Geneva, Switzerland
“Sudah siap?” Tanya Stefan kepada istrinya, Nicola. Hari ini mereka akan pergi ke Geneva, Swiss untuk berkunjung ke rumah kakak mereka. Ada hal yang akan dibicarakan. Dalam sambungan telepon kemarin, suara Martin terputus-putus. Salju yang ekstrim menjadi kendala cuaca, membuat sinyal komunikasi menjadi buruk.
“Ok, sudah,” ujar Nicola sambil memasukkan barang-barang ke bagasi. Pasangan muda ini baru saja menikah 3 bulan lalu, dan kunjungan ke Indonesia setahun kemarin sebagai bulan madu mereka. Bulan madu yang sangat berkesan. Menyaksikan eksotisme alam Indonesia, perkebunan, penangkaran penyu, juga Taman Nasional! Wow! Apalagi sejak muda, mereka suka sekali dengan Adventure tour! Bahkan, keduanya sejak sekolah hingga mahasiswa tercatat sebagai atlit panjat tebing! Seperti kebanyakan orang Eropa Barat yang gemar sekali berolahraga outdoor: ski, panjat tebing, berenang, mendaki, dan lain-lain sehingga mereka tetap bugar diusia yang tak lagi muda. Sering dijumpai, seseorang yang mendaki dan berjalan di bukit dan gunung, berusia lebih dari 60 tahun! Dan napas mereka masih sangat kuat dan panjang! Kaki mereka juga sangat kokoh. Di negeri asal mereka, mereka terbiasa berjalan kaki dan bersepeda. Tidak seperti orang Indonesia, jauh sedikit sudah menggunakan kendaraan bermotor, begitu manja. Tak heran, banyak dihinggapi penyakit karena kurang bugar.
Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya Stefan dan Nicola sampai di Geneva. Geneva adalah rumah bagi puluhan organisasi internasional seperti UN OHCHR*, WHO*, ILO*, UNCHR* dan yang lain . Apalah itu, Stefan yang seorang arsitek tak begitu paham. Seperti halnya Swiss, yang disebut – sebut sebagai kota teraman dan ternyaman di dunia. Segala aktifitas internasional ada di Swiss, termasuk aktifitas yang cukup memusingkan Pemerintah Swiss: tidak pidana pencucian uang. Untuk menanggulangi hal itu, Indonesia dan Swiss telah sepakat membuat kerjasama memberantas praktek tersebut.
Tak terasa mobil BMW Stefan telah sampai di depan rumah kakaknya. Ia membunyikan klakson. Namun, Stefan merasakan ada tamu di rumah Martin.
“Apakah ada tamu?” tanya Stefan sambil melongok ke dalam.
“Oh, betul. Temanku. Kebetulan ia juga ingin bertanya sedikit …” jawab Martin.
“Umm, tentang apa?” alis Stefan agak berkerut.
“Soal liburanmu tahun kemarin ke Indonesia”
"Apakah ini juga yang ingin kau tanyakan waktu di telepon kemarin?"
"Mm betul. Sengaja kuminta Martin kemari.."
"Oh baiklah!” wajah Stefan sumringah dan mereka bertiga pun masuk ke dalam.
Di ruang tamu, terlihat seseorang duduk sambil memegang smartphone besar. Posturnya tinggi besar seperti seorang militer, dengan rambut cepak. Otot-otot tangannya terlihat kekar dan terlatih. Ia mengangguk ke arah Stefan dan Nicola.
“Fitz, ini Stefan ” Martin membuka pembicaraan.
“Oh, hai… aku Fitzgerald. Senang bertemu kalian” jawab Stefan. Keakraban dan budaya Eropa tentu berbeda dengan budaya ramah tamah Asia yang hangat. Hanya saling mengangguk dan tersenyum. Martin mengambil posisi di tengah, sedangkan tamu dan adiknya berhadap – hadapan.
“Stefan, Fitz ingin minta sedikit bantuanmu” ucap Martin.
“Oh ya, dengan senang hati akan kubantu. Sejauh aku bisa!” jawab Stefan. Fitz agak memajukan badannya, pertanda ia akan menyampaikan sesuatu yang serius.
“Baik. Jadi begini Stefan. Aku bekerja pada kantor ILO di kota ini. Aku menangani ILO untuk daerah operasi Asia Tenggara. Aku ingin sedikit bertanya kepadamu. Kabarnya kau baru pulang dari Indonesia?” tanya Fitz.
“Oh betul, wahhh… betul – betul surga yang tak ada duanya!” Stefan menjawab antusias.
“Kabarnya kau mengunjungi perkebunan di sana?” Fitz bertanya lagi.
“Ai… Iya… Ummm, tak terlupakan!” Stefan memandang istrinya. Ia ingin Nicola ikut menjelaskan.
“Wah, kebetulan. Jadi kantor kami ingin mengadakan project pelatihan ekowisata di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Karena kami dengar, pemanfaatan dan pemberdayaan para pekerja sudah semakin bagus di sana. Perkebunan tidak lagi seperti aktifitas masa lalu yang hanya menjual barang mentah lalu dikapalkan. Kegiatan – kegiatannya sudah bervariasi, termasuk perkebunan bisa dibuat sarana wisata!” urai Fitz.
"Ah...menarik..."!
“Oh, betul Fitz! Itu ide yang sangat bagus! Dengan sentuhan pelatihan dan pendidikan dari ILO, pasti operator – operator wisata di sana semakin memahami wisata berkelanjutan atau Sustainability tourism. Biasa disebut juga Greentourism. Wisata berorientasi konservasi dan penyelamatan lingkungan!” kali ini Nicola ikut angkat bicara. Karena berkuliah di jurusan manajemen wisata, tentu ia lebih memahami hal ini.
“Oh… fantastic. Sekarang ceritakan lebih detail tentang pengalaman kalian di sana… dimana itu jadi masukan yang sangat berharga bagi kami dari ILO…” ujar berharap. Maka dengan antusias, Nicola dan Stefan pun menceritakan pengalaman mereka selama di perkebunan.
“Umm…kebetulan juga! Pak Kacong, Manajer Sunrise Holiday yang menghandle tour kami ke perkebunan adalah juga Ketua Organisasi Guide Cabang Malang Raya. Disebut juga HPI atau ITGA*. Organisasi ini bagian dari WFTGA*. Ia juga menjadi koordinator Guide di Banyuwangi, karena di Banyuwangi belum ada organisasi seperti itu. Mungkin kau membutuhkan bantuannya…!”
“Oh, tentu. Menurut atasan kami, ILO memang akan bekerjasama dengan koordinator yang telah direkomendasikan. Kami memang akan dihubungkan dengan orang tersebut. Mm bagus sekali kau telah bertemu. Bagaimana orangnya?”
“Orangnya ramah. Enak diajak bekerjasama. Dia memahami betul daerah perkebunan itu. Dalam pengertian geografis dan psikologis…”
Fitz manggut-manggut mendengarnya.
“Oke, itu semua hal yang amat menarik tentang perkebunan tersebut. Kira – kira apa yang bagi kalian jadi kendala selama kegiatan kemarin?”
Sejenak suami istri itu saling berpandangan. Fitz mengerutkan dahi. Sebagai Senior Officer di ILO yang telah berpengalaman selama bertahun – tahun, jelas ia mencium ketidakberesan.
“Ayo, jangan ragu – ragu! Katakan saja, ini bisa jadi masukkan yang sangat berharga bagi kantor!” seru Fitz.
“Umm… begini, di perkebunan itu sepertinya sedang ada masalah. Tapi apa masalahnya kami tak tahu. Hanya kami sempat merasa ada sedikit terror saat di sana…”
“Memang waktu itu ada kejadian apa?” Fitz memburu.
“Barang kami sempat hilang. Entah ada yang menyembunyikan atau kami lupa. Namun beberapa saat, tiba-tiba kembali lagi pada tempatnya semula. Kedua, waktu makan siang di restoran perkebunan. Pintu sempat dikunci dari dalam, hingga membuat kami menunggu lama. Akhirnya Nicola marah-marah dan kesal. Menurut kami, sepertinya ada pihak yang tidak suka dengan wisata perkebunan,” urai Stefan.
“Oh, begitu, lalu apa yang terjadi?” Fitz benar-benar penasaran.
“Ada penduduk yang memandang kami dengan perasaan tidak suka, juga pejabat dan pegawai disana yang masih cukup muda namun terasa tidak bersahabat. Selebihnya menyenangkan! Aku bergembira untuk keindahan alam yang luar biasa dan proses pengemasan dan pengolahan kopinya. Tapi untuk masalahnya ya itu tadi yang kusampaikan,” Stefan menjawab gundah gulana.
“Mm…, ok baik! Sementara seperti itu... Kalau engkau tak keberatan, aku minta tolong foto-foto dan data soal perkebunan yang baru kau kunjungi untuk kau kirimkan ke emailku…,” Fitz meminta.
"Oh ya...pasti!"
BERSAMBUNG...
Catatan :
OHCHR ( Office of United Nations High Comissioner for Human Rights) Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia
ILO (International Labour Organization)/Organisasi Perburuhan PBB
WHO (World Health Organization)/Organisasi Kesehatan Dunia PBB
UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)/ Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi
ITGA (Indonesian Tour Gudie Association)/ Himpunan Pramuwisata Indonesia
WFTGA (World Federation Tour Guide Association)/Organisasi Guide Internasional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H