Subandrio sebagai Waperdam I jelas tidak bisa menggantikan Bung Karno karena dianggap terlibat G 30 S PKI. Maka, seharusnya yang menggantikan Bung karno adalah Leimena. Namun, entah mengapa (sebuah kebetulan ???), Leimena menolak. Maka, Waperdam III yaitu Chaerul Saleh lah yang terpilih. Ternyata posisi itu menjadi malapetaka bagi Chaerul Saleh. Suharto menangkap Chaerul Saleh dengan tuduhan yang tidak jelas, dijadikan tahanan politik hingga mati di Tahanan tanpa pernah mengetahui kesalahannya.
Padahal jasa Chaerul Saleh sangat penting karena beliau yang pertama kali menyampaikan Dokumen Rencana Pemberontakan PKI kepada Bung Karno pada awal tahun 1965. Saat itu Bung Karno dan seluruh Pejabat Militer, termasuk Suharto, tidak percaya kalau PKI punya niat segila itu. Setelah PKI melakukan kudeta, seharusnya kalau Suharto benar-benar memusuhi PKI ia layak berterima kasih kepada Chaerul Saleh.Â
Pilihan "kebetulan" Om Jo menyelematakannya, dan malahan dalam pemerintahan  rezim Suharto ditawarkan menteri tetapi menolak juga. Lalu, diangkat menjadi Wakil Ketua DPA. Beberapa tahun setelah menyelesaikan masa jabatannya di DPA, ia pun meninggal tahun 1977.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Dr. Johannes Leimena adalah salah satu pahlawan Indonesia. Ia disebut sebagai tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus.Â
Leimena masuk ke dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) Â sampai Kabinet Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Wakil Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu Leimena juga menyandang pangkat Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi) dalam rangka Trikora.
Dr. Leimena pernah pula aktif dalam menangani masalah kemiliteran. Pada tahun 1947, di samping jabatannya sebagai Menteri Kesehatan, ia diangkat sebagai Ketua Komisi Militer dalam perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda. Begitu pula dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Komisi ini berhasil memperjuangkan TNI menjadi inti Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), sedangkan anggota KNIL dilebur ke dalam APRIS.
 Sri Sultan Hamengku Buwono menyebut om Jo sebagai "teladan bagi kita semua sebagai pemimpin politik yang tetap hidup sederhana dan murni. Banyak tokoh nasional lainnya memberikan apresiasi kepada kepribadian om Jo, yang autentik, ramah namun tegas. Kepribadian "unik" inilah yang membuatnya berhasil melalui berbagai "jebakan-jebakan" politik di sepanjang sejarah perjalanan kursi kekuasaan yang penuh intrik dan jebakan.
Pandangan om Jo terkristalisasi dalam ungkapan fenomenal, yang disampaikannya pada saat pendirian GMKI, yang sudah akrab di telinga anak-anak gerakan (Kader GMKI):
"Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan yang mungkin harus dilakukan di Indonesia. GMKI jadilah suatu pusat, tempat latihan, dari mereka yang bersedia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukan merupakan suatu gesellscaft, tetapi ia adalah suatu gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian, ia berakar baik dalam Gereja maupun dalam nusa dan bangsa Indonesia. Sebagai suatu bagian dari Iman dan Roh, ia berdiri di tengah-tengah dua proklamasi; Proklamasi Kemerdekaan Nasional, dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injil-Nya, yaitu Injil Kehidupan, kematian, dan kebangkitan".
Demikian sebuah catatan singkat tentang seorang tokoh pergerakan, yang menyatukan gerakan ke-Kristenan dengan gerakan Nasionalisme. Â Pikiran dan tindakan yang patut dijadikan teladan, dimana sebagai warga negara dapat menjadi 100% nasionalis sekaligus 100% beragama. Perlu dicatat, bahwa sikap dan pemahaman Leimena seperti itu sedikitnya terbentuk lewat perjumpaannya dengan Hendrik Kramer dan van Doorn yang secara nyata mendorong keterlibatan konkrit pemuda Kristen dalam pergerakan nasional.Â
Lebih dari itu pula, keteladanan, kejujuran dan kebersahajaan om Jo seakan merupakan hasil perkawinan (internalisasi) dari nilai-nilai nasionalitas dan religusitas yang dianutnya. Â Bagi kita saat ini, Â bentuk keteladanan om Jo, seperti juga kebanyakan tokoh-tokoh pergerakan seperti Moh.Yamin, Moh.Hata, bahkan Sukarno, seakan serupa "barang antik' di tengah berlimpahnya figur pemimpin nasional bermental picik yang gemar memamerkan sikap hedonis dan hipokrasi.