Brukkk
Mas Edi pulang dengan wajah yang kuyu dan dihempaskan tubuhnya yang besar dengan kasar ke sofa kami yang mulai reot.
"Maunya apa sih pemerinta bikin libur semua," kata-kata kasar terdengar di rumah kami. Untungnya anak-anak sudah di kamar semoga sudah tidur.
"Kenapa, mas tidak ada penumpang lagi?" tanyaku sambil meletakkan teh hangat di atas meja.
"Pakai tanya lagi, sudah dua hari ada ga aku kasih kamu setoran," katanya dengan nada marah.
Yah sudah dua hari tak ada uang yang disetorkan mas Edi padaku. Dua hari ini aku tak menagih karena situasi dan kondisi mas Edi yang selalu marah kalau pulang. Aku tak ingin bertengkar dan sudah malam pula. Energi harus dihemat katanya imun akan bekerja baik kalau pikiran dan hati kita tenang. Sudah dua minggu semenjak musibah pandemik yang katanya corona sebagian bilang covid 19 melanda Indonesia. Daerahku yang terimbas duluan karena kota besar.
Mas Edi supir ojek online dan terkena imbas lebih dulu. Tiga tahun yang lalu pemutusan hubungan kerja menyebabkan ia harus bekerja sebagai tukang ojek online. Mulanya aman saja karena mas Edi mencukupi dengan ojek online motor. Lowongan kerja untuk pekerja seusia mas Edi yang sudah kepala 4 susah sekali. Itu pun pekerja kasar. Adik mas Edi sudah lebih dulu jadi ojek online. Tawaran itu menggiurkan, motor kami punya dan mas Edi tinggal mendaftar.
Musim penghujanlah yang memicu mas Edi selalu marah. Aku sudah biasa mendengar dia marah dari awal pernikahan. Entahlah mengapa aku mau dipersunting olehnya. Aku berpikir mas Edi akan berubah karena aku tahu cintanya padaku luar biasa.
"Mah, kita ganti motor dengan mobil, lebih banyak penghasilannya," diskusi kami malam itu. Hujan masih deras baju mas Edi basah. Seperti biasa ia meruntuk hujan yang turun.
"Maksudnya bagaimana, Mas?" tanyaku sambil membereskan pakaian mas Edi yang diletakkan begitu saja di lantai.
"Aku narik mobil, dan kita ambil mobil," mas Edi melanjutkan idenya.