“Kamu bisa memanggilku Jean Grey kalau kamu mau.”
“Aku akan memanggilmu Miss Frost karena itu bagian dari namamu.”
“Jangan samakan aku dengan Emma Frost, Edwin. Aku lebih suka Jean Grey soalnya.”
“Elsa Monica Foster.” kataku menyebut nama lengkap Elsa. “Kau memang mirip Jean Grey tapi harus kuakui dia kalah cantik dan kalah seksi darimu.”
Elsa tertawa riang sambil memukul ranjangku. “Kamu ini membandingkan aku dengan Jean Grey atau pemerannya di film sih?”
“Semuanya, Sa. Bahkan Xenia Onatopp dan Sansa Stark saja tak bisa menang melawanmu.”
“Kamu suka simbolisme rupanya, Edwin. Kenapa tidak menyebut nama asli mereka saja, malah peran mereka di film lain. Dasar kritikus film!”
“Kritikus film dan komikus.” kataku menunjuk langit-langit. Ada kamar khusus di lantai dua rumah kami ini yang kugunakan sebagai studio komik mini tempat aku mengerjakan karya-karya kover komik dari mancanegara yang sebenarnya kujadikan sebagai kerja sampingan tetapi malah honornya berkali-kali lipat lebih besar dari gaji yang kuterima sebagai kritikus film di kantorku sekarang.
Elsa mengangguk-angguk. “Sudah seminggu ini kamu sepi orderan kover komik, Edwin.”
“Ya, seminggu ini sepi karena pihak publisher komik di Amerika sana memang belum memesan kepadaku lagi. Lagipula mereka sudah membayarku lebih dan tambahan lagi bonus menggiurkan. Honor dari komik ini bisa cukup bagi kita berdua hidup selama tiga tahun ke depan, Elsa.”
“Jika kutambah dengan honorku jadi model,” Elsa menambahkan. “Lima tahun ke depan pun cukup, Edwin.”