Di puncak bukit yang diselimuti kabut tipis,
Di mana rindu bersemayam dalam diam,
Terdengar bisikan angin dingin yang menusuk hati,
Menyanyikan lagu pilu tentang cinta yang tak terbalaskan.
Embun pagi bagai tetesan air mata,
Membasahi pipi bumi yang merindukan kasih sayang,
Bunga-bunga yang layu tertiup angin kencang,
Menjadi simbol hati yang terluka dan terabaikan.
Di kejauhan, terlihat bayang-bayang samar,
Sosok yang dirindukan namun tak kunjung datang,
Hanya angin dingin yang setia menemani,
Membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.
Suara gemerisik pohon bagai bisikan hantu,
Menceritakan kisah cinta yang tragis,
Tentang dua insan yang terpisah oleh jarak dan waktu,
Meninggalkan luka yang tak terobati.
Di bawah langit yang kelabu,
Seorang diri aku berdiri di puncak bukit,
Menatap hamparan awan putih yang berarak,
Mencari jawaban atas pertanyaan yang tak terjawab.
Mengapa cinta harus terasa begitu pahit?
Mengapa rindu harus begitu menyakitkan?
Mengapa kebahagiaan selalu terasa begitu jauh?
Angin dingin terus bertiup,
Membawaku ke dalam lamunan yang mendalam,
Membayangkan indahnya dunia paralel,
Di mana cinta dan kebahagiaan bersemi selamanya.
Namun, kenyataan selalu pahit,
Aku harus kembali ke dunia nyata,
Di mana rindu dan kesepian adalah teman setia,
Di mana angin dingin di bukit rindu menjadi saksi bisu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H