“Jon, bapak lagi dirawat di rumah sakit sekarang. Jadi tidak bisa ke masjid. Kamu ke sini mau cari bapak kan?”
Joni mengangguk “Pak Haji sakit apa?”
“Tidak apa-apa, tadi sebelum Mas pulang. Bapak nitip pesan buat kamu.”
“Pesan apa Mas?”
“Bapak minta, keperluan masjid kamu yang ngatur ya. Soal ngajar TPA, adzan, dll. Ini Mas Cuma mau ambil baju ganti lalu ke rumah sakit lagi.” Abdi menepuk bahu Joni seakan memberi arti bahwa Joni mampu melakukan apa yang menjadi pesan ayahnya.
Selama perjalanan menuju rumahnya kepala Joni penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Sakit apa sebenarnya Pak Haji? Apa mampu Joni melaksanakan tugas yang diberikan Pak Haji sendirian karena selama ini ia selalu didampingi oleh beliau? Dan yang paling mendesak adalah siapa yang akan menjadi imam dan memberi ceramah di tarawih malam ini?
Ketika datang waktu sholat isya, jamaah laki-laki hanya sekitar sepuluh orang dewasa, sementara lainnya anak-anak. Apakah penduduk desa ini hanya sedikit? Iya, hanya sedikit yang mau pergi ke masjid. Setelah mengumandangkan iqomah, Joni meminta salah satu dari bapak-bapak yang datang untuk menjadi imam.
“Bapak-bapak, berhubung pak Haji sakit dan tidak bisa memimpin kita sholat berjamaah malam ini, jadi saya mohon salah satu dari bapak-bapak sekalian bersedia menjadi imam.” Joni mempersilahkan siapapun yang bersedia. Mereka hanya saling tunjuk, ada yang pura-pura tidak mendengar, ada yang perlahan minggir, menjauh dari tempat imam. Karena tidak ada yang bersedia, dan mengingat pesan pak Haji tadi, mau tidak mau Joni yang mengimami sholat isya dan tarawih malam itu.
Hal itu berulang sampai malam ketiga absennya Pak Haji di masjid hingga sore hari menjelang ashar. Joni dikejutkan oleh suara Dedi yang setengah berteriak memasuki halaman rumahnya.
“Mas Joniiii….mas Jonii….” Terengah engah Dedi memanggil Joni
“Apa Ded? Kenapa kamu teriak teriak?”