Mohon tunggu...
Humaniora

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Penggunaan Alat Bukti Elektronik

24 Mei 2017   15:28 Diperbarui: 24 Mei 2017   15:33 9199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

          Pesatnya kemajuan informasi dan teknologi di dunia membawa bermacam-macam implikasi terhadap segala lini kehidupan, baik dari sisi ekonomi, politik, sosial dan juga kearifan lokal yang hidup dalam suatu wilayah. Munculnya gadget membuat transaksi jual-beli tidak lagi harus dilakukan di pasar-pasar tradisional, melainkan cukup melalui beberapa sentuhan jari di rumah maka transasksi terjadi. Gadgetjuga dapat mempengaruhi aktivitas politik di dalam suatu wilayah tertentu, dengan munculnya berbagai aplikasi social media seperti Twitter, Facebook dan Instagram acapkali dijadikan tempat untuk beradu argumentasi mengenai realitas politik yang sedang terjadi atau yang lazim disebut Twitwar. Ada juga situs Change.orgyang merupakan situs petisi yang bisa dijadikan suatu bentuk partisipasi publik dalam menyikapi suatu persoalan dalam aktivitas kehidupan berpolitik.

            Hukum sebagai suatu bentuk pranata yang mengatur kehidupan manusia pun tak luput dari derasnya arus perkembangan zaman. Mulai digunakannya berbagai alat bukti elektronik seperti gambar, suara atau video yang tersimpan dalam bentuk dokumen eletronik menandakan bahwa hukum harus mulai mengikuti perkembangan teknologi. Beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya ialah kasus penghinaan yang dilakukan oleh Ervany Emy Handayani di Bantul, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggunakan tulisan/status yang dibuat oleh Ervany di laman Facebooksebagai alat bukti yang diajukan di persidangan, begitu juga kasus Florence Sihombing yang melakukan penghinaan terhapat masyarakat kota Yogyakarta, JPU dalam kasus ini menggunakan tulisan yang dibuat oleh Florence di laman Pathsebagai alat bukti yang diajukan ke persidangan.

            Pertanyaan yang muncul terhadap dunia penegakan hukum di Indonesia ialah bagaimana sebenarnya pengaturan alat bukti elektronik di Indonesia? dan termasuk kategori bukti apakah alat bukti elektronik tadi? apakah perluasan yang ada dialam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau menjadi bagian dari alat bukti petunjuk yang berada dalam KUHAP ?

Kedudukan alat bukti elektronik dalam aturan perundang-undangan di Indonesia

           Dunia penegakan hukum pidana Indonesia terkait erat dengan adanya KUHAP yang merupakan bentuk kodifikasi dari tata cara menegakan hukum pidana materiil di Indonesia. KUHAP mengatur tata cara pembuktian yang sah dalam proses peradilan pidana termasuk juga jenis alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pembuktian di Pengadilan. Pasal 184 KUHAP mengatur secara limitatif bahwa ada 5 alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian, yakni :

1. Keterangan Saksi

2. Keterangan Ahli

3. Alat bukti Surat

4. Keterangan Terdakwa

5. Petunjuk

Diantara lima alat bukti ini tidak ada satupun yang menyebutkan dimana posisi alat bukti elektronik ditempatkan. Hal ini tak terlepas dari konteks zaman ketika KUHAP diundangkan pada tahun 1981 dimana pada saat itu perkembangan teknologi dan informasi berlum sepesat dan secanggih sekarang, sehingga para perancang KUHAP belum dapat untuk merumuskan alat bukti elektronik dalam KUHAP.

            Lantas dimanakah kita dapat menemukan dasar hukum dari alat bukti elektronik ? Pada tahun 2001 mulailah di-undangkannya UU Nomor 20 tahun 2001 sebagai perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU Tipikor). UU Nomor 20 tahun 2001 merupakan Undang-Undang pertama yang melegitimasi dapat diberlakukannya alat bukti elektronik dalam proses peradilan di Indonesia, hal itu tertuang dalam pasal 26A yang bunyinya “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebgaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoloeh dari:

a. Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;”

Di dalam pasal 26A UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 31 tahun 1999 digolongkan bahwa alat bukti elektronik merupakan bagian dari alat bukti petunjuk yang berada dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP yang artinya alat bukti elektronik bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri sebagaimana lima alat bukti yang disebutkan dalam pasal 184 KUHAP. Alat bukti elektronik hanyalah perluasan makna dari alat bukti petunjuk yang di dalam KUHAP terbatas hanya dapat diambil dari persesusaian dari perbuatan, kejadian atau keadaaan antara satu dengan yang lain ataupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang sumbernya diatur secara limitatif yakni hanya dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sehingga adanya pasal 26A UU nomor 20 tahun 2001 jo UU Nomor 31 tahun 1999 yang mengatur ealat bukti elektronik hanyalah perluasan dari sumber dapat diperolehnya petunjuk oleh hakim dalam mengadili suatu perkara.

            Pada tahun 2008 mulailah suatu babak baru dalam dunia hukum Indonesia karena mulai diberlakukannya UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-Undang ini mengatur tentang segala bentuk aktivitas yang terkait dengan elektronik, dan di dalamnya tercantum juga sanksi pidana bagi yang melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan Informasi dan Teknologi. UU Nomor 11 tahun 2008 juga menyajikan suatu hal yang baru dalam sistem pembuktian pidana yang berlaku, karena telah diatur di dalamnya bahwa alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang berada dalam pasal 184 KUHAP, hal ini terlihat dari bunyi pasal 5 ayat (1) : “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Dan ayat (2) : “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”

Frasa perluasan dalam pasal 5 ayat (2) UU Nomor 11 tahun 2008 dapat ditafsirkan merupakan bentuk penambahan dari alat bukti yang sah yang berada dalam pasal 184 KUHAP, sehingga alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri dan tidak lagi terkait dengan alat bukti petunjuk yang berada dalam pasal 184 KUHAP. Hal inilah yang membedakan ketentuan pasal 5 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 dengan pasal 26A UU nomor 20 tahun 2001, dimana jika dalam pasal 26A UU nomor 20 tahun 2001 alat bukti elektronik hanyalah perluasan dari alat bukti petunjuk saja, sedangkan dalam pasal 5 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008 alat bukti elektronik telah menjadi alat bukti yang sah dan sifatnya yang berdiri sendiri, dengan kata lain ada enam alat bukti yang berlaku secara sah di Indonesia, yakni :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan Ahli

3. Surat

4. Keterangan Terdakwa

5. Petunjuk

6. Alat bukti elektronik

Kedudukan alat bukti elektronik pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 20/PUU-XIV/2016

            Pada tanggal 10 Februari 2016 Setya Novanto (pemohon) melalui kuasa hukumnya melakukan uji materiil Undang-Undang ITE dan Undang-undang Tipikor ke Mahkamah Konstitusi, ia mempersoalkan pasal-pasal yang berada dalam dua undang-undang tersebut yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), adapun pasal-pasal yang diujikan adalah pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2) dan pasal 44 huruf b UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 26A UU Nomor 26 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setya Novanto di dalam uji materinya menyampaikan beberapa kedudukan hukum (Legal Standing) :

1. Bahwa hak konstitusional pemohon dirugikan atau berpotensi dilanggar karena pemohon telah dipanggil sebanyak tiga kali oleh penyidik kejaksaan agung untuk dimintai keterangan sehubungan dengan dugaan adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia

2. Bahwa timbulnya dugaan pemohon melakukan permukaan jahat atau percobaan tindak pidana korupsi didasarkan pada adanya bukti rekaman pembicaraan yang beredar luas di masyarakat antara pemohon, Muhammad Riza Chalid dan Ma’roef Sjamsudin yang dilakukan di ruang tertutup di salah satu ruangan hotel Ritz Carlton yang terletak di kawasan Pacific Place, SCBD, Jakarta Pusat.

3. Kalaupun benar suara di dalam rekaman tersebut adalah suara pemohon, maka menurut pemohon secara hukum hasil rekaman tersebut harus dianggap sebagai rekaman tidak sah (Illegal) karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang dan dengan cara yang tidak sah, karena Ma’roef Sjamsudin bukanlah seorang penegak hukum dan tidak pernah diperintah oleh penegak huku untuk melakukan perekaman tersebut.

Adapun pokok permohonan yang diajukan ialah :

“Bahwa dengan adanya norma Undang-Undang sebagaiamana diatur daam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesi adalah Negara hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminanm perlindungan dan kepastian hukum yanga dil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan atau institusi penegak hukum lainnya.”

Dan petitum yang diajukan adalah agar Mahkamah Konstitusi menafsirkan pasal 5 ayat (1) dan (2)  dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor khususnya sepajang frasa  “informasi dan elektronik dan/atau dokumen elektronik” menjadi “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan komisi pemberantasan korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya”

Adapun Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya yang dibacakan pada tanggal 07 september 2016 ialah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang mana seluruh pasal 5 ayat (1) dan (2)  dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A UU Tipikor ialah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnyafrasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”sebagai alat Alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

                Putusan ini menjadi masalah serius jika dikaitkan dengan penegakan hukum kasus-kasus pidana yang berkaitan dengan alat bukti elektronik baik berupa informasi elektronik ataupun dokumen elektronik. Seiring dengan berkembangnya teknologi, maka mulai bermunculan alat-alat yang dapat membantu kepolisian/kejaksaan dalam melakukan pembuktian di pengadilan. Salah satu contoh ialah Closed-circuit television atau yang lazim disebut CCTV yang biasa digunakan oleh masyarakat dalam memantau kondisi keamanan sekitar. Tujuan dipasangkannya CCTV ialah agar terpantaunya keaman disekitaran suatu tempat, dan apabila ada tindak pidana yang terjadi, maka bukti rekaman yang ada dalam CCTV tadi dapat dijadikan bukti bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, sehingga memudahkan penyidik dalam membuktikan tindak pidana yang terjadi, walaupun tidak ada saksi yang melihat, mendengar dan merasakan secara langsung.

                Jika kita lihat kembali pada amar putusan MK tadi bahwa semua “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak dapat dijadikan alat bukti jika tidak dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”, maka CCTV sebagai alat bukti dalam persidangan menjadi tidak sah, jika pemasangan dan perekaman yang dilakukan oleh CCTV tadi tidak dilakukan atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang. Padahal hampir setiap rumah di kota-kota besar, fasilitas publik, maupun tempat-tempat umum lainnya telah dipasangi CCTV agar mempermudah pemantauan keamanan kondisi setempat. Dengan kata lain, maka CCTV tidak lagi menjadi berguna sebagaimana tujuan awalnya, yakni sebagai pemantau kondisi kemanan dan sebagai alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan jika terjadi suatu tindak pidana.

                Salah satu kasus yang menggunakan CCTV sebagai alat bukti dalam pembuktiannya ialah kasus kopi sianida atau pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wongso yang terjadi pada hari rabu, tanggal 6 Januari 2016 dimana terdakwa Jessica Kumala alias Jessica Kumala Wongso alias Jess bertempat di Restaurant Olivier, West Mall, Ground Floor, Grand Indonesia, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain dengan cara memasukan sianida ke dalam es kopi vietnam yang disajikan untuk Wayan mirna salihin alias Mirna. Di dalam putusannya pada tanggal 27 oktober 2016 ialah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa jessica terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana pembunuhan berencana dan menjatuhkan pidana selama 20 tahun penjara.

                Jika kita analisa kembali, bahwa CCTV yang merupakan alat bukti elektronik dan dipergunakan oleh JPU dalam pembuktian kasus kopi sianida. Uji materiil yang diajukan oleh Setya Novanto yang terkait dengan alat bukti elektronik telah diputus oleh MK dan memiliki kekuatan hukum yang tetap pada tanggal 07 September 2016, dan putusan yang dijatuhkan PN Jakarta Pusat ialah bertanggal 27 Oktober 2016, artinya putusan MK terlebih dahulu ada daripada putusan PN Jakrta Pusat. Adapun dalam perkara kopi sianida tersebut alat bukti CCTV tidak lah dipasang dan direkam tidak dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, artinya CCTV tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah di depan persidangan dan harus ditolak oleh hakim karena Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusannya terlebih dahulu.

                Dasar pertimbangan mengapa hakim harus menolak ialah karena berlakunya asas transitoir dalam hukum pidana Indonesia, dimana jika terjadi perubahan dalam suatu aturan pidana, maka yang dipergunakan ialah aturan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Dalam konteks ini putusan MK ialah setara dengan undang-undang, sehingga dengan keluarnya putusan MK mengenai alat bukti elektronik tadi telah merubah aturan hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, jika pada awalnya alat bukti elektronik dapat dijadikan alat bukti tanpa perlu digunakan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya, pasca putusan MK maka alat bukti elektronik harus digunakan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.

                Namun faktanya majelis hakim dalam perkara kopi sianida tetap menggunakan CCTV sebagai alat bukti yang sah, walaupun MK telah menyatakan CCTV tersebut tidak sah dan tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Dengan demikian alat bukti elektronik yang digunakan dalam dunia penegakan hukum pidana Indonesia masih menggunakan tafsiran yang sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE dan pasal 26A UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 39 tahun 1999 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi sebelum di uji materiil-kan ke Mahkamah Konstitusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun