transformasi perkebunan lebih modern humanis, beradab dengan mengakomodir sumber daya eksternal.Â