"Wah, masnya bisa makan di sini tapi tidak ada uang? Awas, nanti menantunya usang,"
Si pengamen berlalu. Sembari makan, aku memikirkan tentang menantu usang. Apa yang aneh dengan perkataan tersebut? Mungkinkah ini sedikit menyinggung tentang aku yang tidak segera menghadirkan menantu untuk ayahku?
Pertanyaan itu masih menyangkut di benak.
 "Kan, masihkah kau dengar ayah menuntutku untuk mencari menantu untuknya?" tanyaku.
Arkansas mengangguk. Ia membolak-balik halaman buku, sepertinya ia sedang kebingungan mencari referensi untuk bahan skripsinya. Melihat gelagatnya yang demikian, aku melanjutkan tulisan naskahku. Sambil menulis, aku juga mencari sebuah lowongan pekerjaan yang cocok dengan kemampuanku.
***
Mobil kami terhenti di garasi, kuturunkan barangku dari bagasi lalu masuk ke rumah berbarengan dengan Arkansas. Ayah masih duduk menonton televisi, tepat di channelsiaran pertandingan bola antara Real Madrid dan Barcelona. Dulu, aku dan ayah menjadi musuh bebuyutan ketika laga berlangsung. Aku sebagai seorang penggemar Barca, sedangkan ayahku sebaliknya, Madrid.
"Aku pulang," sapaku. Ayahku hanya terdiam, sepertinya dia enggan berbicara denganku karena tahu bahwa aku belum membawakannya seorang menantu.
Aku beranjak ke kamar. Kondisinya masih sama seperti pertama kali aku berangkat merantau. Hanya saja tidak sedikit perabot kamarku seperti meja belajar, lemari dan rak buku yang berpindah ke kamar sebelah, kamar Arkansas.
"Kan, lemari dan mejaku mengapa kau pindahkan ke kamarmu?" tanyaku sedikit kesal.
Dia hanya meringis.