Malam itu Hawe tidak bisa tidur. Dinding gubuknya terbuat dari pitate*seperti ada yang mengagaruk –garuk dari luar dengan jari – jari berkuku panjang. Di luar terdengar suara yang sangat menakutkan, seperti suara orang yang tertahan di tenggorokannya. Silih ganti dengan suara yang mencakar – cakar dinding gubuknya.
“Kokk..kokkh..kokh…!”
“Grrrrkkh,,,grrkk..!”
Dengan mata yang penuh waspada dan amarah yang meluap – luap. Hawe beranjak dari pembaringannya. Segera membuat perapian dalam rumahnya. Di lantai bertanah. Lidah api membesar , menerangi ruangan gubuknya. Hawe mengumpat – umpat oleh karena kejengkelannya.
Sudah beberapa malam ini Hawe terusik dengan setan yang mengganggu ketenangannya setiap mau tidur. Hawe hidup sendirian. Tinggal di kebun jauh dari perkampungan. Istrinya telah pergi meninggalkannya bersama bayi mereka yang baru berusia setahun. Ada sedikit perselisihan membuat istrinya kembali ke orang tuanya. Sudah hampir dua tahun istrinya tidak pernah kembali kepada Hawe. Hawe pun tidak pernah mencari atau mengambil lagi istrinya, seakan – akan tidak pernah merasa rindu kepada istri maupun anaknya. Begitu pula sebaliknya. Mungkin istirnya menunggu Hawe untuk menjempuntnya.
Sebab sifat perempuan – permpuan hanya menunggu. Menunggu datangnya suami, atau menunggu datangnya pacar atau menunggu – menunggu lainnya. Mmm,, mungkin menunggu untuk dibelai, menunggu untuk dimanja - manjain, menunggu untuk disayang-sayangi. Benarkah ?!
Hawe hanya sibuk bercocok tanam. Menanam sayur – sayuran, ketela, singkong dan segala macam kebutuhan. Selain untuk dijual juga untuk makannya sendiri. Bila tidak ada lauknya, Hawe turun gunung menombak ikan di tepi pantai. Jika sudah bosan dengan lauk hasil tangkapan dari laut Hawe memasang jeratan bagi tikus – tikus hutan untuk dijadikan sebagai menu istimewa baginya.
Selain sebagai seorang petani yang selalu berdiam diri di kebun Hawe juga sebagai seorang dukun. Tetapi hanya untuk menyembuhkan sakit penyakit bagi anak – anak balita yang suka menangis, mungkin sakit perut dan masuk angin. Masuk angin biasa atau masuk angin yang tidak biasa; mungkin gangguan kecil dari setan – setan yang biasanya mengganggu bayi – bayi. Konon, bayi buat para setan – setan adalah makanan empuk buat mereka.Kata orang – orang tua di daerah itu. Hawe selalu dimintai pertolongan oleh warga disekitar kampung itu.
Malam itu adalah malam yang ke enam. Songko, nama setan yang oleh warga menyebutnya. Bila Purnama telah lewat tiga malam atau bulan sabit mulai luruh ke tepian barat. Songko muncul dengan beterbangan di angkasa Suaranya yang seram membahana di langit malam. Orang – orang yang takut, terutama anak – anak kecil bila mendengar suara di udara langsung lari masuk ke rumah. Sebab, setan ini akan menyambar tubuh siapa saja yang menjadi mangsanya
Dengan lutut bertekuk menghadap perapian, telapak tangan kanan seolah – olah memegang lidah – lidah api dan jari telunjuk kanan menekuk jidatnya. Bibir Hawe berkomat – kamit merapal mantra. Tiba – tiba dengan suara erangan yang keras tubuh Hawe bergerak cepat seakan – akan melepaskan pukulan.
“Heeeeeaaaaaatttt…!”
Byyyyaaaaaarrr…
Terdengar ledakan keras di halaman gubuknya. Perapian yang tadinya di dalam gubuk kini, berhamburan ke luar gubuknya. Sehingga menimbulkan cahaya yang terang benderang di halamannya. Dengan langkah yang gontai Hawe menuju halamannya. Suara Songko yang tadinya kasak – kusuk seketika hilang, Hawe mengusap sedikit peluh di lehernya lalu kembali ke dalam gubuknya.
Sepanjang pagi hingga siang, seperti biasa Hawe melaksanakan rutinitasnya sebagai seorang petani. Menjelang senja. Hawe duduk bersila di halaman gubuknya. Nampaknya dia mempersiapkan sesuatu. Berbagai akar pohon dan segala macam botol – botol kecil yang terlilit dengan sobekan kain berwarna merah berada di depannya. Tangannya sibuk meracik sesuatu. Hawe menunggu malam menjelang bulan akan muncul pada larut malam. Sebab Purnama telah lewat. Berarti bulan akan muncul dari balik bukit itu tepatnya sudah hampir larut. Dengan ikat kepala berwarna merah Hawe telah mempersiapkan semuanya.
********
Jauh dari tempat tinggal Hawe. Di pinggiran sebuah dusun kecil. Seorang kakek tengah duduk sambil menabuh tagonggong** di rumahnya yang kecil. Orang memanggilnya Ompa. Usianya bisa ditaksir sekitar tujuhpuluhan tahun. Sambil menuang minuman saguer***, di gelasnya yang terbuat dari batok kelapa. Tempat saguer pun di buat dari sepotong bambu yang dibentuk sehingga kelihatan sangat alami. Sekali – kali saguer itu diteguknya. Lalu diikuiti dengan lagu yang dinyanyikannya. Dengan iringan gendang yang ditabuhnya, Ompa itu kelihatan sangat riang sekali. Bahasa dalam lagunya tidak dapat dimengerti. Mungkin Ompa itu memakai bahasa daerahnya. Ya..bahasa Sangihe yang sangat dalam sekali. Sebuah kepulauan Nenusa.
Di daerah sangihe dan sekitarnya sudah menjadi tradisi jika ada kedukaan atau ada salah satu warga yang meninggal dunia, maka pada malam hari sesudah pemakaman akan diadakan penghiburan lewat lagu – lagu yang memuja kepada Sang Khalik Semesta Alam. Kebanyakan tradisi ini diikuti oleh para orang tua.
Tak lama kermudian Ompa tidak sendirian lagi. Sahabatnya yang bernama Medelu telah ikut bergabung. Ompa dan Medelu kemudian akhirnya terlibat dalam nyanyian – nyanyian dengan bahasa daerahnya. Mereka seperti berbalas – balasan pantun lewat lagu – lagunya.
“Ompa. jam berapa kita berangkat !” Medelu bertanya sehabis meneguk minuman saguer.
“Sekarang juga, Medelu. Kita habiskan dulu saguer ini. Lalu kita berangkat. O’ ya. siapa yang meninggal sebetulnya!”
“Istri dari Lahena, Ompa. Kamu kenal dia kan?”
Mereka berdua terlibat percakapan dengan memakai bahasa daerah. Ompa hanya menganggukan kepalanya . Karena sehabis meneguk saguer.
Jam sudah menunjukan pukul Sembilanbelas malam. Ompa dan Medelu telah siap untuk berangkat menuju rumah penghiburan. Oleh karena jarak harus melewati tiga kampung tetangga, mereka berdua akan berangkat lebih awal.
Dipundak mereka tergantung tagonggong. Tak lupa masing – masing membawa potongan bambu berisi minuman saguer. Tak lama kemudian tubuh mereka berdua telah mengambang di atas tanah. Perlahan – lahan terangkat lalu hilang dikegelapan malam. Yang terdengar hanya suara mereka berdua sedang bernyanyi sambil menabuh tagonggong di angkasa.
**********
Kita kembali ke Hawe.Segala perlengkapan telah siap. Pasti Songko yang beberapa malam ini yang mengusik ketenangannya akan datang lagi. Hawe telah siap dengan segala pesta penyambutannya.
Malam mulai merambah perlahan – lahan Menyusuri tiap ranting – ranting pohon. Daun – daun mulai tenang setenang jiwa Hawe. Bias cahaya purnama yang telah lewat beberapa malam lalu mulai menyembul dari atas pohon – pohon Kenari. Samar – samar telinga Hawe mendengar suara orang yang sedang bernyanyi di angkasa. Hawe hanya tertegun namun dalam kewaspadaan. Suara nyanyian tadi telah melewati perbukitan lalu tak terdengar lagi. Suara jangkrik malam yang tadinya jedah sesaat. Kini riuh lagi dengan irama yang tidak karuan. Hawe terus menunggu, sambil melinting tembakau.
Tepat pukul duapuluempat malam. Cahaya purnama nampak separuh telah mengintip dari peraduannya. Selang berikutnya, tiba – tiba.
“Kokkhh,,,,,kokkhhhh…..kokkkhhh…!”
Suara Songko itu telah menampakan dirinya di angkasa. Suara itu semakin kecil lagi. Konon, jika suara itu terdengar kuat maka berarti sosoknya itu masih jauh. Tetapi jika suara itu semakin kecil maka sosok setan itu sudah dekat dengan mangsanya.
Hawe telah siaga dengan semangat empat lima. Malam ini dia harus berjuang mempertahankan benteng Alamo. Pertempuran ini pasti akan seru melebihi pertempuran Alamo. Kekuatan yang jahat melawan kekuatan orang – orang yang bersih dari segala penindasan. Hidup dengan segala berkecukupan dan kesederhanaan, masih di ganggu lagi oleh setan, ataupun orang yang berperilaku seperti iblis. Di dunia ini masih banyak orang seperti demikian. Ibarat musang berbulu domba. Kelihatannya baik namun hatinya culas dan jahat. Serupa buah Kedondong. Licin dikulit di dalamnya berduri – duri.
Tiba – tiba Hawe yang sedang duduk bersila, merasakan ada sesuatu kekuatan yang besar menyambar tubuhnya. Tubuhnya terpental ke udara. Namun Hawe telah siap dengan semua ini. Dengan membiarkan tubuhnya terpental tangan kirinya bergerak secepat kilat. Hawe berhasil menangkap sesuatu sepertinya sebuah jubah hitam. Samar – samar matanya melihat seseorang. Seorang perempuan cantik. Cantik sekali. rambutnya berwarna keemasan, terurai panjang. Hawe tidak menyia – nyiakan kesempatan yang sudah nampak di depan hidungnya. Tangan kanannya bergerak dengan kekuatan penuh.
“Buuukkkhh!”
Telapak tangannya yang berisi segala ramuan yang disiapkan tadi, berhasil mengena di dada perempuan itu. dan tangan kirinya pun berhasil merobek sepotong jubah yang sempat di genggam oleh Hawe. Tak ayal lagi, sosok setan Songko yang menyerupai perempuan cantik itu terpental jauh. Tubuhnya jatuh ke atas tanah bergedebuk.
“Kooeekk…kooekkk!”
Tubuh Hawe pun ikut terjatuh. Beruntung masih berjarak lima kaki dari atas tanah. Melihat lawannya terpelanting, Hawe akan susul dengan pukulan terakhir yang mematikan.Tapi tiba – tiba Songko itu dengan sisa tenaga yang ada terbang lagi ke angkasa. Lalu menghilang di kegelapan malam. Hanya suaranya saja yang masih terdengar.
“Kooeeekkhh,,,Koooekkhh!”
Suara yang tidak seperti tadi lagi, atau beberapa malam yang lalu.Seperti suara yang sedang mengerang, menahan kesakitan akibat pukulan Hawe.
Hawe menatap potongan kain hitam itu. Lalu disimpannya di dalam gubuknya.Hawe masih tetap berjaga – jaga, kalau Songko itu akan kembali lagi. Namun ternyata tidak. Dengan menenangkan dirinya, Hawe melinting tembakau lagi. Asapnya dikepulkan ke udara. Wajahnya sangat puas. Tersenyum membayangkan pertempuran tadi.
Ayam jago yang bertengger di cabang pohon belakang gubuk Hawe berkokok. Ufuk Timur membiaskan rona jingga. Udara pagi sejuk terasa. Hawe mengambil sepotong bambu yang tersandar di dinding gubuknya, dan hendak menuju pancuran untuk mengambil air.
Lamat – lamat matanya menangkap sesosok bayangan hitam terbungkuk – bungkuk di bawah rimbunan pohon singkong, sambil berjalan tertatih – tatih. Berendap – endap Hawe mengikuti sosok hitam itu. Di pinggiran kebunnya sosok hitam itu jatuh terduduk. Sebab pagi telah merekah, terlihat jelas sosok hitam itu. Ternyata seorang nenek tua. Rambutnya telah memutih semua. Nafasnya terengah – engah.
Hawe tak bisa menahan rasa ibanya. Tapi kenapa nenek tua ini ada di lahan perkebunannya. Siapa nenek ini.? Mau kemana ? Seribu satu pertanyaan timbul dalam benak Hawe. Hawe pun menampakan dirinya pada nenek itu.
“Mau kemana , Nek!”
Nenek itu tak menjawab. Matanya terlihat agak ketakutan. Tubuhnya menggigil. Dadanya serasa pengap. Hawe mendekati nenek tua itu. Batinnya tiba – tiba tersentak. Matanya menangkap sesuatu pada nenek itu. Lengan baju nenek itu tidak utuh lagi. Sepertinya terputus. Terlihat sehabis tersobek, dan sepotong sobekan itu ada pada Hawe yang disimpannya.
“Ayo nek. Aku antarin pulang!”
Dengan hati yang terselimut iba dan kasihan terhadap nenek tua itu, Hawe segera merangkul lalu membopong nenek tua itu. Nenek tua itu hanya menunjuk arah pulang.
***********
@rskp,21052016,,, Jakarta
Cerita ini hanya fiksi semata. Bila ada kesamaan nama dan tempat itu hanya kebetulan saja.
*) Pitate = Dinding yang terbuat dari anyaman bambu
**) Tagonggong = Gendang
***) Saguer = Minuman sejenis tuak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H