“Hingga suatu hari, ketika Allah kembali mempertemukan kita lagi entah itu kau sengaja atau tidak, dan setelah aku tahu yang selama ini aku lihat dari ruanganku adalah kau, kemudian kau mengatakan hal tersebut padaku. Lalu perempuan mana yang menurutmu tidak terkaget dengan pertanyaan seperti itu?”, perempuan itu setengah berteriak.
“Marahlah, jika menurutmu aku terlalu lama untuk menjawabnya. Namun setelah message mu yang terakhir aku tersadar, aku yang salah tidak segera memberi jawaban padamu. Maaf”.
Keduanya terdiam takjim, yang di depan masih memandang kosong lurus ke depan sementara, seseorang lainnya kemudian masih menata nafas setelah panjang lebar berbicara sambil menahan tangis. Matahari masih bercokol di sana belum benar-benar tenggelam, seakan mendengarkan pembicaraan mereka, tak mau ketinggalan cerita dari atas sana.
“Pertama, pertemuan saat aku mengutarakan pertanyaanku itu, aku benar-benar tidak sengaja. Aku telah memendamnya lama, aku tak mau menemuimu, sebelum Allah yang mempertemukan kita, karena kebetulan yang Allah buat akan lebih indah. Sembari aku menunggu kebetulan dari-Nya, aku selalu memikirkan akan pertanyaan yang akan aku berikan padamu itu Nasywa”. Lelaki itu mulai berbicara.
“Kedua, Aku tidak perlu marah, aku hanya tidak mau merindukan seorang perempuan hingga kemudian aku berdosa karena rasa rindu ini. Aku tidak perlu marah, aku hanya tidak mau selalu mencuri-curi pandang ketika aku melewati lantai bawah. Aku tidak perlu marah, aku hanya ingin tahu apakah kau mengerti maksudku. Bahkan Allah telah melindungi kita, jauh-jauh hari sebelum ini, ketika kita saling memandang di laboratorium”. Jelas sang lelaki.
“Menurutmu aku marah? Mengapa Aku marah? Aku berniat baik, dan itulah ikhtiar terakhirku ketika rasa rindu semakin menyiksaku. Jawablah Nasywa, aku siap dengan kedua kemungkinan.”, jelas lelaki ini.
“Baiklah aku jawab, InsyaAllah, aku juga perempuan dewasa yang tidak mau terjebak dengan rasa rindu kemudian berdosa. Aku akan menjawabnya. Bismillahirrahmanirrahim, Allah melihat kita lewat Senja-Nya di tempat ini, Haidar, aku terima niatmu menjadi Imam hidupku. Aku bersedia, kau menjadi suamiku”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H