Namun cetak uang ala BI ini lebih kepada konteks operasi moneter untuk melonggarkan likuiditas, atau populer disebut Quantitative Easing (QE).
Mulai awal Mei, BI menurunkan Giro Wajib Minimum 200 basis poin (bps) untuk Bank Umum dan 50 bps untuk Bank Syariah. Dengan pelonggaran tersebut, industri perbankan memiliki sekitar Rp 160 triliun yang dapat digunakan untuk menjaga likuiditas bank dan memberi keringanan kredit.
BI juga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder Rp 166 triliun dan memberikan fasilitas repo perbankan senilai Rp 137 triliun, serta mengadakan fasilitas swap valas sebesar Rp 29 triliun. Jadi secara total BI sudah mengguyur Rp500 triliun lebih ke pasar.
Apakah ini sudah cukup untuk menangani Covid-19? Secara moneter, dampaknya cukup baik, nilai tukar rupiah terjaga, inflasi masih terkendali.
Namun secara riil, kebijakan BI sepertinya memang belum cukup, karena kita tahu dampak Covid sangat besar terhadap banyaknya perusahaan yang harus tutup, PHK massal, dan lesunya aktivitas ekonomi.
Kebijakan moneter BI mungkin tidak dapat menyentuh secara langsung hal-hal tersebut.
Jika operasi moneter BI tidak cukup? ternyata pemerintah memang membuka ruang bagi BI untuk benar-benar "mencetak uang" seperti ide yang getol disuarakan DPR. Melalui Perpu No.1 tahun 2020, BI kini diberikan kewenangan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana.
Jadi pemerintah bisa mendapatkan dana dari utangan ke BI.
Hingga April 2020, tercatat BI sebagai non-competitive bidder telah "mencetak uang" atau membeli sekitar Rp4 triliun dari SBN yang diterbitkan pemerintah.
Haruskah Cetak Utang Lagi?
Pilihan pragmatis pemerintah sudah bisa ditebak, saat dalam kondisi darurat butuh uang, maka ambil utang baru.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, pemerintah telah menerbitkan utang luar negeri dalam bentuk 3 seri global bond. Totalnya mencapai US$ 4,3 miliar atau sekitar Rp68 triliun, terbesar dalam sejarah Indonesia.