Mohon tunggu...
Seruni Tri Padmini
Seruni Tri Padmini Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan biasa yang belajar menyukai Qur'an dan puisi

perempuan biasa yg ingin meninggalkan tilas lewat tulis (an)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Media Indonesia, 04 Februari 2018

5 Februari 2018   19:14 Diperbarui: 5 Februari 2018   19:16 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

2 dari 7 puisi Seruni Unie yang tampil di Media indonesia, 04/02/2018

APHOLOGI  II

                           

Kelak kau paham, akulah perempuan sudra yang rajin merawat kegilaan

Sejak waktu tersungkur mengajari syukur, segala malam adalah wahyu

Untuk sekedar mengintip doamu dari kepungan jarak sendu

Sebab selalu kuingin berkhalwat, setiap adzan lewat

Menikmati pelukan khidmat

Sekalipun dalam hayal sesaat

Kau pasti tahu, langkahku terlanjur majnun

Membiarkan mimpi tumbuh anggun pada rendah hatimu

Menciumi lebat zikir, tanpa pernah merasa pandir

Begitulah, garis tanganku hari ini

Menggantung doa pada brahmana

Dikejauhan manah

Meski mungkin tak merekah  

Mungkin kau tak berkenan

Tapi sebagai hamba, aku hanya mampu bertaat

Mengikuti alur kodrat, mengikblati sunyi syahwat

Dipinggiran waktu

: hingga maut dan usia bercumbu

     Solo, 2017

NYANYIAN ABDI

1.

Mukjizat macam apa yang diamdiam kau punyai, tuan muda ?

Sebab setelah percakapan itu pecah, seketika malamku bermasalah

menjadi kecentilan, menjadi lebih bugar. Lalu diantara subuh, segala indraku luluh. Bertakzim di paragrafmu, memilin doa gaduh

di luar ekspetasi

Maka maaf, andai suatu petang puisi mengajakmu berbincang

abaikan! karena jauh-jauh hari, aku telah membunuh sunyi. dari jeratan rasa sinting paling bengal. Dari permainan waktu tak waras

sejak menemuimu ...

2.

Bagaimana harus kujelaskan ?, bila bulan yang kuimani mirip sendawa sepenggal. Atas ketololan diri, membiarkan batin bertengkar. Menghardikmu dengan bening kata, memujamu dalam cuka

hanya karena perjumpaan lalu semisal malakama

menusuk dhuha, menimang kegilaan raga

bagaimana harus kujelaskan ?

bila kali ini, ada hati terkapar di telapak kaki

             Solo, 2017

:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun