Mohon tunggu...
Rolip Saptamaji
Rolip Saptamaji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang toekang toelis jang dilepas dan toekang loekis jang terlepas ini kini mengambil djalan soenyi sebage toekang kritik jang memboeat gerah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku akan melekat padamu seperti kutukan

24 Juli 2012   20:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:40 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku akan melekat padamu seperti kutukan"
Kata-kata ini melekat dalam ingatanku dan tak bisa lepas meski Dia yang mengucapkannya sudah berada di negeri entah berantah berjarak 14 jam ruang dariku. Dulu, kata-kata ini membuatku tersenyum tapi kini menjadi beban. ruang dan waktu boleh jadi memisahkan kami namun tidak bagi ingatan karena ingatan tak mengenal jarak, ruang dan waktu. Cerita ini adalah hiperrealitas di ruang semu benar tidaknya hanyalah ingatan yang mampu memutuskan.

Kami bertemu dalam sebuah diskusi inisiasi gerakan budaya, persis ketika aku ditugaskan untuk membangun sayap kebudayaan sebuah organisasi merah di Kota Kembang. Aku menjadi pembicara utama dalam diskusi ini, menerima semua pertanyaan dan memberikan semua jawaban yang mungkin memuaskan para penanya. Hari itu dia mengambil posisi berlawanan dariku. Dia terus mendebatku dengan keras mempertentangkan konsepsi eksistensialisme seni dengan materialisme ku. Pandangannya sinis, lidahnya tajam, argumennya licin bagai belut. Dia nampak sangat memahami apa yang ia katakan meskipun dalam sikap arogannya ia enggan memahami apa yang aku katakan. Namun berdebat dengannya tak seperti perang beradu pedang namun seperti perang beradu tarian, Aku sangat menikmatinya.

Seusai diskusi aku berkenalan dengannya, aku tak pernah bertanya nama saat diskusi apalagi dalam berdebat ritual perkenalan selalu datang dipenghujung acara. Namanya Mae, seorang mahasiswi seni rupa di salah satu perguruan tinggi di Bandung, wajahnya cukup cantik (menurutku) meskipun berpenampilan agak dekil tapi itulah mahasiswa seni rupa, noda cat di celana jeans ketat dan jaketnya menjadi kebanggan tersendiri. Obrolan kami malam ini adalah lanjutan diskusi yang tak tuntas, meskipun selalu menanggapi dengan sinis tapi ia terus mempertahankan obrolan hingga pagi menjelang.

Sejak hari itu kami cukup dekat, Mae sering menghabiskan waktu di sanggar kecil yang kubuat bersama teman-temanku. Aku juga mulai sering mengantarnya pulang ke kostannya, seringkali waktu kami habiskan di warung kopi depan kampus untuk sekedar ngobrol apa saja. ia banyak cerita tentang dirinya. tentang perjalan hidupnya, mimpinya ke prancis, keluarganya dan seni. Banyak kejadian yang kami lalui bersama selama hampir 2 bulan di sanggar, mulai dari proyek animasi, teater, demonstrasi sampai teman yang mau bunuh diri.

Sekali waktu setelah pameran galery jalanan di depan kampus, aku mendapatkan kesempatan berduaan dengan Mae di sanggar sambil membereskan lukisan-lukisan di ruang workshop. Sudah lama saat ini aku tunggu, ada banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan padanya. Sejak awal kami mulai dekat kawanku bercerita kalau Mae tidak berminat ke lelaki, lesbian katanya, aku sendiri tidak begitu percaya lantaran kedekatanku dengannya yang cukup intim. Mae memang perempuan yang berpenampilan kasar bahkan sedikit urakan namun menurutku semua itu wajar. Sikapnya yang protektif dan cenderung galak masih kuanggap sebagai bentuk pertahanan diri di lingkungannya yang "liar" ini. Tapi mungkin saja kawanku benar lagipula Mae tidak pernah bercerita soal lelaki padaku.

"kenapa kamu memilih untuk jadi lesbian?" tanyaku
"karena laki2 adalah masalah, dunia mungkin akan lebih baik tanpa laki2, lagipula hanya perempuan yang mengerti perempuan" jawab Mae

secara tidak langsung dia membenarkan asumsi kawanku meskipun masih berusaha memberikan apologi. Aku tidak kecawa malah menurutku semakin menarik, belum pernah aku menaklukkan perempuan seperti ini. Mendadak Mae menjadi ambisi baru bagiku.

"laki2 masalah? berarti aku masalah dong, seharian kita belum bermasalah, ga ada perdebatan ga ada selisih paham fine2 aja"

"yah itu kan spesifik cuma kamu doang subjeknya, laki2 yang ku maksud ya umum lah"

"Apa bedanya? aku juga kan laki2, jadi aku bagian dari masalah. kalo aku bukan bagian dari masalah maka aku masalah it sendiri"

"hmmm... iya sih kamu juga masalah liv. berapa banyak perempuan yang kamu buang untuk menuhin hasratmu liv?"

"buang perempuan? emang barang? seingatku belum ada tapi kalo berapa banyak perempuan yang membuangku nah itu baru bisa kujawab"

"hahaha.. bisa aja kamu, mugkin emang kamu pantas dibuang, kalo mereka mempertahankanmu berarti kamu bukan masalah, tapi kalo mereka membuangmu ya berarti kamu masalah"

"lantas apa bedanya dengan aku membuang mereka?"

"hahahaha....!!!" Mae tertawa keras menanggapi pernyataanku mungkin baginya pernyataanku lucu atau entahlah

"ga heran banyak orang yang percaya ma kamu, sampe anak2 bisa ngumpul dan mau-maunya buat sanggar beginian gara2 kamu,. kamu pinter ngomong, aku sampai bingung ngejawabnya"

"aku ga bertanya dengan pertanyaanku Mae, itukan ada di pendapat kamu yang kubuat jadi pertanyaan"

"hehehe... jarang2 aku nemuin orang kaya kamu"

"yah sejarang aku nemuin perempuan kaya kamu Mae"

"tuh kan..."

"tuh kan apa?"

"kalo laki2 adalah masalah, maka kamu adalah masalah terbesar liv"

"lah kenapa?"

"karena kamu lebih lihai dari mereka"

"lihai kenapa?"

"lihai ngebuat orang buntu"

"sederhana Mae, kalo kamu ga bisa membantah logikaku berarti logikamu salah dan aku yang benar, rasional kan?"

"yah pasti lah, emang kenapa?"

"aturan rasionalisme ya sederhana, logika adalah tautan makna dalam kata yang runutannya mencerminkan konsistensi makna dan relevansinya dengan kenyataan"

"lantas?"

"kebenaran kan relatif, relatifitas kebenaran rasional adalah selama bisa dipertanggungjawabkan secara logis, yang kalah ikut yang menang... iya kan?"

"hmmm... iya sih,.. trus kenapa kamu tanya itu?"

"laki2 itu masalah begitu juga perempuan, manusia adalah masalah itu sendiri Mae, kalo ga ada laki2 ya ga ada reproduksi lah mungkin ga generasi manusia ini berlanjut tanpa zigot dari sperma laki2? lagipula perempuan belum tentu memahami perempuan lain karena perempuan sibuk bersaing dalam kontes kecantikan dan belum tentu memiliki sifat solutif seperti kebanyakan laki2"

"hehehe... ngotot amat si nanya kenapa gw pilih jadi lines?"

"ga ngotot, cuma pengen ngebenahin logika kamu aja"

"cwo tu pikirannya eksploitatif, apa yang diliat dari cewe kal bukan nafsunya buat ngentot? ya kan? itulah masalahnya, reproduksi itu ga lebih dari pemerkosaan dan eksploitasi, cowo bisa ngentot sana-sini ga ada bekasnya sedangkan cewe sekali dientot pasti ketauan"

"weits jadi entot mengentot gini kasusnya, ga gitu juga kali Mae, buktinya, apa gw pernah ngejamah salah satu dari kalian? raras, kamu, reni atau tantri, kalian tuh menarik, ga ada satupun pria di sanggar ini yang bisa nolak kalian, apa gw nyentuh lo semalem? selalu ada pengecualian di dunia ini Mae, itu kenapa ada suku bushman di afrika, orang samin atau baduy, gitu juga laki2, gitu juga dengan laki2"

Mae tidak menjawabku, ia hanya diam memandangiku dalam.

"ya mmang kadang aku juga suka berpikir ngeres tapi ya ga setiap saat juga kali, lagipula itu masih wajar. soal pikiran ngeres cwe juga banyak yang kaya gitu, apa kamu ga kenal raras?"

"udah ah, aku males ngebahas raras"

"ok kita tutup soal raras. tapi logikaku bener ga?"

"iya, bener juga, tapi kan kendali hormonal laki2 udah cukup ngejelasin kalo laki2 lebih cepet terangsang dari cewe,.. iya deh kalah gw"

"hehehe... so knapa kmu pilih lines?"

"yah mungkin kenyamanan pertamaku ya sama perempuan"

"Pernah nyoba ngebangun hubungan dengan laki2?"

"hmmm... dulu jaman sekola si pernah tapi ga jadi"

"sesudah itu?"

"ya ga pernah lagi sampe sekarang"

"ada kemungkinan ga buat jalan sama cowo ya dalam artian ngebangun suatu hubungan khusus lah?"

"hmmm... ga tau sih, cowo brengsek"

"iya gw tau itu makanya gw ga suka cowo"

"hahahaha"
kami tertawa hampir berbarengan

"kamu suka ya ma aku? sengotot itu nanyanya, kaya yang lagi ngebuka peluang buat diri sendiri"

aku terkejut mendengar argumen dari Mee yang tiba2 langsung menusuk jantungku.

"hehehe... bisa jadi"

"alah,.. kamu dari dulu sukanya muter2 kalo ngomong masa mau ke sanggar dari kampus harus lewat kostanku dulu"

"hehehehe... ya itu sih kamu, pulang kampus mampir sini baru balik lagi ke kostan"

"hihi..."

waktu seakan berhenti saat itu, pandanganku membentur matanya. pandangan itu seakan berkata 'aku sudah tahu apa yang ada dalam pikiranmu, kau tak bisa mengusirku karena aku sudah ada di dalam hatimu'. sedikit berlebihan memang tapi saat itu memang begitu indah dan menegangkan bagiku seperti maling yang tertangkap tangan.
aku mencoba menenangkan diriku agar tak lepas kendali dan melakukan manuver bodoh sementara peluang sudah di depan mata.

"ya... aku memang suka  ma kamu Mae. lagian laki2 normal mana yang ga suka ma kamu?"

Mae hanya tersenyum simpul mendengarku namun dari matanya aku tau ia tidak berkeberatan dengan pernyataanku. Akupun melanjutkan pembicaraan.

"yah layaknya lelaki normal lainnya aku juga pengen ngebangun hubungan sama kamu"

"hubungan gimana? bukannya kita udah punya hubungan?"

"yah perkawananan, aku tau itu. maksudku lebih dari itu. Mae, kamu mau jadi bagian yang ngasi warna cerita hidupku? kamu mau mencoba mulai cerita denganku?"

"hmmm..." Mae hanya bergumam sambil menatapku dalam

"yah aku cuma ngajak kamu mencoba, kita sama-sama mencoba. sederhana aja Mae, omonganku hari ini ga akan ngerusak relasi yang udah kita bangun sebagai kawan, rekan kerja, ini cuma tawaranku karena aku suka sama kamu dan mulai mendefinisikan kebeadaan kamu. kamu boleh aja bilang tidak aku, ga ngelarang atau marah, aku terima"

"kenapa aku harus nerima kamu?"

"ga harus..."

"apa bedanya kamu sama yang laen?"

"kamu bakal tau bedanya setelah kita ngejalin cerita bersama, aku jug ga tau perbedaanku dengan yang lain, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin dan ga akan ngebuat kamu menjadi yang ga kamu inginkan"

"Kamu yakin mau menjalin cerita denganku?"

"Yakin, keapa tidak?"

"hmmm... mungkin kita bisa nyoba,.. kamu kasih aku kesempatan, aku kasih kamu kesempatan. Tapi ini mungkin kali pertama aku buka hatiku untuk lelaki, aku percaya kamu ga akan ngecewain aku. aku ga meminta kamu setia tapi mulai hari ini gimanapun keadaannya, apapun alesannya, apapun caranya aku bakal ada disekitar kamu seperti kutukan dan jangan pernah kamu ngehindar..."

Aku hanya bisa mengangguk, aku tak menyangka ia berkata seperti itu. Sebuah penerimaan rasa yang dibumbui dengan ancaman. Namun kata sudah terucap tak ada lagi jalan untuk mundur, lagipula aku memang tertarik padanya. Aku menerimanya seperti tantangan sebagaimana ia menerimaku sebagai tantangan.

Kini enam tahun berselang dari hari itu, kami telah berpisah, setelah tahun ketiga kami bersama rupanya kami tak mampu melanjutkan tantangan yang kami buat sendiri. Aku sudah bersama menjalin cerita dengan yang lain sementara Mae entah menjalin ceritanya dengan siapa di ruang berjarak 14 jam dariku. sesekali kami bertemu di dunia maya kadang merambah dunia nyata untuk berbincang mengingat masa lalu ataupun saling mengisi kekosongan. akhirnya aku memahami kata-kata Mae saat itu, Kutukan adalah ingatan dan dia adalah bagian dari ingatanku sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun