Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat Abad Pertengahan (Bagian 1)

1 Agustus 2019   00:24 Diperbarui: 24 Juni 2021   09:14 5232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Henricus de Alemannia with students in a medieval university, by Laurentius de Voltolina, second half 14th century / Kupferstichkabinett Berlin

Catatan Pembuka

Diakui atau tidak, pertemuan antara 'tiga sumber pengetahuan' yaitu filsafat, teologi dan sains terjadi dalam periode yang dikenal dengan Filsafat Abad Pertengahan. Filsafat yang baru saja keluar dari kancah perang melawan mitos, disamping saling tarung gagasan di internalnya, dengan membawa panji kemenangan disentak oleh sang bayi teologi dari rahim Kekristenan di awal zaman bersama (Masehi). Sang bayi yang segera menjadi super-power lantaran diadopsi oleh maharaja kekaisaran Romawi segera saja duduk ditampuk kekuasaan dunia. 

Filsafat lalu dibajak masuk dalam panasnya percumbuan yang menghasilkan corak pemikiran unik, dengan dominasi teologi pada penampilannya. Pun, harus dicatat bahwa teologi (agama) Islam yang lahir di kitaran abad ke-6 langsung tumbuh menjadi 'bayi super' yang berperan kuat, bahkan dengan kekuatan ekpansinya memasuki Afrika dan Eropa.  Dengan demikian, memperkuat DNA teologi pada blasteran filsafat abad pertengahan.

Namun, diakhir dari babakan ini muncul pula 'anak haram' sains, yang selalu 'menggoda percumbuan' filsafat dan teologi. Diakhir episode, berbagai benturan tak terhindarkan mengakibatkan percik-percik cahaya pemikiran hingga menghasilkan babakan baru yang menghantar ke gerbang modernisme.

Disebut filsafat Abad Pertengahan (medieval / Middle ages) karena berada diantara dua era, yaitu Filsafat Yunani Antik (Klasik/Kuno) dan Filsafat (Yunani) Modern. Disamping itu, sebutan untuk periode ini juga berkonotasi negatif, yaitu abad Kegelapan untuk menjelaskan karakternya yang mengerangkeng kebebasan berpikir kritis dan monopoli kebenaran oleh teologi (dogma agama). Mungkin, bila disimplifikasi bisa disebut juga sebagai babakan filsafat Ketuhanan, lantaran pada periode ini orbit kebenaran diorientasikan kepada Tuhan atau kebenaran wahyu sebagai satu-satunya sumber kebenaran untuk dirujuk.

Babakan ini berlangsung lebih kurang 1000 tahun, diawali abad ke-5 hingga abad ke-15. Dasar perhitungannya dimulai dari berakhirnya kerajaan Romawi Barat dengan Roma sebagai pusat, dan beralih ke Timur yang berpusat di Konstantinopel (sekarang Istambul di Turki) sekitar tahun 330 Masehi.  Ada pula yang menyebut saat ditutupnya Akademi Platon oleh otoritas gereja tahun 529 sebagai dasar perhitungan. Sementara, masa berakhirnya digunakan penemuan benua Amerika oleh Columbus tahun 1492, yang menandai berkembangnya pengetahuan akibat penemuan-penemuan daerah baru, peralatan baru (teknologi) sehingga manusia kembali 'menemukan kebenaran pengetahuan'  diluar kebenaran agama. Temuan-temuan baru, termasuk juga dalam bidang sains, seperti revolusi Copernicus (heliosentrime Copernican), yaitu kepercayaan gereja bahwa bumi adalah pusat tata surya dan semua benda langit beredar mengelilinginya terbantahkan oleh teori Copernicus, diperkuat  penemuan teleskop raksasa oleh Galileo Galilei yang bisa meneropong benda-benda langit untuk membuktikan kebenaran Copernicus. 

Ciri yang paling umum adalah dominasi agama atas filsafat, atau bisa dikatakan campur-aduk antara teologi dan filsafat, dengan catatan adanya dominasi teologi.  Meski tetap juga disebut filsafat karena para pemikirnya toh berfilsafat dengan menggunakan 'kitab-kitab agama' sebagai acuan. Tuhan dan realitas metafisik direnungkan sebagai acuan utama kebenaran. Ciri lainnya adalah dominasi 'filsafat Kristen' karenanya kebanyakan tokoh-tokoh pemikir abad pertengahan merupakan para klerus (rohaniawan dan pemimpin biara Kristen. 

Baca juga: Filsafat Abad Pertengahan (Bagian 2): Pemikiran Filsafat Islam

Pada waktu itu belum ada pembelahan Protestan dan Katolik). Namun, tidak berarti pemikir agama lain tidak ada, misalnya pemikir Islam yang juga berpengaruh yaitu al-Farabi  (Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi, 870-950 M), Ibnu Sina atau Latin: Avicenna (Abu Ali Husayn bin Abdullah bin Sina, 980-1037 M), Ibnu Al-Haytham (965-1041 M), dan Ibnu Rusd (Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd atau Latin: Averus, 1126-1198 M).

Pencirian filsafat ini akan lebih detil dipahami bila didalami dalam dua sub, yang sekaligus menggambarkan pentahapannya.

Zaman Patristik (Latin Patres = bapa-bapa gereja). Pengkondisian (conditioining) menuju babakan filsafat abad pertengahan dimulai abad ke-2. Ketika itu, para pemimpin gereja harus mempertahankan ajaran Kristen dari gempuran agama-agama lokal dan bidaah Gnosis. Karenanya, mereka menggunakan filsafat, terutama Helenisme sebagai alat untuk membela sekaligus menata ajaran-ajaran gereja. Pada titik inilah terjadi 'proses kristenisasi helenisme dan helenisasi kekrsitenan." 

Percumbuan ini menyebabkan ajaran iman Kristen banyak dipengaruhi atau diwarnai filsafat Yunani. Tetapi, juga dengan perlahan 'filasafat Yunani' dihabisi oleh otoritas gereja yang memegang palu kebenaran filosofis. Puncaknya pada penutupan Academia Platon tahun 529 oleh Kaisar Justianianus. Agustinus, pemikir dan rohaniawan yang sangat berpengaruh pada mashab filsafat ini lahir pada zaman Patristik dan menjadi salahsatu tokoh utamanya.

Beberapa tokoh berpengaruh lainnya adalah Clemens dari Alexandria, Origenes, Athanasius, dan Ambrosius.

Zaman Skolastik (800-1450), menandai munculnya tokoh-tokoh keluaran sekolahan (skola = waktu luang), baik skola kerajaan maupun skola katedral yang didirikan oleh raja Karel Agung (742-814), juga dari ordo-ordo biarawan. Banyak universitas mulai berdiri pada periode ini, dan bahkan ada yang masih berdiri hingga hari ini, antara lain Sorbonne di Perancis (1096),  Universitas Al-Karaouine di Maroko (859 diawali bangunan Masjid), Universitas Al Azhar di Mesir (970), Universitas Bologna (1088),  Universitas Oxford (1096). Metode yang digunakan ialah disputatio, yaitu membandingkan argumentasi diantara yang pro dan kontra.

Agustinus dan Ajarannya

Agustinus lahir di Tagaste (sekarang Algeria/Aljazair) di Afrika Utara yang ketika itu merupakan bagian dari koloni kekaisaran Romawi.  Ibunya bernama Monika, seorang penganut Kristen yang taat, sedangkan ayahnya, Patricius merupakan pejabat dalam kekaisaran Romawi tidak beragama (kafir/pagan). Ibunya diketahui bergumul dan menjadi pendoa untuk suami dan anaknya agar menjalani kehidupan yang taat (dalam pengertian Kristen). Ketika mengikuti pendidikan di Kartago pada usia antara 16-17 tahun, ia menjalani gaya hidup hedonis, dan menganut Manikeisme. Ia memiliki anak pada usia 19 tahun dari hasil pergaulan bebasnya yang diberi nama Adeodatus (Adeo=Allah, datus dare = pemberian, artinya pemberian Allah). 

Pada masa inilah ia mengucapkan doanya yang terkenal: "Berikanlah aku kemurnian dan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, tetapi jangan sekarang" (da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo). Yang dimkasud adalah, ia menyadari 'kuasa nafsu/dosa atas dirinya yang tidak mampu dilawannya, dan ia meminta agar dimurnikan oleh Tuhan. Namun, untuk dosa seks ia masih membutuhkan waktu lebih lama untuk "bertobat."

Corak filsafatnya sangat dipengaruhi ajaran Neo-platonisme, terutama pada awalnya yang dikenali lewat kepercayaan Manikeisme yang dianutnya. Sebagaimana diketahui, disiplin asketisme sangat dianjurkan oleh Neplatonisme, dan ini sepenuhnya menjadi inti ajaran Manikeis. Ada pemilahan yang tegas antara 'yang rohani' dan 'yang jasmani.'  

Segala sesuatu yang 'berbau' rohani itu baik, dan yang jasmani itu jahat (negatif) karenanya harus dihindari. Jalan hidup asketisme menjamin gaya hidup rohani yang ketat, pada saat bersamaan mengambil jarak tegas terhadap hal-hal duniawi (jasmaniah). Suatu saat dia tidak puas dengan Manikeisme, lalu pergi ke Roma dan disana bertemu dengan Ambrosius (uskup Milan) yang darinya ia kembali mendalami Neo-platonisme. Lewat Neo-platonisme yang diajarkan Ambrosius ia tertarik pada ajaran Kristen dan mendalaminya. Akhirnya, ia memberi diri dibabtis bersama anaknya (Adeodatus) tahun 386, tahun dimana ibunya juga meninggal.

Pandangan filosofis dan teologisnya membahwa Agustinus masuk dalam tegangan-tegangan pergumulan intelektual-spiritual yang dramatis. Semua dinamika perenungan itu dirangkum dalam sebuah karya spektakuler dan sangat berpengaruh berjudul Pengakuan-Pengakuan (CONFESSIONES). Tentang pengaruh dan kekagumannya pada Amborsius ditulisnya di  Bab X-XIII: "Abdi Allah itu menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup sejati dinyatakannya kesenangannya akan pemindahan saya."  

Dilanjutkan dengan: "Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai seorang guru kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku" (Hal.146). Sebagai pengajar di ilmu retorika Agustinus rutin mengunjungi Ambrosius untuk memastikan apakah Ambrosius benar-benar seorang ahli retorika dan orator terbaik di dunia. Walau lebih tertarik pada keterampilannya berbicara daripada topiknya, Agustinus segera menyadari bahwa Ambrosius adalah seorang orator menakjubkan. 

Baca juga: Filsafat Abad Pertengahan (Bagian 3): Thomas Aquinos

Pada akhirnya, Agustinus mengatakan bahwa melalui alam bawah sadarnya ia dibawa ke dalam iman Kekristenan. Ia menggambarkan 'pertobatannya' itu dengan kata-kata puitis dalam Confessiones:

Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu,

Oh Keindahan lama yang selalu baru,

betapa lambat Kau kucintai!
Ketika Engkau berada di dalam diriku,

aku malah berada di luar, dan di luar sanalah Kau kucari.
Aku, yang tidak layak dicintai ini,

melemparkan diri ke antara hal-hal indah yang Kau ciptakan.

Dahulu Engkau bersamaku, namun aku sendiri malah tidak bersama-Mu.
Segala hal itu membuatku terpisah daripada-Mu;

yang jikalau tidak ada dalam diri-Mu,

sesungguhnya semua itu bukanlah apa-apa!

Engkau memanggil dan berseru-seru, dan menghancurkan ketulianku.
Engkau memancarkan kilau dan sinar, dan menghalau kebutaanku.
Engkau menebarkan harum semerbak dan aku menghirupnya;

dan sekarang aku terengah-engah merindukan-Mu.
Aku telah mengecap, dan sekarang aku lapar dan haus.
Engkau menyentuhku, dan aku terbakar mendambakan damai-Mu.

Tiga problem yang menjadi inti perenungan filosofis Agustinus, yaitu pertama; darimana asal usul kejahatan?  Kedua; Apakah manusia masih bisa bebas bila hidup dalam Tuhan, bukankah Tuhan sudah tahu segala sesuatu dan menjadi penyebab utama atau mengatur segala sesuatu? Ketiga; bagaimana menginterpretasi sejarah (lewat karyanya De civitate dei)

Ajaran tentang Iman dan Pengetahuan. Ada dua doktrin, pertama; credo ut intellegam (saya beriman supaya saya mengerti dunia), mengajarkan bahwa  iman mendahului atau menjadi dasar bagi pengetahuan / pengertian. Sejarah hanya bisa dipahami secara tepat lewat iman kepada wahyu. Kebenaran hanya bisa dipahami secara memadai lewat iman. 

Di sini Agustinus berusaha menjelaskan hubungan antara filsafat dan pengetahuan/kebenaran. Kebenaran yang dimaksud tentu dalam pengertian kebenaran tertinggi, yaitu wahyu. Hanya dengan perspektif iman atas  wahyu kita dapat memahami kebenaran dan menjelaskan peristiwa-perstiwa sejarah secara lengkap.  Kedua, fides quaerens intellectum (faith seeking understanding" /"faith seeking intelligence") dengan akal budi saya bisa menjelaskan isi kebenaran Wahyu. Dasarnya adalah supaya percaya dengan seluruh kedalaman pengetahuan akal budi, yang bisa dinampakkan (dicerminkan) lewat sikap hidup.

Ajaran tentang waktu. Tidak ada masa lalu, dan masa depan. Yang ada hanyalah masa kini. Sesuatu yang pernah ada sudah tidak ada, dan sesuatu yang (diharapkan) akan ada juga belum ada. Jadi, yang harus dipikirkan dan dijalani adalah kenyataan kekinian.  Allah hadir di luar waktu, yaitu dalam "masa kini yang kekal," karena waktu hanya terdapat di dalam alam ciptaan, dimana waktu hanya dapat dirasakan dalam dimensi ruang, yaitu melalui gerak dan perubahan.

Ajaran tentang Kehendak Bebas dan Asal usul Kejahatan. Dalam karyanya "Tentang Pilihan Bebas Kehendak"  (De libero arbitrio), Agustinus membahas alasan mengapa Allah memberikan manusia kehendak bebas yang dapat digunakan untuk berbuat jahat. Dalam pandangan Agustinus kejahatan bukanlah sebuah kedurjanaan melainkan sebagai ketiadaan kebaikan. Kejahatan tidak memiliki eksistensi pada dirinya, sebagaimana gelap hanyalah kondisi ketiadaan cahaya. Dalam hal ini Agustinus mengadopsi pemikiran Plotinus, bahwa kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.

Terhadap trilema Epikurean, Agustinus memberi jalan keluar, tidak dengan ajaran dualisme khas Manikeisme dan Plotinus. Juga tidak dengan monisme yang mengajarkan bahwa Allah maha Kuasa, maka segala sesuatu terjadi hanya atas ijin atau kendali Allah.  Jadi, bila ada kejahatan, bencana, kebencian dan sejenisnya itu juga kehendak Allah. Sedangkan dualisme mengajarkan bahwa prinsip tertinggi bukan hanya satu, melainkan dua, yaitu Yang Baik dan Yang Jahat.  Dosa dan kejahatan bersumber dari kuasa "Yang Jahat," yang ada untuk melawan "Yang Baik." Selama manusia memiliki tubuh ia tidak bisa terlepas dari godaan jasmaniah (yang jahat), dan untuk menaklukannya dilakukan dengan 'mematikan tubuh' melalui kehidupan asketis.

Agustinus mengajarkan doktrin teodesi (Latin: theos = Tuhan + dike = keadilan), yaitu bahwa Allah tidak bisa salah. Segala sesuatu pada dirinya tidaklah jahat, sebab merupakan ciptaan Tuhan.  Lalu, darimana asal usul kejahatan? Kejahatan muncul akibat dari penggunaan kebebasan manusia itu sendiri. Muncullah ajaranya tentang predestinasi, yaitu segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan. Namun. Allah menciptakan manusia dengan dilengkapi kebebasan kehendaknya. 

Oleh kebebasan itulah manusia kerap menggunakannya secara berlebihan yang hasilnya berupa akibat-akibat buruk. Kejatuhan Hawa dan Adam di Firdaus merupakan contoh yang dirujuk, dimana kebebasan pemberian Allah telah salah digunakan sehingga menimbulkan kejahatan dan kejatuhan (bencana). Manusia tentu kelak diminta tanggungjawab atas penggunaan kebebasannya itu. Tetapi juga, lewat "keburukan/kejahatan/bencana" yang terjadi selalu ada maksud baik yang hendak dihadirkan Allah.

Ajaran tentang Penciptaan Allah. Mengadopsi gagasan ide (eidos) Platon, Agustinus mengajarkan Allah mencipta dari ketiadaan. Pandangan ini bertentangan dengan worldview Yunani maupun Romawi yang meyakini gagasan bahwa dunia itu sudah dan selalu ada. Sebelum Tuhan menciptakan dunia, 'ide-ide' tentang apa yang akan diciptakan itu sudah ada di benak-Nya.

Jostein Gaarder memberikan contoh yang sangat membantu pemahaman ini. Saya momodivikasi Gaarder untuk memberi konteks yang sesuai. Bila Anda 'menjelajahi kosmos literasi' dalam sebuah buku karangan saya, misalnya The Real You is The Real Success, Anda sedikitnya akan mengenal saya berdasarkan pandangan, sikap moral, dan visi eskatologis saya sebagaimana Anda temukan sebagai kesimpulan setelah membaca. 

Baca juga: Konsep Diri Menurut Plotinos

Dan, kesimpulan Anda mungkin tidak salah, bahkan bisa juga tepat. Namun, tidak punya daya persisi yang tinggi. Untuk mengenal siapa saya, Anda perlu membaca biografi/otobiografi saya. Demikian pula, manusia bisa membuktikan Allah lewat mengamati semua fenomena alam dan karya-karya ciptaan-Nya. Lewat alam yang megah dan tertata, kesimpulan tentang adanya Pencipta dimungkinkan. Namun, itu bukanlah penjelasan persis tentang siapakah Allah itu. Anda harus membaca kitab suci, yang merupakan biografi/otobiografi dari Tuhan.

Ajaran tentang Sejarah. Sejarah bersifat khiliastik (Latin: khilioi = 1000 merujuk ke 1000 tahun kerajaan Kristus di Wahyu 20), yaitu berawal dari kegelapan/ pesimsme/ keburukan nasib), namun secara perlahan akan menuju terang/kemenangan/harapan). Ia belajar dari kekristenan, yang berawal dari penindasan dan pengianiayaan, tetapi akhirnya berkembang pesat dan menjadi "pemenang."   

"Jatuh bangunnya" sejarah merupakan akibat dari tegangan abadi antara civitate dei vs civitate terena. Tentu saja ini pengaruh ajaran dualisme Manikeis. Kegagalan manusia dalam sejarah lebih disebabkan oleh peccatum ordinale (dosa asal) dan bukan oleh humartia (pelarian dari kesalahan moril/escapisme moril). 

Sejarah keselamatan adalah peristiwa jatuh bangunnya bangsa Yahudi terus-menerus dari dosa dan pengampunan yang kemudian berakhir pada penebusan. Masa diantara kebangkitan sampai kedatangan Kristus kembali adalah masa percobaan pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Masa diantara kebangkitan sampai kedatangan Kristus kembali adalah masa percobaan, pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Sejarah keselamatan akan berlangsung sampai akhir zaman dan hanya kerajaan abadi dari Tuhan yang akan menggantikannya.

Penutup

Perlu di catat, bahwa pada masa Abad Pertengahan ini Filsafat Islam muncul sebagai sebuah kekuatan inetelektual dominan, sekaligus menjadi penyeimbang kekuatan Eropa lewat penaklukannya ke Spanyol. Bahkan, boleh dikatakan Filsafat Islam mencapai masa keemasannya di era ini. 

Namun, harus diakui juga sumber-sumber utama pemikiran filosofisnya berakar dari filsafat Yunani, terutama Aristoteles. Banyak naskah Aristoteles di terjemahkan ke bahasa Arab, kemudian dari bahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Latin menyebabkan pemikiran-pemikiran Aristoteles masuk ke Eropa, justru 'memutar' lewat Arabia. Tidaklah mengherankan, bila sejumlah komentator menyebut pemikiran Ibnu Sina, misalnya, sebagai pemikir Yunani yang berbahasa Arab.

Atas dasar itu, kita akan membahas peran Filsafat Islam abad pertengahan, terutama melalui dua tokohnya yaitu Ibnu Sina dan Ibnu Rushyd secara tersendiri.

Referensi  Rujukan

Augustinus (1997). Pengakuan-pengakuan (diterjemahkan oleh Winarsih Arifin dan Dr.Th.van den End). Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia

Gaarder, Jostein (2016). Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat, (Alihabahasa oleh Rahmani Astuti), Penerbit Mizan

Simon P.L.Tjahjadi (2004). Petualangan Intelektual Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Penerbit Kanisius

Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=lUP2ivvzQvI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun