Bukan istana megah berlapis marmer,
Rumahku gubuk sederhana berbalut lumut hijau.
Dinding bambu lapuk menyapa angin senja,
Atap rumbia berbisik kisah kepada embun pagi.
Lantai tanah bebau aroma dedaunan,
Jejak telapak kaki menari mengikuti irama jangkrik.
Jendela kayu lapuk membingkai panorama sawah,
Langit senja melukiskan rona jingga di atas kepala.
Pohon beringin tua berjaga di halaman depan,
Akarnya terjalin mesra dengan batu-batu lumut.
Di bawah naungannya, cerita nenek moyang berdenting,
Melebur dalam nyanyian angin dan kicau burung pipit.
Api unggun berkelap-kelip di sore hari,
Hangatnya memeluk dingin yang merayap.
Suara dandang mendidihkan lagu pengantar tidur,
Bintang-bintang bertaburan bak permata di langit gelap.
Rumahku bukan sekadar dinding dan atap,
Ia simfoni kenangan yang tak lekang zaman.
Ia denyut nadi, detak jantung, helaian napas,
Ia pelukan jiwa, tempat aku berpulang dan bertahan.
Maka biarkan istana megah berdiri tegak,
Aku memilih gubuk berlumut yang di dalamnya bersemayam cerita,
Rumahku, sarang kenangan, senandung senja di gubuk berlumut.
Puisi ini menggambarkan rumah bukan sekadar bangunan fisik, melainkan tempat bernaungnya kenangan, cinta, dan kehangatan. Rumah bisa sederhana, bahkan terbuat dari bambu dan lumut, namun ia menyimpan makna yang jauh lebih dalam daripada kemewahan istana. Rumah adalah tempat di mana jiwa berpulang dan bertahan, di mana cerita berdenting, dan di mana senja menjadi simfoni yang tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H