Namun realitanya tidak sesederhana itu, karena dalam perekonomian, uang berfungsi sebagai alat tukar yang akan memengaruhi demand.Â
Sedangkan di sisi lain, ada faktor produksi barang yang menjadi supply. Serta investasi yang menjadi motor penggerak supply dan demand.
Pandemi Covid ini memicu resesi ekonomi yang tidak biasa, karena supply dan demand anjlok bersamaan secara tak menentu.
Perusahaan kesulitan berproduksi karena operasional pabrik ditutup, penjualan drop, hingga distribusi barang terhambat. Sedangkan daya beli masyarakat menurun drastis dan aktivitas perdagangan dibatasi.
Mencetak uang berarti langkah untuk meningkatkan demand, namun jika supply masih bermasalah maka akan muncul inflasi, yang berarti meningkatnya harga barang. Bahkan jika produksi sudah normal pun, tapi pemerintah tidak dapat memastikan distribusi berjalan lancar, maka itu juga akan memicu inflasi.
Usulan DPR ini ditentang oleh kalangan teknokrat ekonomi, mulai dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), hingga tokoh-tokoh ekonomi kawakan seperti Chatib Basri, Faisal Basri, hingga Rizal Ramli.
Para teknokrat berpendapat, mencetak uang untuk membiayai anggaran negara adalah kebijakan keuangan yang tidak lazim dan berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan pasar.
Belum lagi risiko distribusi, memastikan uang tersebut tepat sasaran dan tidak ada penumpang gelap merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Menilik sejarah, Indonesia pernah menerapkan kebijakan mencetak uang pada tahun 1998, yang digunakan untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP). Namun SUP tersebut tidak dapat diperdagangkan (tradeable) karena suku bunganya mendekati 0%, akibatnya bank sentral tidak dapat menggunakan SUP tersebut untuk menyerap likuiditas.
Inflasi pun melonjak hingga 67% pada saat itu, mulailah nilai tukar rupiah makin panjang 0 di ekornya.
"Cetak Uang" Ala BI
Meskipun ide mencetak uang ditentang banyak pihak, sebenarnya BI sendiri juga sudah melakukan kebijakan "cetak uang".