"Harus pakai uang muka, Mas darimana," tanyaku sambil tertunduk. Aku berharap mas Edi tidak menanyakan uang tabungan kami untuk membeli rumah. Semenjak menikah aku berusaha irit dan membantunya bekerja setelah anak-anak bisa kutinggal mandiri. Si kecil sudah kelas 1 SMP aku mulai bekerja di sebuah pusat kebugaran merangkap salon. Penghasilanku lumayan apalagi kalau banyak pelanggan. Sedikit demi sedikit penghasilanku aku tabung. Salahnya aku mas Edi tahu aku punya tabungan , yang rencananya untuk membeli rumah kecil untuk kami tempati biar tidak kontrak terus yang harga sewanya setiap bulan naik.
"Ah, belagak bodoh Kau, mana buku tabunganmu," yang kutakutkan terjadi mas Edi minta buku tabunganku. Ingin rasanya menjerit karena uang itu hasil jerih payahku.
"Itu untuk membeli rumah Mas, aku kerja supaya bisa menabung," aku masih memohon.
"Kau ga kasihan sama suamimu ini, hujan basah semua, panas luar biasa pening kepala oh, Kau mau bikin mati suami biar Kau bisa kawin lagi," suara mas Edi memuncak. Aku terdiam dan beranjak ke kamar kulihat anakku masih belajar dan menatapku sedih.
"Mah, ga apa-apa kan sama bapak?" tanyanya lembut. Aku hanya bisa tersenyum.
"Ga, Kak bapak mau beli mobil biar kita bisa pergi sama-sama kalau ke mall," jawabanku yang mulai ngawur.
"Asyik, ntar kita ke puncak ya Mah aku ingin ke tempat wisata yang baru," mungkin ini kesempatan juga menyenangkan buah hatiku. Mereka selalu naik angkot atau ikut saudara kalau ingin wisata. Aku bulatkan tekad mungkin ini rezeki keluarga kecil kami.
"Ini, Mas semoga cukup untuk uang muka," aku sodorkan buku tabunganku.
"Nah, cukup ini ada tiga puluh lima juta," suaranya tertawa senang. Ah seandainya sikapnya pun ramah dan menyenangkan, mungkin ada air sejuk setiap kali dia pulang.
"Boleh sisakan lima juta mas, siapa tahu ada hal tak terduga," aku membujuk dengan kalimat yang hari-hati sekali.
Akhirnya si putih yang bukan mobil baru mejeng di halaman rumah kami. Rumah kontrakan yang kami tempati jadi penuh dengan hadirnya si putih.