Hal tersebut megindikasikan bahwa masyarakat memberikan respon positif terhadap penerbitan green sukuk sehingga penerbitannya dilanjutkan pada tahun-tahun setelahnya.
Pada penawaran green sukuk ritel ST006 di November 2019, pemerintah berhasil menghimpun dana masyarakat sebesar Rp1,46 triliun yang memiliki partisipasi investor muda berusia 18 hingga 38 tahun yang mendominasi investasi yakni sebesar 51,07% atau sebanyak 3.950 orang dari total keseluruhan investor ST006 (Setiawan, 2020). Â
Dengan partisipasi kelompok milenial mengindikasikan bahwa literasi keuangan kelompok milenial semakin membaik dan mereka semakin peduli terhadap isu-isu lingkungan.Â
Dengan berinvestasi melalui green sukuk, Kelompok milenial akan mendapat manfaat langsung dari investasi yang ditanamkan dan keberlanjutannya, baik dari segi finansial maupun manfaat terhadap lingkungan di masa depan.
Penerbitan green sukuk berlanjut di tahun 2020. Indonesia meluncurkan Sukuk Tabungan berseri ST007 oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan pada awal November 2020. Green sukuk ST007 ini ditawarkan hingga 25 November 2020. Ini adalah green sukuk tahap kedua sejak seri perdana ST006 diluncurkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada November 2019. Sukuk Ritel Hijau seri ST007 mencatatkan rekor jumlah penjualan dan investor terbesar selama penerbitan Sukuk Tabungan. Pemerintah telah menetapkan jumlah pesanan pembelian ST007 menjadi Rp 5,42 triliun, dengan total 16.992 investor (Sharianews, 2020).
Kontribusi Terhadap Lingkungan
Berinvestasi melalui instrumen green sukuk selain berkontribusi terhadap perekonomian negara juga membantu menjaga lingkungan, terutama mengatasi ancaman perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi akibat dorongan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperdulikan daya dukung lingkungan seperti industrialisasi, penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan, dan pembalakan hutan secara massif. Hal tersebut menjadi penyebab utama meningkatnya pemanasan global. (Harianto, 2015) menjelaskan bahwa kondisi ini berdampak pada kenaikan suhu rata-rata di bumi, perubahan curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan frekuensi bencana yang berhubungan dengan cuaca seperti penyediaan sumber kebutuhan pokok manusia.
Dengan dampak seperti itu diperkirakan pada tahun 2100 suhu rata-rata di bumi meningkat sebesar 4,5 derajat Celcius dan permukaan air laut naik sekitar 95 cm. Beberapa negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, Maladewa, dan Karibia akan kehilangan sebagian besar wilayahnya (Harianto, 2015). Dilansir dari (Merdeka.com, 2019), Jika suhu terus naik dan permukaan air laut naik, Indonesia akan menghadapi ancaman kehilangan Pulau Bali.Â
Hal ini disebabkan oleh peningkatan prakiraan curah hujan jangka panjang. Bahkan, curah hujan di wilayah Bali meningkat setiap lima tahun. Nusa Penida terancam menjadi pulau yang tenggelam pertama. Diperkirakan pada tahun 2050, Bali akan terendam laut seluas 489 kilometer persegi.Saat ini, Bali memiliki luas minimal 5.632 kilometer persegi.
Pemanasan global juga terjadi akibat tingginya intensitas penggunaan bahan bakar fosil. Harianto (2015) menjelaskan, dari hasil penelitian para ahli lingkungan menyebutkan bahwa 26% penyumbang pemanasan global berasal dari penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga listrik, sarana transportasi, dan mesin-mesin industri.Â
Penggunaan bahan bakar tersebut menghasilkan emisi gas CO2 berlebih ke udara sehingga menimbulkan efek rumah kaca. Guna mengatasi permasalahan tersebut, berbagai negara bertekad mengurangi secara drastis penggunaan bahan bakar fosil dengan berbagai cara, yang dideklarasikan pada Paris Agreement.