Pandemi Covid-19 telah membuat seluruh dunia kalut, tidak hanya masalah kesehatan tapi juga ancaman nyata resesi ekonomi.
Kebijakan lockdown, social distancing, dan kepanikan masyarakat secara tidak langsung membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris berhenti. Badai PHK dan kesulitan keuangan pun mulai merebak.
Sederhananya, negara ini sedang membutuhkan uang.
Uang untuk apa? Seharusnya untuk pengadaan alat kesehatan, memberi bantuan sosial bagi masyarakat terdampak, hingga memberi stimulus bagi dunia usaha agar mampu bertahan.
Lalu mau cari uang dari mana? Jurang defisit APBN pun sudah sedemikian lebar.
Pilihan yang Sulit
Akhir-akhir ini ada 2 wacana yang mengemuka, opsi pertama adalah mencetak uang seperti usulan DPR, sedangkan opsi kedua adalah menerbitkan surat utang seperti usulan Kementerian Keuangan.
Ini bukan pilihan yang sederhana, karena menyangkut pertentangan prinsip ekonomi hingga politik.
Dalam pembahasan di parlemen, baru-baru ini DPR mengusulkan mencetak uang dengan jumlah mencapai Rp600 triliun, bahkan ada wacana hingga 5.800 triliun. Wow!
Uang se-raksasa itu untuk apa saja ya? Wacana yang berkembang di DPR, uang tersebut diperlukan untuk membiayai anggaran negara dalam hal menangani Covid dan memberikan bantuan ekonomi.
Logikanya memang saat ini banyak orang dan perusahaan sangat membutuhkan uang, lalu apa salahnya mencetak uang lalu membagi-bagikannya?
DPR juga berpendapat, daripada mencetak utang dan membebani keuangan negara, lebih baik mencetak uang sendiri, toh uang itu akan digunakan sendiri kan.
Namun realitanya tidak sesederhana itu, karena dalam perekonomian, uang berfungsi sebagai alat tukar yang akan memengaruhi demand.Â
Sedangkan di sisi lain, ada faktor produksi barang yang menjadi supply. Serta investasi yang menjadi motor penggerak supply dan demand.
Pandemi Covid ini memicu resesi ekonomi yang tidak biasa, karena supply dan demand anjlok bersamaan secara tak menentu.
Perusahaan kesulitan berproduksi karena operasional pabrik ditutup, penjualan drop, hingga distribusi barang terhambat. Sedangkan daya beli masyarakat menurun drastis dan aktivitas perdagangan dibatasi.
Mencetak uang berarti langkah untuk meningkatkan demand, namun jika supply masih bermasalah maka akan muncul inflasi, yang berarti meningkatnya harga barang. Bahkan jika produksi sudah normal pun, tapi pemerintah tidak dapat memastikan distribusi berjalan lancar, maka itu juga akan memicu inflasi.
Usulan DPR ini ditentang oleh kalangan teknokrat ekonomi, mulai dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), hingga tokoh-tokoh ekonomi kawakan seperti Chatib Basri, Faisal Basri, hingga Rizal Ramli.
Para teknokrat berpendapat, mencetak uang untuk membiayai anggaran negara adalah kebijakan keuangan yang tidak lazim dan berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan pasar.
Belum lagi risiko distribusi, memastikan uang tersebut tepat sasaran dan tidak ada penumpang gelap merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Menilik sejarah, Indonesia pernah menerapkan kebijakan mencetak uang pada tahun 1998, yang digunakan untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP). Namun SUP tersebut tidak dapat diperdagangkan (tradeable) karena suku bunganya mendekati 0%, akibatnya bank sentral tidak dapat menggunakan SUP tersebut untuk menyerap likuiditas.
Inflasi pun melonjak hingga 67% pada saat itu, mulailah nilai tukar rupiah makin panjang 0 di ekornya.
"Cetak Uang" Ala BI
Meskipun ide mencetak uang ditentang banyak pihak, sebenarnya BI sendiri juga sudah melakukan kebijakan "cetak uang".
Namun cetak uang ala BI ini lebih kepada konteks operasi moneter untuk melonggarkan likuiditas, atau populer disebut Quantitative Easing (QE).
Mulai awal Mei, BI menurunkan Giro Wajib Minimum 200 basis poin (bps) untuk Bank Umum dan 50 bps untuk Bank Syariah. Dengan pelonggaran tersebut, industri perbankan memiliki sekitar Rp 160 triliun yang dapat digunakan untuk menjaga likuiditas bank dan memberi keringanan kredit.
BI juga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder Rp 166 triliun dan memberikan fasilitas repo perbankan senilai Rp 137 triliun, serta mengadakan fasilitas swap valas sebesar Rp 29 triliun. Jadi secara total BI sudah mengguyur Rp500 triliun lebih ke pasar.
Apakah ini sudah cukup untuk menangani Covid-19? Secara moneter, dampaknya cukup baik, nilai tukar rupiah terjaga, inflasi masih terkendali.
Namun secara riil, kebijakan BI sepertinya memang belum cukup, karena kita tahu dampak Covid sangat besar terhadap banyaknya perusahaan yang harus tutup, PHK massal, dan lesunya aktivitas ekonomi.
Kebijakan moneter BI mungkin tidak dapat menyentuh secara langsung hal-hal tersebut.
Jika operasi moneter BI tidak cukup? ternyata pemerintah memang membuka ruang bagi BI untuk benar-benar "mencetak uang" seperti ide yang getol disuarakan DPR. Melalui Perpu No.1 tahun 2020, BI kini diberikan kewenangan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana.
Jadi pemerintah bisa mendapatkan dana dari utangan ke BI.
Hingga April 2020, tercatat BI sebagai non-competitive bidder telah "mencetak uang" atau membeli sekitar Rp4 triliun dari SBN yang diterbitkan pemerintah.
Haruskah Cetak Utang Lagi?
Pilihan pragmatis pemerintah sudah bisa ditebak, saat dalam kondisi darurat butuh uang, maka ambil utang baru.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, pemerintah telah menerbitkan utang luar negeri dalam bentuk 3 seri global bond. Totalnya mencapai US$ 4,3 miliar atau sekitar Rp68 triliun, terbesar dalam sejarah Indonesia.
Yield yang diberikan sekitar 3,9% hingga 4,25%, dengan jangka waktu bond ini bervariatif mulai dari 10,5 tahun hingga 50 tahun. Tenor utang 50 tahun ini merupakan yang terpanjang dalam sejarah RI. Wow...
Topik tentang utang negara memang selalu menjadi hal yang hangat diperbincangkan di warung kopi hingga meja parlemen. Hingga kuartal 1 tahun 2020 utang luar negeri RI tercatat mencapai US$ 389 miliar atau sekitar Rp5.796 triliun, nilai itu sekitar 34% dari PDB. Memang, masih jauh dari batas maksimal yang diatur Undang-Undang yaitu 60%, tapi utang selalu jadi topik yang sensitif di negeri ini.
Kementerian Keuangan juga mewacanakan bahwa pemerintah akan menerbitkan Pandemic Bond yang opsinya dapat dibeli oleh BI secara langsung di pasar perdana, dengan yield yang mungkin akan "sangat khusus".
Namun rencana itu akhir-akhir ini dibatalkan, karena Kemenkeu ingin fokus pada pembiayaan dengan cara yang normal.
Jika melihat kembali ide "cetak uang" yang dilontarkan DPR, sebenarnya pemerintah sendiri sudah membuka opsi itu melalui Perpu No.1 tahun 2020. Namun Kemenkeu dan BI sendiri saat ini masih enggan untuk mengeksekusinya secara masif karena memang itu sebuah langkah yang extraordinary dalam mahzab ekonomi.
Mau cetak uang atau cetak utang, harapannya memang tidak hanya ekonomi yang diselamatkan, tapi juga kesehatan.
Jangan sampai uang yang mengalir dimanfaatkan free rider, oknum birokrasi rakus, oknum pengusaha yang seolah-olah membutuhkan bantuan, atau bahkan pihak asing yang mengambil kesempatan untuk menggelontorkan utang.
Semoga pimpinan dan pejabat negeri ini tidak lupa, bahwa sia-sia ekonomi diselamatkan tapi krisis kesehatan terus berkepanjangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H