Mohon tunggu...
Erma Alfiana Hidayah
Erma Alfiana Hidayah Mohon Tunggu... Guru -

Saya menyukai senjaNya. Sungguh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terjawab Saat Senja

9 Februari 2016   23:10 Diperbarui: 17 Juni 2016   19:23 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berhenti sejenak untuk memastikan jam yang melingkar pada tangannya sama dengan posisi Sang Surya, kemudian melanjutkan kegiatan sebelumnya

“MasyaAllah...”, katanya sambil menyikukan tangan kiri tepat ke depan dada dan kembali melihat jam tangannya.

Tiba-tiba suara telepon genggam berbunyi…

“Mbak, maaf baru saja saya baca smsnya. Maaf tadi tidak memberi tahu dulu sebelum pulang. Saya taruh di meja paling pojok barat di dalam laci. Maaf ya, harusnya tadi saya serahkan dulu, jadi mbak gak harus sampai gudang nyarinya”, kata pria di ujung telepon sana.

“Iya pak, tidak apa-apa. Terima kasih”. Jawabnya singkat. Marah tak mungkin perempuan itu lakukan lagi. Marah sudah kalah telak dengan kebingungan yang terlihat dari rautnya.

“Alhamdulillah, di sini kalian rupanya. Bisa tidak pulang, kalau tidak nemuin kalian”, gerutunya.

Kursi yang berada di kolong meja, rupanya menarik perhatiannya. Ditariknya kursi itu, duduklah dengan takjimnya. Menghadap ke barat. Membiarkan sinar matahari menyentuh wajahnya. Senja benar-benar menampakkan dirinya detik ini. Perempuan itu kembali mengeluarkan telepon genggamnya, matanya fokus pada layar telepon genggam, telunjuk kanannya bergerak ke atas bawah layar telepon genggamnya.

Perempuan itu menyikukan tangannya ke atas meja, dan membenamkan kepalanya. Pekerjaan yang menumpuk membuatnya ingin semakin lama di tempat tersebut untuk sekedar beristirahat. Sejak 6 bulan yang lalu memang ia, memulai karirnya di sebuah perusahaan manufaktur. 6 Bulan bukan waktu yang singkat sehingga ia bisa mengerti betul seabrek pekerjaan. Hingga setiap akhir bulan datang tanda genderang lembur akan dimulai untuk persiapan laporan keuangan.

. . .

 “Nasywa..”, panggil manajernya.

“Iya pak”.

“Sudah tahu tempat Ibu Aisya? Boleh saya minta tolong?”

“Iya pak, boleh”.

“Tolong, kamu ambilkan stampel di ruangan beliau karena tadi pagi dipinjam. Saya telepon kok tidak diangkat”.

“O begitu pak? Di lantai 2 ya pak ruangan beliau?”, tanya Nasywa.

“Belum tahu ya? Hehe.. tidak apa-apa deh biar sekalian tahu kan. Ruangannya di lantai 3. Ya di dalam Lab”.

“MasyaAllah, salah ya pak. Hehe..”, Nasywa tersenyum malu.

“Kamu bisa saja. Kalau sudah antar ke saya ya..”, perintah manajernya sambil memasuki ruangan.

Hari ini menjadi hari pertamanya, untuk naik ke lantai 3. Berkenalan dengan laboratorium perusahaannya. Sempat menganga mulut Nasywa, melihat berbagai barang yang tak akan pernah dilihatnya di bawah. Nasywa memang diam di satu titik, namun matanya berputar kesana kemari kagum. Barang-barang yang mengesankan.

“Kok sepi ya…”, gumamnya.

Mata nasywa kembali berputar, mencari seseorang yang bisa ditanyai. Tidak seberapa lama kemudian, mata Nasywa berhenti pada seseorang di ujung paling dalam sedang mengenakan baju putih, mengolak-alik tabung kecil. Detik-detik berubah menjadi menit, tidak berusaha masuk atau mengetuk pintu atau memencet bel Nasywa justru masih fokus pada seseorang di dalam sana dengan berbagai kegiatan yang menurut Nasywa menarik. Nasywa, seperti tidak sadarkan diri ketika tiba-tiba senyumnya mengembangkan sudut bibirnya. Satu menit, dua menit. Tidak hanya Nasywa yang belum tersadar rupanya. Seseorang di dalam sana yang benar-benar fokus pada pekerjaannya belum tersadar akan keberadaan seorang perempuan di luar. Menit ke 5, telepon genggam Nasywa lah yang berjasa menyadarkan diri Nasywa.

“Sudah, dapat stampelnya?”, bacanya.

Nasywa menghela nafas panjang, segala kekaguman pada lantai 3 akan segera berakhir rupanya.

“Ada yang bisa dibantu?”, tanya seseorang berbaju putih di depannya.

“Astaghfirullah…”, Nasywa yang sedang membalas message terkagetkan dan menjatuhkan telepon genggamnya di lantai.

“MasyaAllah”, kata seseorang bermasker dan berjas laboratorium di depannya yang refleks mengambilkannya.

“Terima kasih”. Kata Nasywa sambil menerima barang yang dijatuhkannya.

“Dari lantai bawah ya? Mau mengambil stampel? Saya tunggu dari tadi, saya dapat pesan dari Ibu Aisyah untuk memberikan ini”, kata seseorang tersebut sambil memberikan stampel.

“Ohh iya.. Terima kasih”. Nasywa menjawab singkat, pikirannya melambung pada beberapa menit yang lalu, apakah orang tersebut tahu dirinya telah mengamati ruangan kerjanya dari tadi. Nasywa memastikan tempat berdirinya aman jika dilihat dari dalam, dahi Nasywa kemudian berkerut, ragu.

“Ada yang lain?”, jawab seseorang tersebut.

“Heii… Ada yang bisa dibantu yang lain?”, Lanjut orang tersebut.

Rupanya Nasywa masih memperhitungkan jarak berdirinya tadi dengan tempat berdiri orang di depannya tersebut di dalam laboratorium apakah terlihat jelas atau tidak dari dalam.

“Nasywaaa…..”. Panggil orang tersebut.

“Ahh iyaaa!” jawab Nasywa, kemudian mengerutkan dahi pada orang di depannya tanda bertanya bagaimana bisa orang tersebut tahu namanya.

“Itu name tag kamu!”

“Eh iya. Terima kasih ya”, kata Nasywa sambil membungkukkan badan.

. . .

Pulang malam adalah hal jarang bagi lelaki ini, kecuali beberapa malam ini ketika project produk baru datang. Seperti saat ini ketika malam telah menelan matahari, ruangan ber-AC benar-benar telah menjadi tempatnya beberapa hari ini. Menggerutu akan tidak adanya teman adalah tidak berguna. Selain itu, orang yang masih bertahan dengan baju putih, masker dan juga sarung tangan tersebut bukan tipe orang penggerutu.

Matahari hadir menyapa kembali, setelah berusaha keras memejamkan matanya tadi malam, akhirnya hari berganti. Hari ini adalah harinya, harinya berlapang dada ketika memang harus ada perbaikan untuk produk ini. Kantung mata sedikit terbentuk, walau merah yang ada dalam matanya telah tak terlihat berkat tidur  malam tadi.

 “Jam 9 ya, setengah jam lagi.. Kita tunggu di ruang meeting”, canda temannya. Ia membalas lambaian tangan temannya, dan tersenyum.

. . .

“Nasywa!”, panggil manajer Nasywa.

“Uhm, boleh saya minta tolong lagi? Tolong mintakan rincian anggaran dari laboratorium untuk project produk baru. Hari ini katanya sudah jadi, tapi 5 menit yang lalu HP Ibu Aisya tidak aktif”, jelas manajer Nasywa panjang lebar.

“Oke pak, saya ambilkan”.

Tangannya menyentuh kaca yang mengitari laboratorium. Pandangan Nasywa berhenti pada seseorang di sebelah sana, yang sedang meremas-remas tangannya dan bicara sendiri. Sesekali lelaki tersebut mengibaskan tangan di depan mulutnya, menandakan salah bicara, lalu kemudian memulai lagi berbicara sendiri. Sesekali orang tersebut berdiri, dan kembali berbicara. Nasywa kemudian berjalan mendekati pintu kaca, mengetuknya dan mengucapkan salam. Seorang lelaki dari dalam membukakan pintu.

Setelah menjawab salam seseorang tersebut bertanya, “Ada yang bisa dibantu?”

“Maaf, mengganggu. Apakah Ibu Aisya di dalam? Saya akan mengambil rincian anggaran untuk project produk baru”, jelas Nasywa.

“Ibu Aisya sudah ada di ruang meeting, hari ini kami akan meeting tepat jam ini. Kalau ingin bertemu beliau silakan ikuti saya di ruang meeting, bagaimana?”, seseorang tersebut menawarkan.

“Uhm.. baiklah. Terima kasih”.

Nasywa kemudian mengikuti lelaki tersebut berjalan menuju ruang meeting lantai 3. Setelah menunggu beberapa saat di luar ruangan, Ibu Aisya keluar dari ruang tersebut.

“Nasywa ya? Aduh maaf ya, membuat Nasywa naik ke atas. Ini baru ON handphone saya. Hari ini saya akan meeting dan menjelaskan juga masalah anggaran ini. Tadi saya sudah membalas message Pak Hari, beliau menyuruh saya untuk mengatakan pada Nasywa untuk ikut di meeting ini sekalian. Tidak lama kok. Ini…”, jelas Ibu Aisya sambil menunjukkan handphone pada Nasywa.

“Silakan masuk!”

 “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya Haidar”. Seseorang bediri di depan memulai presentasinya mengenai produk baru.

. . .

Seorang perempuan berbicara pada udara, entah berharap didengarkan ataupun tidak. Meluapkan apa yang dirasa.

Beberapa hari ini bukan hal mudah baginya. Pertanyaan dari segala pertanyaan terlebih soal-soal UN tak sesulit pertanyaan ini. Dilihatnya HP yang digenggamnya, telunjuknya bergerak ke atas dan kebawah, mengangguk-angguk, namun raut mukanya bimbang. Bibirnya mengatup. Tidak berkata lagi. Sudah entah beberapa hari sejak sebuah pertanyaan tersebut diajukan, dan jawaban belum juga kunjung datang.

. . .

“Nasywa, setelah istirahat nanti kamu bisa mulai mengerjakan laporan keuangan produk baru. Agar efektif, kamu beberapa hari ke lantai 3, Ibu Aisya sudah menyiapkan tempat. Berhubung ya semingguan lebih lah tiba hari launching, sepertinya kamu harus bekerja keras. Maaf ya, tidak ada lagi yang bisa saya andalkan. Ibu Ika sedang cuti, jadi saya putuskan kamu yang handle”. Jelas Pak Hari. Beberapa hari yang lalu setelah ikut dalam rapat di lantai 3, Pak Hari telah menyinggung sedikit pada Nasywa tentang keterlibatannya pada project baru, sehingga hari ini Nasywa tidak begitu terlalu kaget.

“Baik pak, InsyaAllah, saya handle”, jawabnya.

Mulai hari ini, Nasywa disibukkan pada project produk baru, pun juga tempat kerjanya yang pindah ke lantai 3. Larut malam bukanlah momok baginya, namun adaptasi dengan tempat baru yang menjadi ujiannya. Tidak adanya partner membuat beban tersendiri baginya.  Kini tempat kerjanya berada dalam kantor di dalam laboratorium, kantornya dikelilingi kaca yang bisa melihat orang-orang yang sedang bekerja dalam laboratorium. Satu ruangan dengan Ibu Aisya. Ibu Aisya yang tidak pernah pulang larut memaksa Nasywa untuk sendiri di ruangan tersebut hingga larut.

Hari-hari berikutnya Nasywa masih disibukkan dengan laporan keuangan produk baru di tempat barunya. Kacamata dilepaskannya, Nasywa menggosok matanya tanda penat. Pandanganya mulai mengeksplorasi laboratorium dari dalam ruangannya, seseorang dengan baju putih dan masker dilengkapi sarung tangan masih berada di luar sana dari tadi. Nasywa mulai mengikuti gerakan orang tersebut kesana kemari.

. . .

Bukan keputusan yang mengecewakan sebenarnya, karena bukan karena kesalahan yang fatal. Hasil dari presentasi tempo hari memutuskan perlu banyak hal yang harus ditambahkan, agar produk tersebut menjadi sempurna. Akibat adanya masukan dari sana-sini maka, sebelum launching tambahan-tambahan tersebut harus terselesaikan. Sudah penat sebenarnya matanya, tangannya telah lelah bersentuhan dengan alat-alat ini. Apalagi sudah berapa hari makan malam terlewatkan olehnya. Lagi-lagi sendirian di tempat ini. Mengiyakan ajakan teman untuk pulang tak berarti membuatnya pulang.

Ada yang beda beberapa malam ini, mata lelaki ini menangkap ada hal baru di ruangan atasannya sebelah pojok. Ruangannya berkaca gelap, namun lampu yang menyala dari dalam membuatnya tahu siapa yang ada di sana. Sesekali orang tersebut, menaikkan bagian tengah kacamatanya yang melorot. Beberapa kali juga, ia merobek kertas. Suara printer malam-malam seperti ini tidak pernah ia dengar kecuali beberapa malam ini, membuat lebih berwarna.

Suara tuts-tuts komputer yang bekerja terdengar begitu indah di beberapa malam ini. Sesekali lelaki ini sengaja membalikkan badannya ketika, suara tuts-tuts keyboard komputer menghilang. Entah untuk memastikan atau apa, namun rutin setelah membalikkan badannya, kini matanya bekerja ke kanan kiri mencari tangan-tangan yang menekan tombol-tombol itu.

bersambung..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun