Mohon tunggu...
Humaniora

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Penggunaan Alat Bukti Elektronik

24 Mei 2017   15:28 Diperbarui: 24 Mei 2017   15:33 9199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedudukan alat bukti elektronik pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 20/PUU-XIV/2016

            Pada tanggal 10 Februari 2016 Setya Novanto (pemohon) melalui kuasa hukumnya melakukan uji materiil Undang-Undang ITE dan Undang-undang Tipikor ke Mahkamah Konstitusi, ia mempersoalkan pasal-pasal yang berada dalam dua undang-undang tersebut yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), adapun pasal-pasal yang diujikan adalah pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2) dan pasal 44 huruf b UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 26A UU Nomor 26 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setya Novanto di dalam uji materinya menyampaikan beberapa kedudukan hukum (Legal Standing) :

1. Bahwa hak konstitusional pemohon dirugikan atau berpotensi dilanggar karena pemohon telah dipanggil sebanyak tiga kali oleh penyidik kejaksaan agung untuk dimintai keterangan sehubungan dengan dugaan adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia

2. Bahwa timbulnya dugaan pemohon melakukan permukaan jahat atau percobaan tindak pidana korupsi didasarkan pada adanya bukti rekaman pembicaraan yang beredar luas di masyarakat antara pemohon, Muhammad Riza Chalid dan Ma’roef Sjamsudin yang dilakukan di ruang tertutup di salah satu ruangan hotel Ritz Carlton yang terletak di kawasan Pacific Place, SCBD, Jakarta Pusat.

3. Kalaupun benar suara di dalam rekaman tersebut adalah suara pemohon, maka menurut pemohon secara hukum hasil rekaman tersebut harus dianggap sebagai rekaman tidak sah (Illegal) karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang dan dengan cara yang tidak sah, karena Ma’roef Sjamsudin bukanlah seorang penegak hukum dan tidak pernah diperintah oleh penegak huku untuk melakukan perekaman tersebut.

Adapun pokok permohonan yang diajukan ialah :

“Bahwa dengan adanya norma Undang-Undang sebagaiamana diatur daam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesi adalah Negara hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminanm perlindungan dan kepastian hukum yanga dil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan atau institusi penegak hukum lainnya.”

Dan petitum yang diajukan adalah agar Mahkamah Konstitusi menafsirkan pasal 5 ayat (1) dan (2)  dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor khususnya sepajang frasa  “informasi dan elektronik dan/atau dokumen elektronik” menjadi “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan komisi pemberantasan korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya”

Adapun Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya yang dibacakan pada tanggal 07 september 2016 ialah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang mana seluruh pasal 5 ayat (1) dan (2)  dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor ialah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnyafrasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”sebagai alat Alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

                Putusan ini menjadi masalah serius jika dikaitkan dengan penegakan hukum kasus-kasus pidana yang berkaitan dengan alat bukti elektronik baik berupa informasi elektronik ataupun dokumen elektronik. Seiring dengan berkembangnya teknologi, maka mulai bermunculan alat-alat yang dapat membantu kepolisian/kejaksaan dalam melakukan pembuktian di pengadilan. Salah satu contoh ialah Closed-circuit television atau yang lazim disebut CCTV yang biasa digunakan oleh masyarakat dalam memantau kondisi keamanan sekitar. Tujuan dipasangkannya CCTV ialah agar terpantaunya keaman disekitaran suatu tempat, dan apabila ada tindak pidana yang terjadi, maka bukti rekaman yang ada dalam CCTV tadi dapat dijadikan bukti bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, sehingga memudahkan penyidik dalam membuktikan tindak pidana yang terjadi, walaupun tidak ada saksi yang melihat, mendengar dan merasakan secara langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun