"kenapa aku harus nerima kamu?"
"ga harus..."
"apa bedanya kamu sama yang laen?"
"kamu bakal tau bedanya setelah kita ngejalin cerita bersama, aku jug ga tau perbedaanku dengan yang lain, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin dan ga akan ngebuat kamu menjadi yang ga kamu inginkan"
"Kamu yakin mau menjalin cerita denganku?"
"Yakin, keapa tidak?"
"hmmm... mungkin kita bisa nyoba,.. kamu kasih aku kesempatan, aku kasih kamu kesempatan. Tapi ini mungkin kali pertama aku buka hatiku untuk lelaki, aku percaya kamu ga akan ngecewain aku. aku ga meminta kamu setia tapi mulai hari ini gimanapun keadaannya, apapun alesannya, apapun caranya aku bakal ada disekitar kamu seperti kutukan dan jangan pernah kamu ngehindar..."
Aku hanya bisa mengangguk, aku tak menyangka ia berkata seperti itu. Sebuah penerimaan rasa yang dibumbui dengan ancaman. Namun kata sudah terucap tak ada lagi jalan untuk mundur, lagipula aku memang tertarik padanya. Aku menerimanya seperti tantangan sebagaimana ia menerimaku sebagai tantangan.
Kini enam tahun berselang dari hari itu, kami telah berpisah, setelah tahun ketiga kami bersama rupanya kami tak mampu melanjutkan tantangan yang kami buat sendiri. Aku sudah bersama menjalin cerita dengan yang lain sementara Mae entah menjalin ceritanya dengan siapa di ruang berjarak 14 jam dariku. sesekali kami bertemu di dunia maya kadang merambah dunia nyata untuk berbincang mengingat masa lalu ataupun saling mengisi kekosongan. akhirnya aku memahami kata-kata Mae saat itu, Kutukan adalah ingatan dan dia adalah bagian dari ingatanku sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H