Entah tanggal berapa tepatnya, mungkin sekitar 3 September 2022. Saat itu, salah satu kejadian terindah dalam hidupku terjadi; aku merasakan hangatnya sebuah keluarga, saat orang-orang berkumpul untuk menghiburku, menguatkan diriku yang sedang rapuh dan lesu. Keluarga yang kumaksud bernama UIN Bercerita, keluarga yang tak sedarah, tak sedaerah, tapi tetap bersatu karena mengejar satu arah yang sama.
      Alkisah waktu itu, di awal-awal bulan September 2022, aku berulang kali berkata pada Rivan, bahwa September ini aku akan membara. Aku akan melakukan berbagai macam hal yang saat itu begitu kutakuti; salah satunya, menyatakan perasaanku kepada gadis yang begitu kusukai. Aku tak berbohong padanya, di tanggal 1 September (kalau tak salah), aku menemui gadis itu tepat di depan kelasnya. Aku membawakan sebuah kado untuk merayakan ulang tahunnya (yang sudah lewat cukup lama), yang di dalamnya terdapat delapan halaman surat yang kutulis khusus untuknya.
      3 kata dalam satu nama, semuanya berakhiran A, kira-kira begitulah deskripsi yang bisa kubuat mengenai gadis itu. Tanggal 1 September adalah tanggal sakral yang telah kutetapkan; aku akan menyatakan perasaanku, lewat sebuah kado yang telah kupersiapkan jauh-jauh hari. Kado itu berisi sebuah novel berjudul "Countless Love", sebuah gantungan kunci berhias wajah gadis itu bersama teman-temannya, serta 8 halaman surat yang kubagi menjadi 3 seri.
Seri pertama dari kumpulan surat itu berjudul "Seperangkat Doa Untuk X", berisikan doa-doaku terkait penambahan usianya. Seri kedua berjudul "Sepenggal Kisah Untuk Y", berisikan pengalaman-pengalamanku, termasuk kedekatanku dengan perempuan lain, yang kuceritakan pada gadis itu lewat surat yang terlampir di dalam kado. Terdengar gila, tapi begitulah adanya. Seri ketiga dari rangkaian surat itu berjudul "Surat Cinta Untuk Z", yang dari judulnya saja sudah bisa membuat orang-orang sadar, terkait apa isi dari surat itu.
Alkisah setelah kejadian itu, kepalaku tertunduk lesu. 3 masalah menghantam diriku dalam waktu yang bersamaan. Tak ada jawaban positif untuk surat-suratku. Setelah itu, aku berkonflik dengan salah seorang teman dekatku. Lalu, sebagai penyempurna mendungnya suasana hatiku, aku secara tak sengaja menyakiti hati seorang gadis yang begitu baik padaku, hanya karena satu masalah sepele; yaitu perihal peminjaman buku.
Aku datang ke sebuah kafe dengan dua lantai pada malam hari itu. Di belakangku, ada Annastasya dan Melisa yang menumpang di motor hijauku (yang sebenarnya merupakan motor pinjaman). Aku menjemput mereka berdua di depan indekos Melisa, lokasinya tak jauh dari FISIP UIN Jakarta. Setelahnya, kami berangkat untuk mengikuti acara kumpul-kumpul Tim di Balik Layar UIN Bercerita.
Keadaanku begitu lesu, tak banyak yang kukatakan pada waktu itu. Bahkan, aku juga tak begitu menggubris pertanyaan-pertanyaan dari Annastasya, yang tampaknya mencoba untuk mengakrabkan diri denganku. Mohon maaf, Nas, energiku terkuras habis, untuk berbicarapun rasanya aku tak mampu. Setibanya di kafe, di tempat acara itu dilangsungkan, kami berjumpa dengan dua orang anggota UIN Bercerita lainnya; mereka adalah Wardhana dan Musim Semi.
******
11 NOVEMBER 2022
      Dilihat dari struktur angkanya, hari ini memang begitu cantik; ia dinotasikan sebagai 11/11/22. Aku malah melihatnya sebagai 11+11=22. Oh iya, kata-kataku tadi tak ada maknanya, jadi lupakan saja.
      Hari ini, aku sempat bertemu dengan Nurtia, Renalita, Rojali, dan Almatin di kampusku, dengan tujuan untuk membahas tugas kelompok kami pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bicara soal tugas, sebenarnya itu juga alasanku untuk menulis kisah ini. Aku merasa energiku terkuras habis, waktuku terpotong begitu banyak, hanya karena satu hal; yaitu tugas-tugas dari kampus. Tugas yang kudapatkan menurut perspektifku relatif banyak, ini sedikit menyulitkanku untuk mengatur waktu dan menyeimbangkan kehidupanku. Meski begitu, aku masih punya waktu untuk diriku sendiri, waktu yang bisa kunikmati sebelum menghadapi tugas-tugas sialan itu.
      Hari ini, di tanggal 11 November yang relatif dingin untuk ukuran Ciputat, aku masih punya waktu beberapa jam untuk kuhabiskan tanpa perlu memikirkan tugas kuliah, dan aku memutuskan untuk menggunakannya. Aku menggunakannya, untuk mengenang salah satu kejadian terindah dalam hidupku, yang terjadi di awal bulan September 2022.
      Sama seperti journaling yang banyak membantuku untuk tetap waras, kegiatan mengenang masa lalu seperti ini juga memiliki manfaatnya tersendiri. Mengenang masa-masa indah adalah salah satu cara terbaik untuk menambah tenagaku, meningkatkan semangatku untuk menghadapi kerasnya dunia ini.
Hanya beberapa saat setelah waktu santaiku habis, aku akan kembali menghadapi rentetan tugas yang begitu menuntut. Satu tugas dari mata kuliah Sosiologi Gender mungkin telah aku selesaikan, tapi aku harus mempersiapkan diri untuk presentasi hari Selasa nanti. Pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif, aku memiliki satu tugas yang cukup memakan waktu, yaitu tugas membuat proposal. Adapun bila proposalnya telah usai, aku harus maju ke depan mewakili kelompokku, untuk mempresentasikan proposal yang kami ciptakan. Waktu presentasinya sama seperti Sosiologi Gender, yaitu hari Selasa. Selanjutnya, aku masih memiliki tugas pada mata kuliah Statistik Sosial I, masih harus dilalui dengan format tulis tangan, dengan menggunakan kertas folio, dan tugasnya juga lebih dari satu kalau aku tak salah ingat. Setelah itu, aku harus membuat semacam resensi buku untuk menambah nilai pada mata kuliah Teori Sosiologi Modern. Aku bahkan belum berbicara soal revisi catatan konsep kelompokku pada mata kuliah Sosiologi Agama II, dan bagaimana pula dengan tugas mingguan Sosiologi Budaya yang belum juga diumumkan hingga saat ini?
      Bukan kesalahanku kalau aku merasa sedikit tertekan, sistem pendidikan yang selama ini aku ikuti memang pantas untuk mendapatkan kritikan. Aku tak mendapatkan perluasan maupun kedalaman, tapi justru rasa lelah yang berlebih dengan hanya sedikit percikan ilmu yang mengenaiku. Maksudku, apabila sistemnya tidak seperti ini, aku bisa mendapatkan lebih banyak lagi, aku bisa memperdalam lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang aku ketahui, dan aku pasti bisa untuk mendapatkan segala hal yang telah dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara perihal pendidikan.
      Mengenang masa lalu memanglah hal yang tepat untuk dilakukan saat ini. Semoga setelah aku menulis kisah ini, energiku semakin menggila, sebab tugas-tugas yang akan kuhadapi juga siap untuk menghantamku dengan cara yang gila. Tugas-tugas itu, mereka siap untuk membuatku menderita, dengan caranya masing-masing.
******
*****
AWAL ACARA, SERTA SEDIKIT KECANGGUNGAN ANTARA DIRIKU DAN MUSIM SEMI
      Awal acara kumpul-kumpul UIN Bercerita tak berjalan dengan baik untukku, sebab ada seseorang yang baru saja berkonflik denganku di sana, namanya Musim Semi. Titik sentral dari konflik ini ada pada diriku, akulah yang telah menyakitinya dengan kata-kataku. Kehadiran Musim Semi membuatku begitu kaku, aku malu padanya karena telah menyakiti hatinya yang lembut itu.
      Di samping kiriku ada Wardhana, sosok yang bersama Musim Semi ketika awal datang ke sana. Di samping kananku ada bang Solah, sosok jenaka yang selalu jadi korban perundungan tiap kali kami berbicara soal kelulusan.
      Waktu berlalu dengan sangat lambat, aku tak tahu apa alasannya. Atmosfer jadi semakin panas tatkala kulihat mata Musim Semi yang tiada henti menatapku. Apa ia begitu kesal padaku hingga tak mau melepaskan pandangan matanya? Presiden kami kemudian datang dengan aura apinya, aura semangat yang menular pada setiap orang yang melihatnya, kecuali diriku. Presiden kami, yaitu kak Vista, kemudian duduk di barisan yang sama dengan diriku. Ia menatapku, kemudian menyuruhku untuk duduk di samping Musim Semi. Oh, ayolah kak, aku takut padanya.
******
*****
****
KISAH-KISAH, DAN MANDAT UNTUK BERKISAH
      Karena komunitas ini berlabel "UIN Bercerita", maka saling berbagi kisah adalah satu hal yang lumrah bagi kami. Kami terbiasa untuk saling menceritakan kisah kami masing-masing seusai rapat mingguan, setiap Jumat malam. Termasuk pada malam itu, tradisi ini tetap berlanjut; satu per satu anggota UIN Bercerita menceritakan kisahnya, dari yang sangat trivial hingga yang mampu membuat bulu kuduk merinding.
      Meski begitu, sejujurnya aku tak sedang dalam mode bercerita, sehingga aku tak berharap untuk mendapatkan jatah bercerita kala itu. Aku lebih suka diam membatu, dianggap angin lalu sebagaimana yang Hikkigaya biasa rasakan di dalam kelasnya. Lagi pula, satu-satunya hal yang terlintas di kepalaku kala itu hanyalah perihal masalah-masalah pribadi, yang kalau diceritakan bisa membuat pertemuan ini menjadi suram, sesuram diriku.
      Sialnya, personaku di mata orang-orang sudah tercetak hampir permanen; mereka memandangku sebagai manusia yang gemar bercerita, banyak bicara, dan selalu ceria. Perilakuku yang banyak diam kala itu ternyata malah menarik perhatian orang-orang, terutama kak Vista dan Musim Semi.
      Aku kemudian mendapatkan giliran untuk bercerita, meski tentu saja aku menolaknya. Kak Vista tidak menyerah, ia tetap menawariku untuk bercerita, ia menjamin bahwa semua orang akan mendengarkanku. Namun, tetap saja, aku tak mau. Ia kemudian menggunakan karismanya sebagai pemimpin kami, hanya untuk membuatku bercerita. Ditatapnya setiap orang yang sedang berbicara di sana, lalu dengan lembutnya ia berkata "Eh berhenti dulu, Sendy mau cerita."
      Mampus! Aku harus tetap bercerita kalau begini caranya. Entah magis apa yang kak Vista miliki, tapi semua orang mengikuti perkataannya. Mereka berhenti berbicara, menekan tombol jeda hanya untuk memalingkan pandangan pada diriku, memfokuskan pendengaran terhadap suaraku. Semua mata, semuanya tertuju padaku, sebab aku mendapat mandat untuk berkisah.
******
*****
****
***
3 MASALAH DALAM SEBUAH KISAH
      Akhirnya, karena tak sanggup mengingkari mandat untuk berkisah, aku kemudian memutuskan untuk berbicara, menceritakan segala hal yang terlintas dalam kepalaku kepada orang-orang yang hadir kala itu. Masalah pertama yang kuceritakan tentu perihal gadis yang kusukai, kemudian kesalahpahaman antara aku dan teman dekatku, serta yang terakhir adalah perihal diriku yang secara tak sengaja menyakiti perasaan seorang teman yang baik. Uniknya, meski alur cerita yang kubawa dimulai dari masalah romansa, antara diriku dengan gadis yang aku suka, masalah yang pertama kali terselesaikan justru adalah masalah terakhir.
      Musim Semi memintaku berulang kali untuk duduk di sampingnya, dan aku menuruti perkataannya. Apa yang kukira pada awalnya adalah sebuah hukuman, kukira Musim Semi akan menghukumku dengan membuatku semakin kaku di hadapannya. Namun, itu tak terjadi. Musim Semi menyuruhku untuk duduk di sampingnya, kemudian dengan saksama mendengarkan seluruh keluhanku kala itu.
      Musim Semi menghiburku dengan kehangatan di bulan April. Ia berkata "kamu kuat", "kamu pasti bisa melewati semua ini". Ia tak membalas kata-kata tajamku dengan kebencian, tapi dengan kasih. Awan mendung kemudian hilang, atmosfer yang awalnya panas mulai menurunkan suhu, dan suramnya suasana hatiku, mulai berubah cerah berkat secercah cahaya yang terbit di malam itu. Sebuah kalimat oksimoron yang sayangnya benar-benar terjadi.
      Aku menodai musim semi dengan hujan badai, tapi kehangatannya menembus kaca jendelaku, mencapaiku tanpa memedulikan setiap batasan yang ada. Musim Semi memaafkan kesalahanku, satu masalahku usai pada malam itu.
      Lanjut setelahnya, aku bercerita soal kesalahpahaman yang terjadi antara diriku dengan teman dekatku. Namun, keluhan ini tak berlangsung lama, hubunganku dengannya sudah tak penting lagi. Untuk apa aku berusaha mempertahankan hubungan ini, sementara pihak kedua yang berkonflik denganku tak mau membuka telinganya? Tak ada dialog untuk menyelesaikan masalah ini, semuanya berakhir dengan kebencian dan putusnya ikatan di antara kami.
      Setelah itu, percakapan kami semua berfokus pada kisah asmaraku; tentang kegagalanku untuk merebut hati si gadis yang namanya terdiri dari tiga kata, yang semuanya berakhiran A; tentang kedekatanku dengan perempuan lain yang membuatku tampak seperti seekor buaya darat; tentang hancurnya perasaanku yang berbenturan dengan semangat apiku kala itu; segalanya tentangku, dan orang-orang mendengarkan semuanya, dengan saksama.
******
*****
****
***
**
CATATAN TENTANG HAL-HAL YANG KURASAKAN KALA ITU
      Apa yang kurasakan kala itu adalah sepenuhnya kebahagiaan. Itulah pertama kalinya dalam hidupku, merasakan satu keadaan ketika orang-orang berkumpul dan melingkar, hanya untuk mendengarkan keluh kesahku. Tak hanya mendengarkan, tapi mereka juga memberikanku begitu banyak saran untuk menyelesaikan seluruh keluhanku. Ada pula di antara mereka yang tiada hentinya bercanda, membuatku sejenak lupa akan segala macam masalah yang bergantian menghantamku.
      Dalam malam yang diselimuti kehangatan itu, tiba-tiba teringat olehku, masa-masa sebelum kuliah dulu. Aku tak berbohong ketika berkata bahwa ini adalah pengalaman pertama. Di masa SD, SMP, dan SMK dulu, kejadian seperti ini tak pernah aku rasakan. Bahkan, aku lebih sering mendapatkan penolakan.
Aku pernah "diusir" ketika mengikuti teman sekelasku saat jam istirahat dulu, padahal aku tak punya teman bicara. Aku pernah mengajukan diri untuk mengikuti suatu kegiatan yang dilakukan secara berpasang-pasangan, tapi tak ada yang mau mengikuti kegiatan itu bersamaku, sialan. Aku sering merasakan keadaan ketika aku duduk sendirian di pojokan, benar-benar sendirian, sementara di pojok lain ada hampir sepuluh orang saling bercerita, tertawa terbahak-bahak tanpa memedulikan kehadiranku, seolah aku tak ada di sana.
Jika engkau bertanya mengapa aku begitu gemar bercerita, mengapa aku begitu berlebihan tiap kali menanggapi segala macam kejadian remeh dalam kehidupanku di kota kecil ini, itu terjadi sederhananya karena aku hampir tak pernah memiliki momen-momen ini. Aku begitu memaknai setiap kejadian yang kulalui, sebab aku tak pernah melalui itu semua sebelumnya. Kehangatan dari seorang sahabat yang baik, pesan-pesan singkat dari orang yang memedulikan keadaanku, hangatnya genggaman tangan mereka yang menyadari lemahnya diriku, manisnya kata-kata mereka yang menanti kesembuhanku, tatapan penuh sinar dari mereka yang menungguku bicara, aku hanya mengalaminya di sini.
Entahlah, kalau kulanjutkan kisah ini, mungkin rintik hujan akan turun dari bola mataku. Aku memang makhluk yang gengsian, hal semacam ini hanya terjadi ketika aku sendirian. Namun, sekali lagi, aku ingin berkata bahwa aku bahagia tinggal sini. Keputusanku untuk merantau dan hidup dengan caraku sendiri adalah keputusan yang teramat sangat tepat.
******
*****
****
***
**
*
CATATAN TENTANG MANUSIA-MANUSIA UIN YANG ADA DI SANA
- Bang Solah
Bang Solah adalah orang paling jenaka kala itu. Tanpanya, tawaku mungkin harus menanti waktu satu windu untuk keluar lagi.
- Wardhana
Perubahannya kala itu membuatku kaget. Sebelumnya Wardhana begitu irit kata-kata, tapi di malam itu ia bertransformasi menjadi semacam komedian dadakan. Setiap perkataannya mengundang gelak tawa orang-orang, termasuk diriku. Ia juga yang berulang kali mengataiku "brengsek" atau "buaya", meski kenyataannya aku baru saja ditolak oleh gadis yang aku sukai.
- Annastasya
Terima kasih karena sudah rela membayar uang parkir, mungkin di lain waktu akan kubalas kebaikanmu itu, dengan membayar biaya parkir motormu di kampus 2 (kalau ada kesempatan ya).
- Melisa
Selamat karena akhirnya kau bisa bergabung bersama kami, di acara kumpul-kumpul Tim di Balik Layar UIN Bercerita! Melisa sebelumnya tidak bisa mengikuti acara kumpul-kumpul kami karena ia masih berada di kampung halamannya. Untungnya, di kesempatan kali ini ia bisa hadir, dan meninggalkan wajahnya di rangkaian foto yang tersimpan di album ponselku.
- Zaidan
Zaidan adalah orang ketiga selain bang Solah dan Wardhana yang tak hentinya menyebutku "buaya" atau "brengsek". Mereka dengan kejamnya mengeroyokku, meski mereka tahu kalau aku baru saja gagal dalam kisah asmaraku. Meski begitu, kehadirannya membantuku untuk melupakan tiap masalah yang aku miliki kala itu. Zaidan adalah komedian dadakan sama seperti Wardhana.
- Dini
Terima kasih karena telah ikut berkontribusi untuk menanggapi keluhanku, Din. Oh iya, jangan lupa juga untuk menepati janjimu, untuk mengajakku berkeliling FITK suatu saat nanti.
- Hariri
Ini adalah pertama kalinya aku melihatmu, kau ternyata begitu tampan ya, bang. Sifatmu yang pendiam dan irit kata-kata mengingatkanku akan diriku di masa lalu. Bedanya, sifat pendiamku banyak membawa kesialan, sementara sifat pendiammu memancarkan sebuah pesona yang menarik perhatian. Semoga kita bisa berteman dengan baik hingga akhir.
- Bang Dzul
Diem-diem bae bang Dzul :'3.
- Ayisha
Kita tak banyak bertegur sapa saat pertama kali berjumpa di Pamulang dulu, itu membuatku berpikir bahwa kau tak tertarik dengan orang sepertiku. Namun, saat melihatmu mendengarkan setiap kata yang kuucapkan pada malam itu, dan saat aku mendengarkan tanggapanmu perihal segala macam keluhanku, pandanganku tentangmu langsung berubah. Kau adalah orang baik yang menanggapi orang lain dengan cara yang tak kalah baiknya. Terima kasih.
- Kia
Kau mirip seperti bang Hasan, begitu irit kata-kata hingga membuatku kesulitan untuk menemukan topik pembicaraan yang cocok denganmu. Apakah ini terjadi karena tak ada Mei di sana? Entahlah, aku tak tahu. Namun, meski begitu, aku menghargai dirimu yang mau mendengarkan ocehanku pada malam itu. Kau mungkin sedikit tertutup dan irit kata-kata, tapi sekalinya kau memberikan tanggapan, tanggapanmu selalu hadir dengan cara yang ekspresif. Kau tak lepas dari senyuman dalam diammu itu.
- Vista
Di awal, aku mungkin agak kesal karena kau menggunakan kekuasaanmu untuk memaksaku bicara. Namun, sekarang aku harus berterima kasih padamu. Tanpamu yang membuat semua mata tertuju padaku, mungkin malam itu tak akan pernah tercipta. Kau membantuku untuk mendapatkan salah satu malam terbaik dalam hidupku, aku begitu menghargai usahamu. Oleh karena itu, terima kasih banyak.
- Musim Semi
Sudahkah daun-daun baru memanjang di ujung ranting? Sudahkah tunas-tunas muda tumbuh menjadi pepohonan yang rindang? Sudahkan bunga-bunga bermekaran di bawah naunganmu? Engkaulah Musim Semi, tempat segala macam keindahan berkumpul menjadi satu. Maafkan aku karena badai yang kubawa telah menodai indahnya dirimu, maafkan karena tajamnya kata-kataku telah mengoyak sanubarimu yang rapuh itu. Lalu, setelah semua permintaan maaf itu, aku ingin melontarkan sejuta terima kasihku atas kehadiranmu. Terima kasih karena telah membalas buruknya kata-kataku dengan riangnya tawamu, dengan tulusnya senyummu. Terima kasih, karena telah membantuku untuk bangkit, dengan caramu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H