"Hus, ga boleh gitu kalau kita bisa bantu mengajarkan malah beruntung," aku menempelkan jari di bibirku. Â Lora memang seperti bapaknya apa yang ingin dikatakan terus terang dia katakana.
"Ya, Mamah kalau ga bego ngapain tinggal kelas, di SD tinggal kelas, di SMP tinggal kelas, harusnya dia tuh sekolahnya bareng aku, Mah," anakku Lora memang tidak salah.
"Ya, sudah nanti mamah belikan semua paket kuota internet," aku menyudahi perdebatan.
Hari itu di tempatku bekerja tak banyak yang datang, beberapa karyawan memang sudah dirumahkan. Tinggal aku dan beberapa karyawan yang masih ada.
" Nur, mulai besok You kerja di rumah sampai ada pemberitahuan," akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulut pemilik pusat kebugaran tempatku bekerja.
"Bagaimana dengan gaji saya Ci?" aku beranikan bertanya karena memang itu yang harus pasti.
"Bulan ini You masih dapat penuh, tapi bulan depan Cici potong 50%, kan You ga kerja, ga ada pelanggan kita, salon pasti ga ada yang mau datang, ga ada yang mau ngejim dulu,bagaimana?" aku hanya tertunduk dan menganggukkan kepala. Terbayang bagaimana membayar kontrakan dan makan kami nantinya. Memikirkan itu saja kepalaku sudah mulai pening.
"Baik, Ci jaga kesehatan ya Ci semoga badai ini berlalu dan kita bertemu sehat-sehat saja," aku mengucapkan salam perpisahan pada Cici pemilik pusat kebugaran. Selama ini dia selalu mendukungku dan sering menguatkan kalau aku ada masalah. Cici sendiri sudah tak bersuami ceritanya padaku, suaminya berselingkuh dengan sahabatnya dan melarikan semua uang dan perhiasan Cici. Untungnya keluarga Cici membantu dan memberikan modal untuk membangun bisnis pusat kebugaran, juga salon yang emmang sudah lebih dahulu ada. Nasihat Cici padaku kalau suami kasar selama dia tidak main perempuan yah dinikmati saja.
"Sudah, tak usah sedih-sedih, Cici jadi mau peluk kamu nanti, kita harus jaga jarak, You jaga kesehatan banyak minum vitamin," kulihat butiran bening di mata Cici. Aku pamit membereskan barang-barangku. Kakiku meninggalkan pelataran kantor dengan mata berkaca. Kapan badai berlalu dan aku bisa bekerja lagi. Bekerja membuatku lupa akan masalah di rumah dan kekasaran suamiku.
"Bikinkan minum yang pakai es, kalau ada sirup," suara Mas Edi membelah malam. Sudah satu minggu dia tak narik dan aku sudah tak tahu lagi bagaimana hidup kami nanti.
"Ini Mas sirupnya, udara memang panas hujan sudah mulai jarang," aku membuka percakapan dan duduk di sebelahnya. "Aku sudah dirumahkan Mas, bulan depan gajiku tinggal separuh saja," kataku pelan.