Perjanjian Paris atau Paris Agreement merupakan kesepakatan pengurangan emisi gas rumah kaca, adaptasi dan pembiayaan dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (OJK, 2017). Kesepakatan tersebut dirundingkan oleh 195 Â perwakilan negara-negara pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 di Paris, Prancis.Â
Pengejawantahan Paris Agreement dalam mengurangi secara drastis penggunaan bahan bakar fosil dapat dengan berbagai cara, Misalnya dengan menggiatkan penggunaan bahan bakar dan pembangkit tenaga listrik ramah lingkungan, transportasi masal, dan pembangunan infrastruktur yang mendukung pengurangan emisi karbon (green infrastructure) dll. Implementasi beragam solusi tersebut tentunya memerlukan dukungan pembiayaan.
Pembiayaan proyek-proyek tersebut dapat memanfaatkan dukungan dari berbagai lembaga keuangan internasional dengan berbagai skema. Salah satu skema yang dirintis oleh World Bank adalah dengan menerbitkan Green Bond (GB) (Hariyanto.2015). Selain itu, Pembiayaan juga dapat berasal dari instrumen pembiayaan masing-masing negara. Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam memiliki potensi yang sangat besar untuk memanfaatkan pembiayaan Syariah, tak terkecuali untuk mengatasi permasalahan tersebut. Indonesia dapat memanfaatkan instrument pembiayaan Syariah berupa green sukuk sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.Â
Penggunaan intrumen pembiayaan green sukuk berpotensi menjadi katalisator pembangunan negara yang ramah lingkungan. Hal tersebut karena alokasi pembiayaan green sukuk digunakan untuk membiayai berbagai proyek ramah lingkungan.Â
Sebagai contoh, Green sukuk terbitan Maret 2018 dimanfaatkan untuk refinancing proyek 2016 sebesar 51 persen yang sepenuhnya merupakan proyek aksi mitigasi serta diketahui seberapa banyak emisi gas rumah kaca yang tereduksi dan dampak lain terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG'S) (Setiawan, 2020). Tentu saja hal ini dapat berdampak positif bagi pembangunan maupun lingkungan.
Sebagai simulasi dampak penggunaan instrumen green sukuk, (Setiawan, 2020) menjelaskan bahwa dengan berinvestasi pada green sukuk ST007 misalnya senilai Rp1 juta, sudah berpotensi menurunkan emisi karbon kurang lebih 2 ton. Angka ini setara perjalanan Jakarta-Bandung dengan kendaraan roda empat sebanyak 56 kali.Â
Perhitungan tersebut juga setara dengan menanam 200 pohon manggis yang memiliki manfaat sangat baik bagi lingkungan. Hal ini terbukti pada Green sukuk terbitan Maret 2018, yang diantaranya membiayaai pengembangan 121 fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik mikrohidro dan minihidro. Pembangunan pembangkit ramah lingkungan ini telah memberi dampak dengan mengurangi 13.044,474ton CO2 (DJPPR dalam (Setiawan, 2020)).
Kesimpulan
Green sukuk merupakan instrumen keuangan berbasis prinsip syariah yang diterbitkan untuk mendanai kegiatan investasi yang memberikan manfaat bagi lingkungan dan mendukung upaya penanggulangan dampak perubahan iklim. Indonesia menjadi negara pionir dalam penerbitan obligasi hijau di kawasan Asia Tenggara.Â
Penerbitan green sukuk ini memberi dampak positif bagi perekonomian negara Indonesia. Green sukuk membantu pembiayaan negara dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dari segi infrastruktur dan pelayanan publik yang ramah lingkungan serta membantu mengatasi ancaman perubahan iklim.Â
Penggunaan intrumen pembiayaan green sukuk berpotensi menjadi katalisator pembangunan negara yang ramah lingkungan. Hal tersebut karena alokasi pembiayaan green sukuk digunakan untuk membiayai berbagai proyek ramah lingkungan.