Mohon tunggu...
Riecki Serpihan Kelana Pianaung
Riecki Serpihan Kelana Pianaung Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

"Hidup hanya berkelana dari sebuah serpihan untuk "menuju" mati" ____________________________________ @rskp http://www.jendelasastra.com/user/riecki-serpihan-kelana-pianaung https://domainxx.blogspot.co.id/ https://www.youtube.com/watch?v=M11_fpnT5_g&list=PL1k1ft1F9CCobi2FMkdqQ6H4PFFWPT--o&index=2 https://www.evernote.com/Home.action#n=c9ce48a1-38c2-4b2b-b731-c340d3352d42&ses=4&sh=2&sds=5&

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cersil] Pendekar Lembah Tarsius

21 Juli 2016   12:39 Diperbarui: 21 Juli 2016   12:49 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: assassin's creed fan art


Dalam kisah : Selarik Jubah  Kamamares*

Pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, kerajaan - kerajaan  yang ada di jazirah utara Celebes      merupakan bagian terpenting dari cita – cita Patih Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara. Tersebut antara lain; kerajaan Bawontehu, kerajaan Tampungang Lawo, kerajaan Kendar, kerajaan Siau, kerajaan Mandolokang, kerajaan Talaud, kerajaan Mongondow, kesultanan Ternate dan Tidore, kesultanan Sulu dan Mangindano ( Mindanao/Philipina). Bahkan kerajaan – kerajaan ini merupakan garis terdepan ekspansi Majapahit ke Indo – Cina 600-700 tahun silam.

Di kejoguguan Witung. Tepatnya di sebuah pelabuhan berupa dermaga kayu tempat kapal – kapal kayu berlabuh dan berbuang sauh. Di sepanjang pantai itu berjejer pohon – pohon Witung. Wilayah itu masih masuk dalam kekuasaan kerajaan Bawontehu. Tidak banyak penduduk mendiami kejoguguanWitung itu. Dan diseberang kejoguguan Witung itu tampak sebuah pulau, namanya pulau Lembeh, sebagai tameng bagi gelombang yang besar. Sehingga Pelabuhan kayu itu merasa aman dari amukan badai dan topan samudera.

Pada masa itu, para raja – raja itu saling memberikan cendera mata sebagai tanda persaudaraan dan persahabatan ataupun juga sebagai kerajaan taklukan sehingga kerajaan yang ditakluk akan mengirim upeti kepada kerajaan penakluk. Maka jalan satu – satunya harus melewati jalur laut. Di dermaga kayu itulah yang menjadi tempat untuk menerima dan mengirim cendera mata tersebut.

Pagi itu, ada beberapa peti berisi  cendera mata  yang dikirim dari kerajaan Siau untuk kerajaan Bawontehu lewat sebuah kora – kora**. Oleh karena kerajaan Bawontehu mempunyai pertalian kekeluargaan dengan kerajaan Siau.

Nampak prajurit kerajaan sekaligus pengawal ekspedisi dari kerajaan Siau menurunkan beberapa peti  berlambang kerajaan, siap di angkut dengan kereta kuda menuju  kota raja Bawontehu. Para pengawal ekspedisi itu berjumlah delapan orang. Prajurit penyambut hadiah itu berjumlah dua orang.

Dua buah kereta kuda yang mengangkut rombongan ekspedisi pembawa hadiah kerajaan itu bertolak dari dermaga kayu. Perjalanan menuju kota raja  Gahenang memakan waktu sehari semalam. Dengan melewati perbukitan dan hutan belantara.

Ketika matahari mulai menyisir hingga ke ubun kepala, rombongan itu akan memasuki sebuah hutan yang lebat dengan pepohonan. Tiba – tiba rombongan itu terhenti perjalanan mereka. Ada sekelompok orang berpakaian hitam dan memakai topeng tengkorak menghadang perjalanan mereka. Jumlahnya kurang lebih duapuluhan orang. Semuanya siap dengan pedang di tangan.

“Siapa kalian , berani menhgadang perjalanan kami!”

“Ha, ha, ha,,,,ekspedisi kerajaan,,pasti membawa barang berharga. Ha, ha,ha,,, kebetulan sekali. Kami butuh barang tersebut. Tinggalkan peti – peti itu , dan kalian angkat kaki dari wilayah kami ini, jika kalian masih menyayangi nyawa kalian!” Seorang kepala penjahat itu berkata.

“Hehh,,kalian para perampok, tak ubahnya seperti tikus yang bersembunyi dalam karung. Menutupi wajah kalian dengan topeng. Kalian kira kami takut dengan gertakan kalian!” kepala pengiriman ekspedisi itu menjawab

Dengan geram kepala perampok itu menyerang. Maka terjadilah pertempuran. Para perampok itu ternyata memiliki ilmu yang cukup lumayan. Para kelompok ekspedisi itu menjadi terdesak. Apalagi jumlah mereka kalah jauh di banding dengan para perampok itu. Satu persatu anak buah ekspedisi itu jatuh tak berkutik lagi.

Melihat keadaan itu, kepala ekspedisi segera meloncat ke salah satu kereta  kuda yang berisi sebuah peti berukuran sedang lalu menghentak  tali kekang kuda. Kuda penarik kereta  itu meringkih dan berlari sekencangnya. Kepala perampok tak tinggal diam. Tubuhnya bergenjot segera mengejar kereta  kuda itu. Ilmu meringankan tubuhnya cukup lumayan hingga dapat mengimbangi lajunya kereta kuda itu. Dan iapun berhasil melompat ke atas kereta  itu. Melihat lawannya berhasil mengejarnya, kepala ekspedisi itu menyerang. 

Maka terjadilah pergulatan di atas kereta  kuda yang sedang berlari. Kepala perampok itu sungguh tangguh bagi kepala ekspedisi. Hingga detik berlalu  tali kekang kuda itu berhasil di lilitkan pada leher kepala ekspedisi itu. Kuda penarik kereta  itu seketika berhenti. Sesaat lidah kepala ekspedisi itu terjulur lalu mati seketika di tangan kepala perampok. Kepala perampok itu segera menghentikan segera kereta.

Tiba – tiba berkelebat dua bayangan hitam dari arah yang sama. Seakan menerjang kereta kuda yang dinaiki oleh kepala perampok..Kereta itu ambruk dan kepala perampok terlempar jauh dan tubuhnya menghitam seperti terbakar lalu menggelepar sesaat dan mati seketika.

Dua bayangan hitam itu ternyata adalah dua orang pria bertubuh tinggi dan besar. Sambil berdiri di samping peti yang jatuh bergelinding dari kereta yang telah ambruk.Para anak buah perampok yang melihat hal itu hanya berdiri diam dan melongo.

Dua orang pria  tua yang berpakaian hitam – hitam itu adalah tokoh kaum sesat. Mereka di kenal sebagai Dua Malaikat Hitam  Mangindano. Kesaktian mereka setara dengan Dewa Pengemis dari Akhirat dan Iblis Betina Pesolek, guru dari Sense Madunde si pendekar muda sakti dari lembah Tarsius.

~~~~~~~~~~~~~~

Kemana saja Sense Madunde si Pendekar Sakti Lembah Tarsius ? Setelah berhasil mengalahkan seorang tokoh hitam berjuluk Raja Langit Sense Madunde melanjutkan  pengembaraannya ke kota raja. (Baca Sepasang Iblis Anoa Hutan Tangkoko).

Sepanjang perjalanannya, Sense Madunde berhasil menumpas gerombolan – gerombolan penjahat. Hingga namanya menjadi harum dan tersebar kemana – mana. Dia menjadi seorang pemuda tangguh.  Sebagai pendekar yang menegakan keadilan dan kebenaran. Sepak terjangnya membuat lawan menjadi keteter.

Kehadiran Sense Madunde dalam kancah persilatan, membuat para tokoh – tokoh hitam maupun pendekar – pendekar sejati keluar dari pertapaan mereka. Mereka ingin berjumpa bahkan ingin menjajal kemampuan sakti mereka dengan pendekar lembah Tarsius itu. Atau mungkin ada sesuatu hingga para tokoh – tokoh itu berkeliaran di rimba persilatan. Namun Sense Madunde sangat jarang muncul di dunia keramaian.  Pendekar sakti itu hanya muncul bila ada sekelompok orang yang ditindas semena – mena oleh kaum penjahat.

Dari pengembaraannya telinga sempat menangkap sebuah berita tentang peta rahasia. Yang banyak tahu tentang berita ini adalah dari kalangan golongan hitam atau kaum sesat. Konon ada sebuah peta yang akan di bawah ke kota raja dari sekelompok pengawal kerajaan. Peta rahasia  berisi tentang sebuah ilmu sakti dari seorang Datuk dari sebuah kerajaan di Saluhang yaitu Kulano Gumansalangi.

Sense Madunde merasa tertarik dengan kabar burung tersebut. Pikirannya, pasti para pengawal kerajaan  yang membawa kiriman dimulai dari dermaga kayu kejoguguan Witung. Segera langkah kakinya kembali menuju daerah yang tidak asing baginya. Karena daerah itu tidak jauh dari hutan Tangkoko tempat asalnya.

Setelah semalam menepuh perjalanan panjang akhirnya Sense Madunde memasuki daerah hutan lebat. Lapat – lapat telinganya yang tajam mendengar suara orang sedang beradu mulut. Lalu kemudian suara itu berubah seperti sedang bertempur. Rupanya kedatangan Sense Madunde terlambat. Para pengawal atau ekspedisi kerajaan itu telah tewas. Dengan berendap – endap Sense Madunde mendekati suara pertempuran itu.

Benar saja. Ternyata setelah berhasil menewaskan kepala perampok dan para anak buahnya.  Dua Malaikat Hitam dari Mangindano berhasil membuka sebuah peti. Di dalamnya berisi buku – buku kerajaan. Namun salah satu buku tiba – tiba mengeluarkan cahaya kuning keemasan. Kedua Malaikat Hitam itu saling berebutan buku tersebut.

Yakang, biar aku yang menyimpan buku itu!”

“Tidak, Tuari, aku yang tertualah yang berhak menyimpan buku peninggalan leluhur kita dari Mangindano. Buku ini berisi peta rahasia, yang di bawah  oleh Datuk Kulano Gumansalangi, kita harus kembalikan buku ini pada yang berhak!”

Akhirnya perselisihan  itu berubah menjadi pertempuran antara dua bersaudara Malaikat Hitam. Ilmu keduanya sama berimbang. Namun kecepatan masih jauh dari sang adiknya.  Hingga suatu ketika, seorang yang di sebut tuari berhasil menyentil pergelangan tangan kanan pada seorang yang di panggil yakang. Buku dalam genggaman kakaknya terlempar ke udara. Keduanya segera melompat dengan sangat cepat untuk merebut buku itu.

“Srrrreeeettt,,,,,” Buku itu robek menjadi dua bagian.Masing – masing memegang sepotong buku itu.

Belum sempat hilang kekagetan mereka, tiba – tiba sekelebat bayangan kuning menyerang kepada seorang yang di sebut tuari. Sense Madunde  bergerak  dengan sangat cepat. Jurus maut “Dewa Pengemis” dilancarkannya.  Sebuah tendangan berhasil mengena dada kiri dari adik Malikat Hitam. Tubuhnya terjengkang. Lalu Sense Madunde berhasil merampas sepotong buku dari genggaman sang adik dari Malaikat Hitam.

“Hei, anak muda, mengapa mencampuri urusan orang. Kembalikan sepotong buku itu!”

Sang kakaknya kaget dengan gebrakan Sense Madunde. Hanya dalam tiga jurus saja adiknya tak berkutik dibuatnya. Masih beruntung Sense  Madunde tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga adiknya tidak terluka parah.

“Aku tidak mencampuri urusan kalian. Tetapi, buku ini tidak berhak dipegang oleh orang – orang yang rakus dan tamak seperti kalian. Buku ini adalah milik kerajaan Bawontehu, sebagai hadiah dari kerajaan Siau!”

“Bedebah busuk, bersiaplah menghadap raja akhirat!”

Dengan mengeluarkan lengkingan panjang sang kakak Malaikat Hitam menyerang dengan jurus mautnya. Nampak asap hitam keluar dari lubang pori – pori tangannya. Pertanda ilmunya mengandung racun berbahaya.

“Hiiiiiiaaaatttt…..”

Sense Madunde menghadapinya dengan jurus “Tapak Pengemis Memetik Rembulan”. Kali ini Sense Madunde menghadapi lawan yang cukup tangguh. Apalagi jurus – jurus yang penuh hawa beracun. Ilmu  silat beracun ini hanya dimiliki oleh orang – orang dari negeri  Mangindano. Oleh karena itu Sense Madunde tidak menganggap enteng lawannya ini.

Segera dia pun merubah jurusnya. Memainkan jurus yang diciptakan oleh kedua orang gurunya sekaligus orangtua angkatnya. yakni “Telapak Anoa Menjaring Tarsius”.Penggabungan dua ilmu yang bersumber dari dua hewan di hutan Tangkoko yaitu Anoa yang kuat dan Tarsius yang lincah gesit.Sungguh mengagumkan. Tenaga  Sense Madunde berlipat ganda, dan kegesitannya tak bisa di ikuti dengan mata. Tubuh Sense Madunde seakan lenyap, lalu tiba – tiba muncul dari arah belakang, lalu lenyap tiba – tiba pula menghantam dari udara.  Sang kakak Malaikat Hitam menjadi bingung. Hingga sebuah pukulan telapak tangan Sense mendarat pada pergelangan tangan kanannya. Tubuhnya terhuyung lima langkah ke belakang sambil memegang  tangannya yang terkena hantaman Sense Madunde.Ternyata tulangnya tangannya retak. Dengan raut wajah yang meringis, kembali dia memasang kuda – kudanya.

Seorang tokoh hitam rimba persilatan seperti malaikat hitam ini  pantang untuk menyerah. Kali ini dua bersaudara Malaikat Hitam menyerang dengan serempak. Segera Sense Madunde meningkatkan daya gempurannya. Dua tokoh dari negeri Mangindano ini menjadi kelabakan. Mereka telah malang melintang di rimba persilatan tetapi baru kali ini mereka menghadapi lawan yang sangat tangguh. Apalagi seorang pemuda.

Sense Madunde benar – benar menunjukan kepiawaiannya memainkan ilmu – ilmu sakti mandraguna. Selang duapuluh jurus berlalu. Sebuah tendangan beruntun dari Sense Madunde berhasil mengenai lambung kiri sang adik dari Malaikat Hitam. Tubuhnya ambruk ke tanah tanpa nyawa lagi.

Melihat adiknya tewas, sang kakak Malaikat Hitam segera mundur lima langkah lalu kabur dalam lebatnya hutan. Sense Madunde mengerling sejenak lawannya yang telah kabur.

“Hei, kecoa hitam, jangan lari kau. Ke liang lahat pun akan ku kejar kamu!” lalu tubuh Sense Madunde lenyap seketika. Mengejar sang kakak Malaikat Hitam yang membawa lari sepotong buku peta rahasia.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sosok bayangan hitam mendayung sampannya di tengah laut. Arahnya menuju sebuah pulau di depan kejoguguan Witung, itulah pulau Lembeh. Hamparan hutan lebat yang menutupi perbukitan. Sosok hitam itu tak lain adalah si Malaikat Hitam, yang berhasil kabur setelah dikalahkan oleh Sense Madunde. Adiknya tewas ditangan pemuda sakti itu. Sembari mendayung sampan kecilnya, tangannya merogoh sesuatu dari balik pakaiannya. Sesaat melihat – lihat sepotong buku yang telah tersobek. Kepalanya celengak- celenguk memandangi pantai dan tanjung – tanjung pulau itu. Ternyata penggalan buku di tangannya merupakan halaman awal dari petunjuk dalam peta rahasia yang menghebohkan rimba persilatan itu, mengarah ke pulau tersebut. Kembali dayungnya berkecipak. Seharian Malaikat Hitam itu mengelilingi pulau tersebut.

Namun dia tidak menyadari kalau Sense Madunde yang mengejarnya dari arah belakang ternyata telah mendaratkan sampannya terlebih dahulu di tepian pantai. Sambil mengikuti dari arah darat di balik – balik pepohonan. Malaikat Hitam merasa pencariannya belum membuahkan hasil, segera ia pun mendaratkan sampannya di atas pasir pantai.

Ketika si Malaikat Hitam itu  menginjakan kakinya di pasir pantai, terkejutnya tak alang kepalang. Ternyata Sense Madunde telah berada di pantai itu sambil tertawa – tawa.

“Ha,ha,ha,ha,,sudah ku bilang. Ke manapun engkau lari, aku akan tetap mengejarmu,” “Segera letakan  penggalan buku itu di atas pasir, lalu segera angkat kaki dari negeri ini.!”

“Huuhh,,pemuda bauh kentut. Kamu kira aku takut terhadapmu, jangan dikira kemarin aku lari karena takut,,,,,,,”

Sebenarnya Malaikat Hitam itu merasa ciut terhadap Sense Madunde. Dia menyadari ilmunya kalah jauh di bawah pemuda ini. Namun tak ada jalan keluar lain selain dia harus bertarung kembali dengan pemuda di depannya ini. Tak habis dia berucap,,segera si Malaikat Hitam menyerang dengan sebelah tangannya kirinya. Sebab tangan kanannya masih terasa sakit akibat terkena hantaman Sense Madunde kemarin.

Sense Madunde segera melayani terjangan si Malaikat Hitam. Dalam beberapa gebrakan saja si Malaikat Hitam telah terdesak. Hingga dalam waktu singkat sebuah tendangan keras mengenai dada si Malaikat Hitam. Sepotong buku yang tersobek itu jatuh menggelinding ke atas pasir. Menyadari posisinya dalam keadaan kritis dan terluka parah, tiba – tiba dengan sisa tenaga yang ada, tubuhnya mencelat ke udara kemudian membuat salto  lalu jatuh ke tengah lautan. Dalam jarak duapuluh kaki, si Malaikat Hitam masih dapat membuat gerakan indah di udara dan lenyap ke dasar laut. Entah masih hidup ataukah telah tewas.

~~~~~~~~~~~~~~~

Sense Madunde mendekati sobekan buku itu. Tangannya meraih sobekan yang lain yang diselipkannya di bagian dada pakaiannya. Dua sobekan buku itu disatukan di atas pasir pantai. Dua sobekan buku itu tiba – tiba menyatu kembali, utuh seperti semula dan  dari dalam buku itu keluar cahaya keemasan. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalamnya, karena cahaya yang memantul dari buku itu sangat menyilaukan matanya. Perlahan cahaya itu memudar dan hilang. Tak tahan Sense Madunde untuk membuka lembaran awal buku itu, sebuah gambar pulau, ya pulau yang sedang ia pijakan kakinya sekarang. Samar – samar dari gambart pulau itu muncul perlahan – lahan sebuah tulisan dengan huruf yang indah sekali , berbunyi; “ Selarik Jubah Kamamares”.Sehabis membaca kalimat itu, tiba – tiba telinga Sense Madunde lapat – lapat mendengar suara seperti seekor burung rajawali. Suara itu semakin lama semakin jelas terdengar. Lagi – lagi telinganya mendengar suara seekor burung dan suara itu semakin keras seperti suara itu sedang berada di sekitarnya.

Betapa terkejut Sense Madunde. Ternyata di hadapannya berdiri seekor burung rajawali raksasa. Warna bulunya  kuning keemasan, pada sekitar lehernya ada sedikit warna putih. Kepala sang rajawali itu seperti mengangguk – ngangguk jinak. Sense Madunde menahan rasa keterkejutannya.  Dengan posisi berjongkok di atas pasir pantai,  Sense Madunde kembali membuka halaman berikutnya. Pada halaman itu tak ada tulisan lain selain gambar seperti sebuah jubah atau mantel dengan bentuk seperti seekor rajawali.

Sense melihat gelagat burung rajawali itu seperti bersahabat dengannya. Segera tangannya memberi hormat dan salam pada rajawali itu lalu berkata:

“Salam ku untuk kamu ringang, maaf kalau aku lancang menggangumu!”

Rajawali itu membalas dengan kepakan sayapnya, sambil mencericit  perlahan. Mungkin rajawali itu membalas sapaan Sense Madunde. Bekas kepakan kedua sayap rajawali itu membuat pasir – pasir beterbangan. Hilang rasa keterkejutannya, lalu perlahan Sense Madunde  melangkah menghampiri sang rajawali itu. Dengan tenang tangan Sense Madunde mengusap dan membelai leher dan punggung rajawali raksasa itu. Sense Madunde sepertinya telah bersahabat dengan rajawali itu. Begitu pula sang rajawali itu juga sangat jinak dan senang kepada Sense Madunde. Tiba – tiba punggung rajawali itu  sedikit membungkuk sepertinya mengajak Sense Madunde untuk menaikinya.  Sense Madunde segera mengerti maksud sang rajawali itu. Sekali lompat tubuh Sense Madunde telah berada di punggung rajawali itu. Sekali kebas sepasang sayapnya, rajawali itu segera terangkat ke udara ditunggangi oleh Sense Madunde. Dengan sangat kegirangan Sense Madunde pun berteriak;

“ Yiiiiiiihhhhhaaaaaaaaaaaaaa,,,,”

Sang rajawali itu meliuk – liuk di udara. Sense Madunde pun mulai belajar mengimbangi cara menunggangi rajawali itu di udara. Setelah memasuk dua kali putaran di atas udara pulau Lembeh yang hijau dengan pepohonan itu, sang rajawali itu kemudian terbang merendah persis di atas permukaan laut, menuju kembali ke daratan pulau.

Tiba – tiba semakin dekat pulau tersebut, mata Sense Madunde sempat menangkap sebuah goa yang hendak ditujui oleh sang rajawali. Semakin lama semakin dekat, lalu rajawali itu lesap ke dalam goa. Namun anehnya, di dalam goa itu sangat terang benderang. Rajawali itu yang membawa Sense Madunde hinggap di atas batu –batu cadas di dalam goa. Sense Madunde merasa takjub dengan pemandangan di dalam goa itu. Seakan – akan ruangan dalam goa itu ada yang membersihkannya. Semakin masuk ke dalam goa itu lantainya tidak lagi berbatu cadas, melainkan licin bagai batu pualam.

Mata Sense Madunde menangkap sesuatu yang bergelayut di atas dinding goa itu. Ternyata sebuah jubah. Ia pun menghampiri jubah yang tergantung pada dinding goa itu. Tiba – tiba saja Jubah itu jatuh ke lantai. Sense memungutnya sambil mengamati jubah tersebut. Jubah itu sangat lentur. Ia pun mencoba memakainya. Setelah di pakainya, Sense Madunde merasa tubuhnya sangat ringan sekali. Ada sesuatu kekuatan yang menjalar dalam tubuhnya. Segera ia pun duduk bersila untuk menyalurkan hawa murni dan menerima sebuah kekuatan sakti dari  dalam  jubah itu.

Sense Madunde merasakan kekuatannya telah berlipat ganda.

@rskp, 21072016,,                       jkt

*)Kamamares             = Rajawali (Bhs. Manado/ Sangihe)

Kejoguguan                 =Setingkat kelurahan

**) kora – kora           = Kapal/ armada perang (bhs. Sangihe)

Yakang                       = Kakak (bhs.sangihe)

Tuari                          = Adik (bhs.Sangihe)

Ringang /dingang                    = Sahabat / teman (bhs.Sangihe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun