"Aku tidak rela kau menghadapi kunyuk ini sendirian. Bagaimanapun juga kita harus bersama-sama melawan, tidak bisa satu-satu. Empat tinju tangan lebih baik daripada dua."
"Kau berdua memang tidak boleh mengantuk jika bicara denganku karena aku sebelum membunuh kau berdua akan bercerita mengenai kehebatanku membunuh seratus orang korbanku. Siap mendengar penjelasan panjang lebar dariku? Nah begini saja." Si Jubah Hitam kini kembali bersuara mirip Om Kaftan. "Para korbanku ini kubunuh dalam kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 2010 sampai tahun 2020. Setiap tahun antara bulan Januari sampai bulan Oktober, aku membunuh sepuluh orang, artinya tiap satu bulan, aku membunuh satu orang. Sampai di sini jelas?"
"PREKSU!!!" teriakku melawan kantuk.
"Botak, kalau kau kelaparan nanti kupesankan Ayam Geprek dan Susu Coklat."
Aku bersin sekeras mungkin sampai roboh di lantai. Bangkit berdiri, menguap lebar, lalu jatuh terduduk di sofa. Aku menguap lagi. Istriku memandangku sangat prihatin atau entah bagaimana dia memandangku. Pokoknya ini sangat di luar dugaanku. Aku sungguh tidak berdaya dan merasa putus asa melawan Si Jubah Hitam yang tampaknya mengerti betul kelemahanku akan rasa kantuk, lalu tubuhku bergetar hebat.
"KANGMAS!"
Hitam kelam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI