Kamar Arkansas begitu rapi, banyak foto terpajang di mejanya. Foto-foto yang mengingatkanku pada kenangan masa lalu, saat kami masih heboh menghabiskan masa kecil kami berdua. Tapi ada hal yang membuatku merasa kecut, yakni fotonya dengan seorang perempuan cantik.
"Itu pacarmu?"
Arkansas menggelengkan kepala," Bukan, itu bukan pacar,"
"Lantas?"
"Itu menantu ayah,"
Ia kembali meringis. Aku membuang muka muak dengan permasalahan jodoh.
Arkansas yang kini memposisikan diri di tempat tidurnya membiarkanku duduk berhadapan dengan foto-foto yang tertata rapi di atas meja. Kupikir Arkansas akan sepertiku yang tidak mulus dalam hal percintaan. Dan tentang cinta, aku mulai mengingat satu hal.
Jakarta, 5 Oktober 2002
Kepergianku merantau ke Jakarta membawaku pada kerinduan kota budaya Yogyakarta. Belum dua bulan aku bekerja di kota Metropolitan ini aku sudah merasakan homesick. Kedatanganku di Jakarta disambut baik oleh pemilik perusahaan yang kebetulan sangat membutuhkan seorang sarjana ilmu komunikasi sepertiku.
Semua berjalan lancar, aku dengan mudah beradaptasi di lingkungan kerjaku yang baru. Para pegawainya ramah-ramah, tidak ada pembeda antara hidupku di Jogja maupun di Jakarta. Meski demikian, macetnya Jakarta sedikit membuatku kecewa karena selalu mengganggu rutinitasku setiap harinya.
Aku tinggal bersama dengan Kalis, temanku yang menawariku pekerjaan ini. Kami hidup satu atap di sebuah rumah kontrakan. Semenjak kedatanganku di Jakarta, Kalis yang selalu mengajakku pergi jalan-jalan keliling kota metropolitan. Suasananya sangat berbeda dibandingkan suasana kerinduan kota Yogyakarta.