"Maaf, Dek jangan peluk jaga jarak kita kami dari luar mau cuci tangan dang anti baju dulu, ya," aku langsung masuk kamar mandi dan mandi begitu pun anakku. Kasihan Ita yang sedang mengandung, kami tak tahu pembawa virus atau bukan. Tadi kami naik angkutan umum, takutnya di antara penumpang ada yang membawa virus covis 19.
"Situasi bagaimana, Mba seram yah banyak yang meninggal," Ita membuka percakapan. Aku elus perut buncitnya yang sudah memasuki bulan ke tujuh.
"Alhamdulilah, kami baik, Dek kamu di rumah saja jangan keluar, ya kasihan debaynya nanti," adikku yang juga merantau di kota besar denganku tadinya ikut aku. Setelah menikah ia ikut suaminya yang bekerja di daerah Bogor.
" Iya, Mba setiap pulang kerja Bang Edi membawakan lauk matang dan sayur mentah untuk aku masak jadi aku ga pernah keluar rumah," Ita adikku yang sudah semakin dewasa.
"Ih, ga jenuh tan kegiatannya di rumah aja," anakku Ines.
"Ga lah tante bikin masakan dibawa om ke kantor, lumayan om jadi ga usah jajan. Adikku ini memang pintar masak dari kami masih tinggal bersama. Ibu mengajari kami sesuai keahlian kami. Aku yang suka sekali kerajinan tangan diarahkan ibu membuat pernak-pernik barang. Hamper semua benda yang digunakan di rumah kami aku yang membuat. Aku buat tempat tisu lucu dari kardus, toples cantik dari botol bekas, juga boneka-boneka.
"Jangan kerja terlalu letih, Dek, ingat kandunganmu," tanganku langsung mengambil sapu dan membereskan rumah adikku. Cucian aku masukkan mesin cuci.
"Duh, Kak Nur selalu begini deh kalau ke sini maunya beberes terus, sudah ayo duduk ada perlu apa nih ga mungkin kan hanya menengok aku," akhirnya adikku tahu keperluanku. Kuceritakan semua yang aku alami dan akhirnya aku dirumahkan dengan pemotongan gaji. Aku terisak tak kuasa menahan kesal, kecewa, malu, dan begitu banyak himpitan yang kurasakan.
"Kak, aku turut prihatin, rencana kakak apa?" aku belum menjawab memikirkan apa yang harus aku lakukan. "Lakukan yang menurut kakak menjadi mudah dan meringankan, semua kakak yang mengalami, jangan biarkan imun kakak drop."
Kata-kata adikku terngiang di telinga. Aku harus mengambil sikap mengharapkan mas Edi di situasi seperti ini bagaikan sayap patah. Aku tak mau anak-anakku juga menjadi patah semangat. Kupandangi si putih yang masih berdiri angkuh seakan mengejek. Sisa-sisa keberanianlah yang membawaku untuk mengemudikan si putih dan membawanya ke dealer mobil bekas. Tanganku sudah mengenggam rupiah yang sebagian akan aku gunakan menebus motor adikku dan kontrakan yang akan kubayar tiga bulan ke depan. Sisanya aku pakai berdagang aku buat masker yang memang diminati. Tak akan aku biarkan virus yang saat ini heboh dan berasal dari Wuhan, Tiongkok yang namanya  keren novel coronavirus membuat kehidupan kami mati. Katanya virus ini merupakan jenis coronavirus baru yang sebelumnya belum pernah ditemukan. Pengetahuan yang sedikit tentang virus yang meluluhlantakkan kehidupan manusia di seluruh dunia aku imbangi dengan mendengarkan televisi dan kebutuhan masyarakat adalah ladang bisnisku.
Imbauan pemerintah yang gencar untuk tetap di rumah. Bergugurannya paramedis dan para pasien, dan sederet persoalan mulai lockdown sampai PSBB, apapun namanya Ramadhan kami harus bermakna dengan semua kehidupan yang berubah mulai ibadah juga silaturahmi kami. Biarlah ditangani pemerintah, aku cukup menangani hidup keluarga kecilku. Aku harus bangkit musibah ini bukan aku saja yang menderita seluruh Indonesia ikut menderita.