Mohon tunggu...
Serlly Nurlita
Serlly Nurlita Mohon Tunggu... Penulis - Author

Menulislah dari hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Astuti

9 Agustus 2020   06:04 Diperbarui: 9 Agustus 2020   06:58 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siapa yang tak kenal Astuti?  Sosialita baru di Kampung Tirta Rejeki. Wajah cantik, kulit kuning langsat, body aduhai, dan penampilan glamour. Tutur kata Astuti halus dan lembut, membuat siapa pun tertarik dan jatuh hati padanya. 

Namun, penampilan lahiriah yang katanya bernilai '90', tersimpan perangai yang kurang baik. Astuti adalah bandar arisan di Kampung Tirta Rejeki. Kerap ditunjuk jadi bendahara Arisan, tapi ujung-ujungnya uang kumpulan ibu-ibu di kampung itu dibawa lari. 

Astuti dengan wajah tak bersalah dan menangis mengatakan kalau uang arisan itu dicopet. Saat dia hendak menyimpannya di bank. Ibu-ibu setempat pun hanya bisa berlapang dada, mengikhlaskan kepergian duit mereka. 

Pagi itu, mentari bersinar cerah. Secerah hati Astuti. Tangan Astuti melambaikan ke arah, Mang Karya, tukang sayur keliling favourite ibu-ibu Kampung Tirta Rejeki.

"Mang! Sayur!" Teriak Astuti dari balik pagar rumahnya yang bercat biru muda.

Mang Karyo menghentikan gerobak sayurnya.  Tepat di depan rumah Astuti.

"Belanja sayur, Bu," kata Mang Karya.

"Tidak, mau beli mobil. Yah, belanja sayur lah!" ketus Astuti.

Mang Karyo tersenyum. Salah tingkah dengan ucapannya Astuti.

"He ... he ... bu Astuti bisa aja," kata Mang Karyo.

Astuti tampak asik memilih sayur yang akan dibelinya. Tak lama, muncul Bu Ratih dan Bu Ika, ketiganya asik memilih sayur.

"Borong bu Ratih!" seru Astuti.

"Tidak. Cuma mau beli  tempe dan bumbu dapur. Anak-anak di rumah minta tempe goreng," ucap Bu Ratih. 

"Situ kali yang borong, Bu Astuti. Tuh ... banyak yang mau dibeli," kata Bu Ika.

"Aduh, ini bukan borong belanjaan. Tapi, untuk stok di kulkas. Malas bolak-balik belanja, apalagi zaman Corona. Takut lah," jelas Astuti.

Mang Karya memperhatikan pembicaraan antara ibu-ibu tersebut. Tapi, tidak berani menyela percakapan itu, takut kena semprot Astuti kedua kalinya.

"Eh ... kita buat arisan yuk! Daripada duduk diam di rumah," ajak Astuti.

"Bu Astuti tidak takut kecurian uang arisan lagi?" tanya Bu Ika ragu.

"Tidak, Bu. Kejadian kemarin itu musibah. Yah ... yang namanya musibah, kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadikan sebagai bahan koreksi diri," kata Bu Astuti dengan lembut dan mantap.

"Benar, Bu. Yang namanya musibah itu takdir. Tidak bisa kita hindari," jelas Bu Ratih.

"Iya juga sih," ucap Bu Ika.

"Jadi, gimana? Setuju kan?" tanya Bu Astuti 

"Boleh juga. Berapa anggotanya per kelompok? Berapa bayarannya per bulan? "tanya Bu Ratih.

"Satu kelompok anggotanya 10 orang. Bayarnya 200 ribu per orang. Lumayannbu kenanya 2 juta per orang," jelas Astuti.

"Oh ...," kata Bu Ika.

"Kalau gitu, kami pulang dulu cari calon anggota arisan yang lain," kata Bu Ratih.

Astuti, Bu Ratih, dan Bu Ika membayar belanjaan masing-masing. Ketiganyanpun pulang untuk menyiapkan makanan buat anggota keluarganya.

***

"Assalamualaikum!" salam Bu Ratih di depan pintu pagar rumah Astuti.

Astuti mengenal suara itu. Segera membuka pintu rumah dan pagar huniannya. 

"Walaikum salam. Ayo masuk, Bu Ratig!" Ajak Astuti.

Astuti menggandeng tangan Bu Ratih masuk ke dalam rumah. Mempersilahkannya duduk dan menyuguhkan secangkir teh manis hangat dan donat kentang.

"Aduh, Bu Astuti! Jangan repot-repot! Seru Bu Ratih karena tidak enak dengan penyambutan Astuti terhadapnya.

"Ah ... tidak apa-apa. Silahkan diminum, Bu," ujar Astuti.

Bu Ratih meminum teh hangat yang disuguhkan. Keningnya agak mengkeryit karena rasa teh yang kemanisan.

"Maksud saya ke sini, untuk memberitahu kalau sudah ada 8 orang yang mendaftar arisan sama saya. Ditambah saya juga ikut, jadi jumlahnya 9 orang. Kalau ditambah Bu Astuti, pas 10 orang," jelas Bu Ratih.

"Wah! Cepat sekali gerakannya. Baru kemarin, saya usul buat arisan, hari ini sudah dapat anggotanya. Hebat!" puji Astuti.

"Aduh, Bu Astuti. Kalau perkara kumpul anggota buat bakal arisan, itu sepele bagi saya. Saya kan pelatih zumba di Kampung Tirta Rejeki. Baru tiap ibu-ibu yang ikut zumba dengan saya, gratis. Malah, gara-gara ini, banyak caleg yang minta tolong sama saya untuk carikan suara," jelas Bu Ratih.

Astuti mengacungkan dua jari jempolnya ke arah Bu Ratih. 

"Keren ... keren ... keren sekali! Angkat topi saya buat Bu Ratih!" seru Astuti.

"Kalau gitu, kita mulai arisannya minggu depan. Tempatnya di rumah Bu Ratih," kata Astuti.

"Setuju,"ucap Bu Ratih.

***

Rumah Bu Ratih tampak rampai dengan 9 orang ibu-ibu dari Kampung Tirta Rejeki. Tampak Bu Ika mengenakan baju motif polka dot, duduk menunggu kedatangan Astuti di ruang keluarga rumah Bu Ratih.

Jarum jam menunjukkan pukul 4 sore. Astuti belum juga muncul. Sepuluh menit kemudian, terdengar suara motor matic berhenti di depan rumah Bu Ratih. Suara motor Astuti, si bandar arisan.

Astuti masuk ke rumah Bu Ratih. Senyum merona di wajah cantiknya.

"Maaf, telat. Tadi, isi bensin sebentar," kata Astuti.

"Kalau gitu, kita mulai saja. Biar tidak kesorean," usul Bu Ratih.

Astuti mengocok-kocok gelas arisan di tangannya. Satu buah lintingan kertas kecil jatuh dari gelas itu. Dia pun membukanya.

"Astuti," katanya.

"Alhamdulillah. Rejeki anaka soleh," kata tanya lagi.

Astuti mengambil uang sebanyak 2 juta itu. Memasukkan ke dalam tasnya. Acara arisan pun usai. Astuti dan ibu-ibu lainnya pulang ke rumah masing-masing.

Sampai di rumah, senyum Astuti menembang lebar. Dia membuka kertas-kertas kecil dari dalam gelas itu. Kemudian membacanya satu per satu.

"Astuti,"

"Astuti,"

"Astuti,"

"Ha ... ha ... ha ... tertipu. Mereka tidak tahu aki tuh Astuti, Aslinya Tukang Tipu," katanya pada diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun