Kulihat Mas Edi menyerumput sirup dan memandang keluar pada debu jalan yang siap menghantam rumah kami. Mobil putihnya saja tak pernah dia bersihkan. Debu sudah menempel, biasanya tanpa cakap aku membersihkan mobil dan menyalakan supaya tidak rusak. Hanya itu harta kami yang nantinya kalau dijual dapat peroleh uang untuk hidup.
"Sekarang sudah susah, pemerintah ga tahu apa kebijakannya bikin kita susah," keluarlah kata-kata yang isinya selalu ketidakpuasan.
"Maksudku, cicilan mobil bulan depan bagaimana Mas," hati-hati aku bicara.
"Masa, kamu ga punya tabungan, yang waktu itu lima juta aku tinggalkan ditabunganmu masih adakan?" ternyata Mas Edi masih ingat uang itu. Padahal uang itu sudah dipakai untuk berobat ibunya bahkan terpakai juga uang tabunganku yang sedikit.
"Mas, lupa uang itu sudah kita berikan pada ibu bahkan dengan uang tabunganku jadi enam juta kita berikan pada ibu," aku benar-benar tak habis pikir dikiranya dengan uang yang dia berikan aku selalu bisa menabung? Setiap bulan ibunya selalu menagih jatah bulanan dan aku harus mengirimnya. Belum lagi pertengahan bulan adiknya yang kuliah minta belikan buku atau lain-lainnya. Ibuku sendiri semenjak aku membeli mobil tak pernah aku kirimkan uang. Rasanya ingin menjerit dan menangis.
" Ala, kamu baru ngasih ibuku segitu saja sudah dihitung," mau aku lawan percuma saja energi positifku pasti akan habis mengahadapi manusia bebal sepeti ini.
"Apa tidak lebih baik mobil kita jual, Mas, mobil juga tidak terpakai dan Mas bisa narik motor saja masih bisa kan?" semoga ideku bisa menjadi jalan keluar kami.
Mas Edi meninggalkan aku dan keluar melihat mobil kemudian pergi keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Hingga malam Mas Edi belum kembali. Aku telepon tidak aktif. Anakku juga mencoba telepon tidak aktif. Malam semakin larut aku tertidur karena kelelahan.
Pagi itu kudapati Mas Edi di teras tertidur dan pintu rumah terbuka. Anak-anakku belum bangun pastinya bukan dia yang membuka pintu. Aku bangunkan Mas Edi, pelan-pelan takut ia terkejut dan marah. Mas Edi mengeliat dan menatapku sambil tersenyum. Senyum yang harusnya melegakanku, ketika tercium aroma alkohol dari mulutnya.
"Masyaallah, Mas kenapa minum-minuman lagi sih, kamu bukan meringankan bebanku malah membuatku bertambah susah," aku tingalkan dia dan masuk ke dalam. Benar-benar sudah hilang akalnya bisa-bisanya Mas Edi berkelakuan seperti waktu dia muda. Belum habis rasa penasaranku aku menjerit.
"Mas, tega sekali kamu..." jeritanku membangunkan anak-anakku yang berhamburan keluar kamar.