“Jadi kau tidak tahu jika itu adalah aku yang berada di laboratorium Nasywa?”,lanjut lelaki yang telah berada jauh di depannya.
“Kau sebelumnya sudah pernah bertemu dengan pria berbaju putih, bermasker dan bersarung tangan itu Nasywa. Itu adalah aku, Haidar”, jelas lelaki itu.
“Terima kasih”, Nasywa spontan mengatakan 2 kata ini.
“Maaf?”, tanya lelaki di depannya tak mengerti.
“Terima kasih telah ada di sana. Walau kau juga sibuk dengan pekerjaanmu, begitu juga aku tapi serasa ada teman”. Nasywa tersenyum tanpa melihat lelaki itu.
“Jujur ini benar-benar tempat baru bagiku. Tapi pekerjaan berat dan tanpa partner itu ujian bagiku”. Lanjutnya.
“Sama-sama”. Jawab singkat lelaki ini.
. . .
Senja memerah pada tahtanya kini, tembok sepinggang mengitari tempat tersebut. Tempatnya yang paling atas membuatnya, semakin dekat dengan langit yang tidak biru lagi. Seorang laki-laki tinggi , berdiri di dekat tembok itu, bayangannya memanjang di belakangnya. Sinar matahari menyentuh lembut mukanya.
“Entah apa yang kau pikirkan hari itu sehingga, kau berani mengatakannya padaku”. Kata seorang perempuan di belakangnya.
“Tapi kau telah menjabarkannya panjang lebar, bahwa kau dan aku sudah pada umur dewasa untuk mengerti hal ini. Aku tak tahu kau siapa, kau seperti apa. Aku hanya tahu kau adalah seorang berbaju putih, bermasker dan bersarung tangan yang mahir di tempatmu, di luar ruanganku dan menghilang saat adzan datang”, jelasnya.