Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan Pak Haji

17 Juni 2016   11:27 Diperbarui: 17 Juni 2016   11:34 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adzan ashar sudah berkumandang sepuluh menit yang lalu, namun yang ditunggu-tunggu Joni belum juga datang. Pak Haji, begitu beliau sering disebut. Karena yang ditunggu tak kunjung datang juga, Joni memutuskan untuk sholat terlebih dulu. Mungkin kali ini Pak Haji ada urusan yang membuatnya tidak bisa datang ke masjid untuk sholat berjamaah dengannya seperti biasa.

Selesai sholat Joni menyiapkan meja dan tikar untuk pengajian anak-anak di serambi. Sebentar lagi pasti mereka berdatangan. Ini sudah memasuki hari ke sepuluh di bulan Ramadan. Seperti tahun sebelumnya, Joni diminta untuk membantu Pak Haji mengajar TPA setiap sore selama bulan Ramadan. Tak banyak muridnya, hanya sekitar lima belasan anak yang rajin datang.

Jam sudah mendekati pukul empat sore, satu persatu anak-anak mulai berdatangan. Joni berharap Pak Haji tetap datang sore ini. Dari tadi malam ia tak melihatnya. Keinginannya untuk datang ke rumah Pak Haji ia urungkan, karena ia tahu terkadang Pak Haji mendapat tamu penting. Mungkin kali ini juga.

“Mas, Pak Haji belum datang?” Tanya seorang anak pada Joni

“Belum, ayo semuanya masuk. Kita mulai pengajiannya.”seru Joni mengajak anak-anak yang masih main sepeda di halaman masjid.

Pengajian pun dimulai tanpa Pak Haji yang mendampingi Joni. Pengajian ini diisi dengan hafalan surat-surat pendek, lalu terkadang diselingi Pak Haji yang menceritakan kisah-kisah nabi dan para sahabatnya. Anak-anak paling antusias kalau Pak Haji mau bercerita. Pengajian ini baru akan berakhir menjelang berbuka puasa. Mereka akan berbuka dari takjil yang diberikan oleh warga secara bergiliran setiap harinya.

Kali ini Joni harus mengakhiri pengajian lebih awal. Dia harus mempersiapkan minuman dan takjil yang harus dibaginya nanti. Biasanya Pak Haji mengambil sesi kedua di pengajian dengan mendongeng, dengan begitu Joni bisa mempersiapkan takjilnya.

“Mas, aku bantu ya.” Dedi datang ke dapur masjid menawarkan bantuan. Joni mengangguk.

Satu cerek teh manis ia tuangkan dalam gelas plastik warna-warni yang ditata Dedi berjejer di atas nampan. Kali ini takjil yang didapat adalah roti pisang coklat. Dedi membantu membagikan roti satu persatu ke teman-temannya. Sementara Joni membagikan gelas berisi teh manis.

Waktu berbuka masih dua menit lagi, Joni meminta Dedi memimpin teman-temannya untuk membaca doa berbuka puasa bersama-sama. Dedi dengan malu-malu berdiri di depan teman-temannya. Joni tersenyum geli melihat ekspresi Dedi. Mereka pun segara berbuka ketika mendengar suara “ngung” dari radio yang dinyalakan Joni.

Seperti sudah menjadi kebiasaan, setelah selesai berbuka. Mereka akan membawa gelas mereka masing-masing ke dapur sebelum mengambil wudhu untuk sholat maghrib berjamaah. “Mungkin Pak Haji akan datang sholat maghrib berjamaah.” batin Joni selesai mengumandangkan adzan maghrib

“Mas, Pak Haji apa sakit?” Dedi tiba-tiba menyusul Joni yang selepas sholat maghrib menuju ke dapur untuk mencuci gelas bekas untuk berbuka tadi.

“Aku nggak tahu.”

“Apa mas nggak coba ke rumah Pak Haji saja? Nanti kalau Pak Haji nggak datang lagi, yang mau jadi imam tarawih siapa?”

Joni tercenung. Benar apa kata Dedi, siapa yang akan menjadi imam sholat tarawih nanti kalau Pak Haji tidak datang. Yang paling penting Joni tahu kenapa Pak Haji tidak datang untuk sholat berjamaah hari ini.

Ditemani Dedi Joni tidak langsung pulang ke rumah. Dia mampir ke rumah Pak Haji dulu.

Tok tok tok

Tidak ada sahutan dari dalam. Pak Haji hanya hidup berdua dengan istrinya, anak-anaknya merantau ke kota lain. Kali kedua pintu diketok namun tetap tidak ada sahutan. Joni dan Dedi memutuskan untuk pulang. Mungkin Pak Haji sedang acara di luar rumah dan belum pulang.

Keluar dari halaman rumah pak Haji, ada sebuah mobil sedan berjalan pelan dan berhenti tepat di depannya

“Jon, nggak ada orang ya?” suara itu tidak asing bagi Joni. Di lihatnya ketika kaca pintu mobil diturunkan.

“Eh, Mas Abdi. Iya Mas, Pak Haji sepertinya tidak ada di rumah.” Abdi adalah salah seorang anak Pak Haji, ia sudah dua tahun di Jakarta dan hanya beberapa bulan sekali pulang.

Selepas memarkir mobilnya di halaman, Abdi menghampiri Joni dan DEdi yang masih berdiri di pinggir jalan.

“Jon, bapak lagi dirawat di rumah sakit sekarang. Jadi tidak bisa ke masjid. Kamu ke sini mau cari bapak kan?”

Joni mengangguk “Pak Haji sakit apa?”

“Tidak apa-apa, tadi sebelum Mas pulang. Bapak nitip pesan buat kamu.”

“Pesan apa Mas?”

“Bapak minta, keperluan masjid kamu yang ngatur ya. Soal ngajar TPA, adzan, dll. Ini Mas Cuma mau ambil baju ganti lalu ke rumah sakit lagi.” Abdi menepuk bahu Joni seakan memberi arti bahwa Joni mampu melakukan apa yang menjadi pesan ayahnya.

Selama perjalanan menuju rumahnya kepala Joni penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Sakit apa sebenarnya Pak Haji? Apa mampu Joni melaksanakan tugas yang diberikan Pak Haji sendirian karena selama ini ia selalu didampingi oleh beliau? Dan yang paling mendesak adalah siapa yang akan menjadi imam dan memberi ceramah di tarawih malam ini?

Ketika datang waktu sholat isya, jamaah laki-laki hanya sekitar sepuluh orang dewasa, sementara lainnya anak-anak. Apakah penduduk desa ini hanya sedikit? Iya, hanya sedikit yang mau pergi ke masjid. Setelah mengumandangkan iqomah, Joni meminta salah satu dari bapak-bapak yang datang untuk menjadi imam.

“Bapak-bapak, berhubung pak Haji sakit dan tidak bisa memimpin kita sholat berjamaah malam ini, jadi saya mohon salah satu dari bapak-bapak sekalian bersedia menjadi imam.” Joni mempersilahkan siapapun yang bersedia. Mereka hanya saling tunjuk, ada yang pura-pura tidak mendengar, ada yang perlahan minggir, menjauh dari tempat imam. Karena tidak ada yang bersedia, dan mengingat pesan pak Haji tadi, mau tidak mau Joni yang mengimami sholat isya dan tarawih malam itu.

Hal itu berulang sampai malam ketiga absennya Pak Haji di masjid hingga sore hari menjelang ashar. Joni dikejutkan oleh suara Dedi yang setengah berteriak memasuki halaman rumahnya.

“Mas Joniiii….mas Jonii….” Terengah engah Dedi memanggil Joni

“Apa Ded? Kenapa kamu teriak teriak?”

“Pak Haji…kata bapakku..Pak Haji…”napas Dedi tidak beraturan.

“Kenapa sama Pak Haji, ha?”

“Pak Haji baru saja meninggal Mas di rumah sakit. Bapakku dari rumah sakit barusan.”sontak Joni kaget mendengar kabar itu.

“Innalillahi wainaillaihirojiun….yang benar kamu Ded?” Joni mengganti pakaiannya dan segera bergegas ke rumah pak Haji. Sesampainya di sana sudah ada beberapa warga yang sibuk menata kursi di halam rumah, ibu-ibu yang bersih-bersih rumah. Dilihatnya Mas Abdi berdiri di dekat pintu sambil menelpon seseorang. Joni mendekatinya tanpa ada kata-kata.

Sambil menepuk bahu Joni “Bapak menitipkan masjid padamu Jon, Bapak yakin kamu bisa.” Bibir Joni seperti terkunci. Ia hanya mengangguk, diujung kedua matanya air itu hampir tumpah. Hari itu rencananya pak Haji akan dimakamkan jam satu siang.

-8-

Sepeninggal Pak Haji, Joni lah yang selalu mengimami sholat di masjid. Tarawih terakhir ini terasa berbeda, lebih banyak jamaah yang datang. Selesai tarawih seorang bapak mengajak Joni untuk bicara.

“Jon, sepeninggal Pak Haji, kamu yang selalu menjadi imam di masjid ini. Saya dan warga lain sudah berembug beberapa hari yang lalu.”

“Berembug soal apa Pak?” Joni terheran ketika melihat semua bapak-bapak yang datang ke masjid kemudian duduk melingkar di serambi masjid seperti akan ada rapat.

“Ayo duduk dulu. Kita bicarakan bersama.” Bapak itu mengajak Joni duduk bersama jamaah lain.

“Karena posisi ketua takmir kosong setelah Pak Haji nggak ada, jadi kami sepakat kalau kamu yang menggantikan pak Haji.” Joni terkaget-kaget. Menggantikan Pak Haji? Apa tidak salah dengar dia? Apa dia sanggup? Bukankah usianya masih tergolong muda untuk itu?

“Tapi Pak, selama ini saya hanya melakukan apa yang Pak Haji pesankan pada saya Pak. Dan usia saya juga ilmu saya belum….”

“Kami tahu Jon, untuk itulah kami memintamu. Kami yakin dari semua warga di sini kamulah yang pantas dan sanggup. Bagaimana?” sahut salah seorang bapak lain.

Lelaki dua puluh tahun yang bekerja sebagai guru honorer di suatu SD itu tidak bisa menolak. Apa lagi semua warga meyakinkan dirinya. Ditambah dia ingat pesan dari Pak Haji waktu itu. Mas Abdi yang kebetulan juga ada diantara mereka hanya tersenyum dan mengacungkan jempol pada Joni.

Mulai malam ini Masjid Al Ikhlas itu memiliki ketua takmir baru.  Rapat dadakan itu pun dibubarkan. Dari belakang Mas Abdi memanggil Joni.

“Jon..tunggu sebentar.”

Joni menoleh, Abdi memberikan satu baju koko untuk Joni. “Ini baju bapak yang belum pernah dipakai sama sekali. Aku lihat ukuran badanmu nggak beda jauh sama almarhum bapak. Pakailah.”

“Tapi Mas..aku..”

“Sudah, terima saja. Oiya, satu lagi pesan bapak yang belum aku sampaikan padamu. Bapak minta kamu melakukan semua ini dengan ikhlas. Seperti nama masjid ini.

Kali ini Joni tidak mampu menahan air matanya. Dia hanya mengangguk dan cepat-cepat menghapus air yang keluar dari ujung matanya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun