"Ada apa, Mah," Tanya Lora dengan muka yang masih sembab.
Aku menangis di sofa aku tahu perbuatan Mas Edi dan mengapa tadi dia tersenyum.
"Ah, lebay mamah kalian, sudah diringankan bebannya malah menjerit, harusnya senang," tanpa merasa berdosa Mas Edi berjalan ke kamar.
"Tunggu, Mas jangan lempar tanggung jawab, biar anak-anak dengar, Kau jual kemana motorku," aku tarik tangannya dan minta jawaban. Pastinya sangat menyakitkan sekali, motor adikku yang dia berikan karena kakaknya susah untuk berangkat kerja sudah tidak ada. Bukannya menjawab, Mas Edi malah melemparkan uang kertas seratus ribu ke mukaku.
"Nih, bayar cicilan mobil dan bayar kontakan cukup ada empat juta,harusnya cuma laku tiga juta karena aku paksa mau deh dibeli empat juta, besok  aku janji bawa BPKB ingatkan aja, udah jangan nangis lagi," kata-katanya justru membuat tangisku makin menjadi. Kedua anakku menenangkanku yang sudah mulai histeris.
"Bajingan kamu Mas, tak tahu diri, selama ini aku sabar, itu motor adikku bukan punya kamu, harusnya kamu cari solusi bukan menambah masalah baru," aku sudah tak tahan dengan sikapnya.
"Mamah, istiqfar mamah, kita cari jalan keluar ya, kita tanya bapak dengan siapa dijual motor tante Ita," adikku bukan orang berada, tetapi dia punya dua motor, yang satu dipakai suaminya, karena Ita sedang mengandung dia tak boleh membawa motor. Ita memberi pinjaman motor bukan memberikan motor padaku. Rencananya hari ini aku akan memulangkan motornya karena aku sudah tidak bekerja. Salahnya aku STNK motor ada di dompet kunci motor.
Benar saja uang penjualan motor itu lima juta rupiah, dan pembelinya tidak mau dikembalikan uang. Kalaupun aku mau menarik lagi motornya aku harus membayar enam juta.
"Mas, mengapa kau membuat hidupku seperti di dalam neraka, bagaimana harus aku katakan pada adikku," aku tak tahu darimana mencari uang dua juta di situasi seperti sekarang ini. Uang di tabunganku tidak lebih dari satu juta itupun masih kurang untuk membayar kontrakan kami yang tinggal dua minggu.
Sisa-sisa keberanian inilah yang membawaku ke rumah adikku. Ditemani si bungsu aku menemui adikku harapanku semoga Ita mau mengerti kesusahan kakaknya.
"Mba Nur, apa kabar?" adikku menyambut dengan tangan terkembang.