Leimana di Pentas Nasional: Memimpin di Berbagai "Orde"
Dalam buku yang ditulis oleh sejumlah tokoh untuk Mengenal Dr.J. Leimena, berjudul "Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab," Â disebutkan bahwa Om Jo Leimena selalu menekankan bahwa "Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani"Pemikiran ini menggambarkan jiwa kepemimpinannya, terbukti Om JO sejak awal kemerdekaan hingga Orde Baru selalu memegang posisi penting dalam pemerintahan. Sejak era perjuangan fisik, era Sistem pemerintahan Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, hingga munculnya Orde Baru.Â
Dalam sistem perlementer, dari sekitar 18 kali pergantian Perdana Menteri om Jo selalu mendapatkan posisi menteri. Demikian pula pada Demokrasi Terpimpin. Setelah Orde Lama tumbang, dibawa pemerintahan Suharto Om Jo masih diminta menjadi menteri, namun ia menolak. Akhirnya ia duduk sebagai Wakil Ketua DPA.
Pemikiran lainnya dari om Jo adalah tentang prinsip "dwi kewarganegaraan" atau kewarganegaraan rangkap. Om Jo mengajarkan, bahwa setiap orang Kristen memiliki kewarganegaraan sebagai warga Kristus (warga Surgawi) tetapi juga warga Negara (warga bumi). Lewat ajaran ini, Om Jo menekankan bahwa orang Kristen tidak boleh bermental minoritas.
Leimena menganjurkan agar orang-orang Kristen menjadi warga negara yang bertanggung jawab, menjadi "garam" dan "terang dunia". Dalam makalahnya "Kewarganegaraan yang bertanggung jawab"(1955), Leimena mengutip pendapat Evanston yang mengatakan, "Masyarakat yang bertanggung jawab ialah masyarakat di mana kemerdekaan adalah kemerdekaan dari orang-orang yang mengakui bertanggung jawab kepada keadilan dan ketertiban umum dan di mana mereka yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan itu kepada Tuhan dan kepada rakyat." Mengenai pluralisme, Leimena berpandangan Bhinneka Tunggal Ika itu hanya bisa berlaku sempurna bila "Bhinneka" diperkuat oleh "Ika".
Gambaran tentang kepribadian Om Jo dapat dipahami lewat pandangan Sukarno, Presiden I. Siapa orang paling jujur menurut Bung Karno? Jawabnya: Johannes Leimena! Ini yang dikatakan Bung Karno,  seperti dideskripsikan oleh Cindy Adam dalam bukunya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia sebagai berikut:  "Ambillah misalnya Leimena...saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui. Kepecaryaan Sukarno pada Leimena terbukti dengan memberikan jabatan 7 kali sebagai "pejabat Presiden."
Bangunan Nasionalisme Indonesia tergambarkan dengan jelas dalam pikiran Sukarno sejak awal 1920-an, yang memuncak pada berdirinya PNI. Bangunan itu berdiri di atas tiga kaki filosofis, yaitu Nasionalisme, Agama (Islam) dan Komunisme. Di antara tiga kaki ini terjadi tarik menarik yang sering bertegang.Â
Kelak, di tahun 1960-an dirumuskan dalam konsep NASAKOM. Om Jo dapat "bergaul" aman dengan ketiga tegangan ini. Apa yang membuat Leimena dipercaya baik oleh kalangan Nasionalis, Islam, dan Komunis? Berbagai nara sumber menyebut karakter Leimena yang menonjol, yaitu sederhana, jujur, dan tenang.Â
Roeslan Abdulgani, mantan wakil perdana menteri menulis, "Mengenang Dr.Leimena atau Om Jo adalah mengenang seorang pribadi sederhana. Sederhana dalam cara berpikirnya dan sederhana dalam cara hidupnya. Sederhana tidak dalam arti dangkal tapi secara mendalam. Lurus dan tidak berliku-liku.Wajar seadanya dan tidak dibuat-buat.
Awal tahun 1960-an dibawa Demokrasi Terpimpin, dengan ideologi Nasakom, PKI menjadi partai politik yag cukup kuat. Terkesan "dianakemaskan" oleh Bung Karno. Dengan posisi strategis itu, Aidit dan CGMI (Consentrasi Gerakan mahasiswa Indonesia, sebuah organisasi mahasiswa underbow PKI) melihat Islam sebagai ancaman lantaran kerap mengkritik ideologi Nasakom. Lalu, memengaruhi bung Karno untuk membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan Partai Masyumi. Ridawan Saidi, mantan Ketua HMI menyaksikan bahwa Om Jo berhasil membujuk Bung Karno untuk membatalkan niat itu.
Pasca G 30 S PKI dan Bung Karno dilengserkan oleh Suharto berdasarkan SP 11 Maret, Indonesia sebetulnya tanpa kekuasaan eksekutif. Menurut kebiasaan, seharusnya posisi itu otomatis dipegang oleh para Wapredam (Wakil Perdana Menteri). Â Ada tiga Waperdam, yaitu Waperdam I dijabat Subandrio, II dijabat Leimena (merangkap menteri distribusi), dan Waperdam III dijabat Charirul Saleh.Â