Istriku mencegahku maju menyerang. Sebenarnya dengan jarak hanya lima meter, mudah saja aku mengalahkan Si Jubah Hitam yang menyebalkan ini.
"Kau tidak berani menyerangku, Botak? Bikin malu saja. Wajah kau mirip Yul Brynner tapi nyali kau kayak Road Runner."
"Siapa sebenarnya anda ini?" istriku bertanya begitu sambil menyilangkan kaki. "Kenapa anda belum tertangkap juga padahal korban anda sudah mencapai ... 100 orang?"
"Pertanyaan bagus, Cantik. Kenapa aku belum tertangkap? Karena para polisi tidak menganggapku seorang pembunuh. 100 orang yang kubunuh mati dengan sebab natural, tidak tampak kalau mereka kubunuh. Demikian penjelasanku."
"Apa tidak ada pihak keluarga dari mereka yang protes?"
"Tidak, Cantik. Itu karena aku terlalu pintar membunuh sehingga 100 orang korbanku itu tidak tampak kalau kubunuh. Aku mempelajari kelemahan demi kelemahan seratus orang itu sehingga mudah sekali tindakanku ini."
"Anda jenius rupanya."
"Jangan memujiku begitu, Cantik."
Aku mulai mengantuk sekarang, tidak tahu jam berapa mungkin sudah lewat tengah malam. Tanpa bisa kutahan, aku menguap lebar dengan suara keras sehingga Si Jubah Hitam tertawa terpingkal-pingkal sampai bergulingan di lantai.
"Waktunya tidur, Botak?" Si Jubah Hitam mengejekku dengan suara mirip si burung kuning imut Tweety. "Cantik, kau tiduri itu suami kau di sofa sekarang juga."
"Kalau mengantuk tidur saja, Kangmas. Biar kulayani begundal ini."