Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karakter Umum Fenomenologi dan Model Aplikasi Praktisnya

30 Oktober 2024   07:53 Diperbarui: 30 Oktober 2024   08:01 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar

Fenomenologi bisa saja dikategorikan sebagai salah satu dari model pendekatan penelitian kualitatif yang berfokus pada pemahaman pengalaman subjektif individu terhadap fenomena tertentu. Sekilas fenomenologi berarti ilmu tentang fenomena tetapi bukanlah demikian seharusnya. 

Fenomenologi berasal dari pergerakan filsafat yang ingin menghilangkan prasangka dan berfokus pada bagaimana individu mengalami dan membiarkan fenomena dalam hidup mereka mengungkapkan diri apa adanya. 

Metode ini bertujuan untuk menggali kesadaran dan pengalaman pribadi, serta memahami bagaimana individu bisa saja dangkal atau sebaliknya sangat mendalam ketika menginterpretasikan realitas di sekitar mereka.

Fenomenologi dengan demikian merupakan alat yang kuat untuk memahami pengalaman manusia secara mendalam. Dengan fokus pada pengalaman subjektif yang banal atau berdasarkan yang dialami sehari-hari, metode ini membantu peneliti menggali makna di balik fenomena yang dialami oleh individu secara personal, sehingga memberikan wawasan yang lebih kaya tentang kehidupannya sendiri maupun manusia pada umumnya.

Fenomenologi telah diadopsi dan dikembangkan oleh beberapa filsuf untuk memahami pengalaman manusia dari berbagai perspektif, termasuk kesadaran, keberadaan, tubuh, dan interaksi sosial. 

Pendekatan ini pun tetap relevan dalam banyak bidang penelitian hingga saat ini, memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana individu mengalami dan memberi makna pada dunia di sekitar mereka. 

Karakter Umum Fenomenologi secara Filosofis

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan fenomenologi pada filsafat cukup signifikan. Akan tetapi lepas dari berbagai penekanan khusus masing-masing fenomenolog, mereka juga membagi hal yang sama mengenai apa yang kita tangkap sebagai ciri umum fenomenologi. Berikut sekurang-kurangnya beberapa ciri umum fenomenologi yang bisa ditenggarai. 

Pertama, fenomenologi adalah metode deskriptif mengenai 'Ada' atau fenomena. Fenomenologi berfokus pada pengalaman, yakni bagaimana segala sesuatu tampak secara langsung (immediate) pada kesadaran (consciousness). 

Metode ini dalam istilah lain disebut pendekatan berdasarkan 'sudut pandang orang pertama' (first-person approach) yang dilawankan dengan 'sudut pandang orang ketiga' (third-person approach) (Gallagher; 2012, 6).

Kedua, fenomenologi menganggap fenomena sebagai realitas itu sendiri (phenomenon is the being of phenomenon). Jadi, fenomena tidak menyembunyikan realitas. Sebagaimana sangat jelas dalam fenomenologi Heidegger, fenomenologi merupakan ilmu (logos) mengenai hal-hal yang 'menampakkan diri' (phainomenon). Istilah 'menampakkan diri' ini penting dalam fenomenologi sebab menampakkan diri menekankan peran realitas itu sendiri. 

Artinya ketertampakan itu bukan sebuah 'penyingkapan' oleh subjek, melainkan 'pewahyuan' realitas itu sendiri. 

Ketiga, fenomenologi tidak mendekati 'Ada' sebagai sesuatu, atau berusaha menangkapnya dan merumuskannya ke dalam kategori atau konsep-konsep tertentu, melainkan membiarkan realitas tersebut mengungkapkan diri pada dirinya sendiri. 

Dalam Heidegger dan Mistik Keseharian (2003), F. Budi Hardiman menjelaskan hal ini dengan sangat baik. Menurutnya, mengambil gagasan Maurice Natanson, fenomenologi adalah a science of beginnings. Artinya, berfenomenologi berarti mengambil sikap sebagai pemula (beginner). 

Bersikap sebagai pemula maksudnya bersikap 'seolah-olah' kita melihat satu fenomen untuk pertama kalinya. Kita tidak boleh menganggap atau berasumsi bahwa kita sudah mengenal fenomen yang ada di hadapan kita, dalam arti bahwa segala hal memang sudah demikian adanya, seperti pohon, dll. realitas tidak boleh diandaikan begitu saja. Kita harus menghindari sikap taken for granted semacam itu. 

Dengan kata lain, kita harus membiarkan 'Ada' itu menampakkan diri. 

Karena itu, sikap yang tepat ialah membuka diri, membuka mata selebarlebarnya dan membiarkan 'Ada' menampakkan diri pada dirinya sendiri (Hardiman; 2003, 21-26). Demikian dalam fenomenologi, kesadaran lebih dimengerti sebagai ketersingkapan 'Ada', bukan penguasaan (penangkapan) terhadap ada. 

Fenomenologi dalam Penelitian

Dalam perkembangan filsafat fenomenologi menggemparkan asumsi normal pada masanya. akan tetapi fenomenologi tidak hanya relevan secara filosofis belaka tetapi juga merangsek ke ilmu-ilmu lainnya yang lebih spesifik. Penekanan fenomenologi tentu saja sama dalam ilmu spesifik ini dengan menimbang tujuan ilmu terkait. Beberapa poin yang ditekankan fenomenologi yakni deskriptif. Fenomenologi dipakai dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengalaman dengan akurat, menangkap esensi dari fenomena yang diteliti.

Fenomenologi fokus pada pengalaman hidup subjek penelitian. Penelitian ini berusaha memahami bagaimana individu mengalami suatu fenomena dan makna yang mereka berikan terhadap pengalaman tersebut. Langkah yang digunakan sama yakni dengan bracketing. Peneliti dalam hal ini harus menangguhkan asumsi dan prasangka pribadi mereka untuk fokus pada pengalaman peserta.

 Kemudian langkah berikutnya adalah analisis tematik. Data yang dikumpulkan oleh peneliti dianalisis untuk mengidentifikasi tema-tema utama yang muncul dari pengalaman peserta.

Berikut prosedur dalam penelitian (Harappa; 2024) yang menggunakan  Fenomenologi dalam kajiannya. Pertama, adanya identifikasi fenomena. seorang peneliti pertama-tama harus menentukan fenomena yang akan diteliti. 

Langkah kedua yang dilakukan tentu saja pengumpulan data. Seorang peneliti melakukan pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, atau analisis dokumen. 

Langkah berikutnya yang ketiga adalah penangguhan atau bracketing. Seorang peneliti harus menangguhkan asumsi pribadinya untuk mendapatkan pandangan murni dari peserta berdasarkan pengalaman dan data yang dikumpulkannya. Langkah keempat adalah analisis data. 

Seorang peneliti harus membaca secara cermat dan mengelompokkan data menjadi tema-tema yang mencerminkan pengalaman hidup peserta dan memaparkan hasilnya secara deskripsi komposit. 

Dalam hal ini, peneliti mengembangkan deskripsi komprehensif tentang fenomena berdasarkan analisis data. langkah kelima tentu saja memaparkan hasil penelitiannya. Seorang peneliti mempresentasikan hasil penelitiannya. Ia harus menyajikan temuan dalam bentuk narasi yang menggambarkan pengalaman peserta secara mendalam.

Aplikasi Fenomenologi dalam bidang spesifik dapat ditemukan dalam berbagai bidang. Fenomenologi sering digunakan dalam psikologi untuk memahami pengalaman emosional individu, seperti trauma atau kehilangan. Dalam sosiologi, fenomenologi berguna untuk menyelidiki dinamika sosial dan bagaimana individu memahami peran mereka dalam masyarakat.

 Dalam bidang kesehatan pun fenomenologi memberikan manfaatnya. Fenomenologi berfungsi untuk mengeksplorasi pengalaman pasien dengan penyakit atau perawatan medis tertentu. 

Lebih jauh lagi, fenomenologi dapat berperan penting bagi pendidikan. Fenomenologi dalam pendidikan diperlukan untuk memahami bagaimana siswa mengalami proses belajar dan pengajaran tanpa asumsi dan tebakan-tebakan bahkan hanya dari angka-angka saja.

Metode fenomenologi berusaha menawarkan wawasan mendalam tentang pengalaman subjektif manusia. Akan tetapi fenomenologi pun mendapatkan kritik-kritik yang menunjukkan bahwa pendekatan ini pun memiliki keterbatasan dan tantangan yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, penting bagi seorang fenomenolog untuk menyadari dan mempertimbangkan kritik-kritik ini saat menggunakan metode fenomenologi dalam penelitian mereka. 

Kritik terhadap fenomenologi salah satunya terkait keterbatasan bracketing.  Meskipun fenomenologi berusaha untuk "bracketing" atau menangguhkan asumsi dan prasangka peneliti, kritik muncul bahwa tidak mungkin bagi peneliti untuk sepenuhnya mengesampingkan bias pribadi mereka. Hal ini dapat memengaruhi interpretasi data dan hasil penelitian. Subjektivitas dan bias peneliti akan selalu ada pada peneliti termasuk dalam melaporkan hasil penelitiannya.

Kritik berikutnya terhadap fenomenologi menyangkut konteks yang dinilai dihilangkan. Beberapa kritikus berargumen bahwa fenomenologi cenderung mengabaikan konteks sosial, budaya, dan historis dari pengalaman yang diteliti (Rusli; 2008, 145). 

Dengan fokus pada pengalaman individu, fenomenologi dapat kehilangan nuansa penting yang berasal dari latar belakang sosial dan budaya peserta. Pengabaian konteks sosial dan budaya tentu menjadi poin lemah yang harus diperhatikan karena subyek sudah selalu dalam konteks sosial dan budaya tertentu. 

Kritik lain disampaikan berkaitan dengan fenomenologi yang berfokus pada pengalaman subjektif individu, sehingga sulit untuk menggeneralisasi temuan ke populasi yang lebih luas. Hal ini dapat membatasi aplikasi praktis dari hasil penelitian. 

Dalam kajian agama, fenomenologi sering dituduh memiliki agenda teologis yang tersembunyi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa pendekatan ini dapat memperkuat relasi kekuasaan antara peneliti dan subjek penelitian, serta mengabaikan perbedaan kritis antara kajian ilmiah dan teologis (Rusli; 2008 146). Filsuf seperti Jacques Derrida mengkritik fenomenologi karena terjebak dalam metafisika kehadiran. 

Ia berargumen bahwa fenomenologi perlu dibebaskan dari pandangan metafisik untuk memungkinkan pendekatan yang lebih fleksibel dalam penyelidikan fenomenologis. Beberapa kritikus juga mempertanyakan relevansi fenomenologi dalam konteks ilmu pengetahuan modern yang semakin objektif dan berbasis data. Mereka berargumen bahwa pendekatan ini mungkin tidak sejalan dengan metodologi ilmiah yang lebih empiris.

Kesimpulan

Fenomenologi lahir dari sebuah keprihatinan akan cara memandang dunia yang cenderung mengabaikan fenomena itu sendiri. Setiap orang dalam kesehariannya sudah memiliki konsepnya masing-masing tentang dunia yang dijalaninya tanpa memeriksa kebenaran dari yang dipikirkannya. Fenomenologi menawarkan sebuah metode bahkan menurut penulis akan lebih masuk sebagai salah satu cara menjalani keseharian. 

Fenomenologi memang mendapat kritikan bertubi-tubi terkait dalam aspek penelitian. Akan tetapi fenomenologi sebagaimana yang saya katakan, bersumber pada filsafat dan memuat relevansi khasnya pada kehidupan personal seseorang. 

Seseorang harus membiarkan dirinya menerima 'Ada-nya' dan menjalani keseharian dengan apa-adanya. Segala pengkonsepan tentu saja penting supaya tidak harus selalu mencari tetapi melihat segala sesuatu secara jernih dan apa adanya akan membuat hidup lebih ringan serta dapat menemukan makna pada hal-hal yang banal.

Daftar Pustaka

Hardiman, F. Budi. 2003. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Phenomenological Research: Methods And Examples, dalam Harappa. Diakses dari https://harappa.education/harappa-diaries/phenomenological-research/, pada 22 Oktober 2024.

Rusli. 2008. Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Konsep, Kritik dan Aplikasi,

dalam ISLAMICA, 2 (2), 141-153.

Sambera, Richard. 2008. Rephrasing Heidegger: A Companion to Being and Time. Ottawa: The University of Ottawa Press.

Zahavi, Dan dan Shaun Gallagher. 2012. The Phenomenological Mind. New York: Routledge. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun