Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat Abad Pertengahan (Bagian 1)

1 Agustus 2019   00:24 Diperbarui: 24 Juni 2021   09:14 5232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percumbuan ini menyebabkan ajaran iman Kristen banyak dipengaruhi atau diwarnai filsafat Yunani. Tetapi, juga dengan perlahan 'filasafat Yunani' dihabisi oleh otoritas gereja yang memegang palu kebenaran filosofis. Puncaknya pada penutupan Academia Platon tahun 529 oleh Kaisar Justianianus. Agustinus, pemikir dan rohaniawan yang sangat berpengaruh pada mashab filsafat ini lahir pada zaman Patristik dan menjadi salahsatu tokoh utamanya.

Beberapa tokoh berpengaruh lainnya adalah Clemens dari Alexandria, Origenes, Athanasius, dan Ambrosius.

Zaman Skolastik (800-1450), menandai munculnya tokoh-tokoh keluaran sekolahan (skola = waktu luang), baik skola kerajaan maupun skola katedral yang didirikan oleh raja Karel Agung (742-814), juga dari ordo-ordo biarawan. Banyak universitas mulai berdiri pada periode ini, dan bahkan ada yang masih berdiri hingga hari ini, antara lain Sorbonne di Perancis (1096),  Universitas Al-Karaouine di Maroko (859 diawali bangunan Masjid), Universitas Al Azhar di Mesir (970), Universitas Bologna (1088),  Universitas Oxford (1096). Metode yang digunakan ialah disputatio, yaitu membandingkan argumentasi diantara yang pro dan kontra.

Agustinus dan Ajarannya

Agustinus lahir di Tagaste (sekarang Algeria/Aljazair) di Afrika Utara yang ketika itu merupakan bagian dari koloni kekaisaran Romawi.  Ibunya bernama Monika, seorang penganut Kristen yang taat, sedangkan ayahnya, Patricius merupakan pejabat dalam kekaisaran Romawi tidak beragama (kafir/pagan). Ibunya diketahui bergumul dan menjadi pendoa untuk suami dan anaknya agar menjalani kehidupan yang taat (dalam pengertian Kristen). Ketika mengikuti pendidikan di Kartago pada usia antara 16-17 tahun, ia menjalani gaya hidup hedonis, dan menganut Manikeisme. Ia memiliki anak pada usia 19 tahun dari hasil pergaulan bebasnya yang diberi nama Adeodatus (Adeo=Allah, datus dare = pemberian, artinya pemberian Allah). 

Pada masa inilah ia mengucapkan doanya yang terkenal: "Berikanlah aku kemurnian dan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, tetapi jangan sekarang" (da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo). Yang dimkasud adalah, ia menyadari 'kuasa nafsu/dosa atas dirinya yang tidak mampu dilawannya, dan ia meminta agar dimurnikan oleh Tuhan. Namun, untuk dosa seks ia masih membutuhkan waktu lebih lama untuk "bertobat."

Corak filsafatnya sangat dipengaruhi ajaran Neo-platonisme, terutama pada awalnya yang dikenali lewat kepercayaan Manikeisme yang dianutnya. Sebagaimana diketahui, disiplin asketisme sangat dianjurkan oleh Neplatonisme, dan ini sepenuhnya menjadi inti ajaran Manikeis. Ada pemilahan yang tegas antara 'yang rohani' dan 'yang jasmani.'  

Segala sesuatu yang 'berbau' rohani itu baik, dan yang jasmani itu jahat (negatif) karenanya harus dihindari. Jalan hidup asketisme menjamin gaya hidup rohani yang ketat, pada saat bersamaan mengambil jarak tegas terhadap hal-hal duniawi (jasmaniah). Suatu saat dia tidak puas dengan Manikeisme, lalu pergi ke Roma dan disana bertemu dengan Ambrosius (uskup Milan) yang darinya ia kembali mendalami Neo-platonisme. Lewat Neo-platonisme yang diajarkan Ambrosius ia tertarik pada ajaran Kristen dan mendalaminya. Akhirnya, ia memberi diri dibabtis bersama anaknya (Adeodatus) tahun 386, tahun dimana ibunya juga meninggal.

Pandangan filosofis dan teologisnya membahwa Agustinus masuk dalam tegangan-tegangan pergumulan intelektual-spiritual yang dramatis. Semua dinamika perenungan itu dirangkum dalam sebuah karya spektakuler dan sangat berpengaruh berjudul Pengakuan-Pengakuan (CONFESSIONES). Tentang pengaruh dan kekagumannya pada Amborsius ditulisnya di  Bab X-XIII: "Abdi Allah itu menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup sejati dinyatakannya kesenangannya akan pemindahan saya."  

Dilanjutkan dengan: "Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai seorang guru kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku" (Hal.146). Sebagai pengajar di ilmu retorika Agustinus rutin mengunjungi Ambrosius untuk memastikan apakah Ambrosius benar-benar seorang ahli retorika dan orator terbaik di dunia. Walau lebih tertarik pada keterampilannya berbicara daripada topiknya, Agustinus segera menyadari bahwa Ambrosius adalah seorang orator menakjubkan. 

Baca juga: Filsafat Abad Pertengahan (Bagian 3): Thomas Aquinos

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun