Mohon tunggu...
Semuel Leunufna
Semuel Leunufna Mohon Tunggu... Dosen - You Will Never Win if You Never Begin

Dosen Universitas Pattimura Ambon

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Beberapa Catatan Pribadi dari Seminar Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI)

6 April 2022   18:11 Diperbarui: 6 April 2022   18:25 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. Agr. Ir. Semuel Leunufna MSc. PhD.*

Pusat Pelestarian Keanekaragaman-Hayati Maluku (PPKM)

Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon

 

Abstrak

Seminar Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) merupakan suatu sarana memahami posisi kekinian (State of The Art) pemuliaan serta menjadi landasan pemahaman bagi pengembangan lanjut pemuliaan di Indonesia. Seminar Nasional bertemakan "Peran Pemuliaan Dalam Mewujudkan Kemandirian Industri Perbenihan Nasional", mengambil venue pada IPB International Convention Centre dihadiri sekitar 200 peserta membahas 183 karya ilmiah dalam bentuk makalah dan poster serta menghadirkan sekitar 10 pembicara utama dari sejumlah universitas dan lembaga penelitian, dalam dan luar negri. 

Tulisan ini merupakan perpektif penulis, mencermati kemajuan, memberikan ulasan dan masukan bagi pengembangan pemuliaan di Indonesia.

 Perhatian penulis tertuju pada beberapa aspek termasuk media diskusi dunia maya PERIPI, PERIPI sebagai organisasi profesi, expektasi terhadap produk seminar, kondisi pemulia di Indonesia terkait kuantitas, kualitas, regenerasi serta distribusinya, serta pembiayaan suatu program pemuliaan.

 Dalam membicarakan harapan terhadap produk seminar, penulis mencoba memberikan suatu justifikasi terkait peran pemuliaan sebagai back bone pertanian serta peran konservasi sumberdaya genetik sebagai back bone pemuliaan.  Akhirnya diskusi spesifik terkait pengembangan kedele, infra struktur pemuliaan serta methode konservasi sumberdaya genetik tanaman dikemukakan.

 

Pendauluan

Seminar Nasional Perhimpunan Ilmuan Pemuliaan Indonesia (PERIPI) berlangsung dengan sukses tanggal 6 dan 7 Nopember, 2012 di Bogor International Convention Centre,  Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Suatu Seminar Nasional yang dapat dikatakan terbesar dalam bidangnya di Indonesia, menghimpun para ilmuan, peneliti, praktisi, senior maupun yunior, dalam bidang pemuliaan serta konservasi sumberdaya genetik tanaman maupun hewan/ternak, dari berbagai lembaga universitas maupun lembaga penelitian.

Suatu Seminar Nasional yang, meskipun terlaksana melalui suatu kerja keras menghimpun dana dan daya dari berbagai pihak termasuk Direktorat Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (yang secara khusus menyediakan dana bagi publikasi makalah-malakalah yang terpilih sebagai berpeluang dipublikasi pada jurnal internasional maupun nasional terakreditasi), Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Tanaman (BBBiogen), Badan Litbang Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dan sterusnya (sebagaimana laporan ketua Peripi),  sangat dinantikan dan diharapkan karena merupakan suatu sarana memahami kondisi kekinian (State of the Art) serta rencana pengembangan lanjut pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik tanaman dan hewan /ternak di Indonesia serta suatu "kopy darat" dari diskusi-diskusi dunia maya melalui pemulia@yahoogroups.com dan tentunya juga "temu kangen" para pemulia dan penggiat konsevasi sumberdaya genetik di Indonesia yang sebagian diantaranya saling mengenal secara pribadi.

IPB Convention Centre sebagai venue Seminar Nasional menawarkan fasilitas Seminar Nasional yang lengkap dengan ruang auditorium yang luas serta sound systim dan in focus bagi kegiatan yang melibatkan seluruh peserta ditambah ruang-ruang dengan kapasitas kecil bagi pembahasan topik-topik dalam kelompok-kelompok spesifik melalui moderator yang aktif menyemangati pertukaran informasi yang saling menguntungkan diantara peserta Seminar Nasional. 

Wilayah Seminar Nasional yang menyatu dengan pusat belanja moderen menawarkan suasana berbeda, mungkin juga bagi relaksasi setelah terlibat diskusi membahas berbagai pokok bahasan. Konsumsi yang meyakinkan terutama kopi dengan takaran yang pas pada setiap coffee break, tentu perlu ditambah whitener dan sugar sesuai selera, seolah mengundang peserta memberikan applause bagi panitia pelaksana yang diketuai Prof. Dr. Sobir dari IPB Bogor.  

Hadirnya para senior PERIPI semisal Dr. Suggijono Mulyopawiro, Ibu Dr. Ismiyati Soedibyo serta yang lainnya baik dari lembaga universitas maupun lembaga-lembaga penelitian yang meskipun telah memasuki masa purnabakti, tetap aktif memberikan sumbangan pemikiran dan ikut berparisipasi dalam berbagai kegiatan PERIPI, terutama Dr. Ahmad Baikhaki yang duduk pada barisan depan dan secara khusus mendapat rekognisi sebagai salah seorang peletak dasar berdirinya PERIPI, memberikan gambaran bahwa PERIPI tidak melupakan sejarah, ...because history gives vision,...and without vision people perish (Stoskopf et al., 1993).

Tidak heran, Seminar Nasional yang bertemakan "Peran Pemuliaan Dalam Mewujudkan Kemandirian Industri Perbenihan Nasional"  dan dihadiri lebih dari 200 peserta itu mendapat pujian, "memenuhi standard internasional"  dari Presiden Society for the Advancement of Breeding Research in Asia and Oceania (SABRAO) Dr. Peerasak Srinives,  Prof pada Kasetsart University, Thailand yang hadir sebagai seorang pembicara utama bersama-sama para pakar dari Jepang dan Korea, dan PERIPI ditawarkan menjadi tuan rumah  kongres ke 13 SABRAO yang akan dilangsungkan 2014 atau 2015 mendatang.  

Beberapa Catatan Kemajuan dan Evaluasinya

Keberhasilan yang dicatat pemuliaan tanaman Indonesia sebenarnya, menurut penulis, tidak mudah ditelusuri ataupun dievaluasi karena kurangnya publikasi ataupun distribusi publikasi yang memuat serta menjelaskan keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh. 

 Contoh yang dapat dikemukakan salah satunya adalah tidak tersedianya publikasi daftar varietas unggul yang di-release secara periodik untuk wilayah iklim tertentu dan dengan keunggulan tertentu, hasil pengembangan pemulia atau lembaga tertentu. Sebab lainnya adalah kondisi pada tingkat petani yang kurang menunjukkan kontribusi positif benih unggul hasil pemuliaan tanaman, meskipun kontribusi benih juga dibaurkan (confounded) melalui interaksi dengan input faktor usaha tani lainnya.

 Optimisme penulis sedikit terangkat ketika menghadiri Seminar Nasional PERIPI dan menyimak berbagai makalah yang dipresentasikan serta optimisme yang dibawa oleh peserta lainnya. Bagaimanapun beberapa kemajuan  serta tantangan dalam pengembangan pemuliaan tanaman yang menurut persepsi penulis terungkap dalam Seminar Nasional PERIPI dapat disampaikan  berikut ini:

  • Adanya jaringan dunia maya melalui pemulia@yahoogroups.com telah memberikan kontribusi besar dalam menggairahkan para pemulia di Indonesia, menjadi media koordinasi dan informasi bagi penyelenggaraan even-even Seminar Nasional PERIPI serta loka-karya terkait pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik, menjadi media diskusi dan pertukaran (sharing)  gagasan-gagasan serta informasi kemajuan pemuliaan di Indonesia maupun dimanca negara, media koordinasi dan pengembangan lanjut dari jurnal pemuliaan seperti Zuriat, maupun koordinasi organisatoris terhadap berbagai cabang (Komisariat Daerah) organisasi PERIPI di Indonesia.  

  • Jaringan dunia maya ini, meskipun masih saja dikotori beberapa posting yang tidak relevan, tetap dapat dijaga kemurniannya dalam bingkai ilmu pemuliaan.

  •  Meskipun demikian, bagi penulis tidak dapat dijamin bahwa semua pihak yang bertanggungjawab (stakeholders) pada pemulaiaan di Indonesia terhimpun dalamnya dan dengan demikian hanya merupakan jaringan kerja dari sekelompok elit pemulia di Indonesia dan gagal atau belum mampu menampung aspirasi ataupun memotivasi sebagian besar pemulia atau calon pemulia yang tersebar di seluruh wilayah tanah air. Penulis sendiri secara kebetulan dapat bergabung karena persahabatan dengan sdr. administrator Dr. Agung Kurniawan ditahun 2000, dan diundang untuk ikut terlibat. 

  • Beberapa anggota, sebagaimana pengamatan penulis kemudian, menawarkan diri untuk ikut terlibat setelah mendapat informasi dari rekan lainnya. Diharapkan bahwa dengan berbagai strategi yang dipikirkan dan dikembangkan PERIPI, berbagai komponen yang terkait dengan bidang pemuliaan dapat dilibatkan dalam upaya membangun pemuliaan lewat jaringan dunia maya ini.

  • PERIPI sebagai suatu organisasi profesi bidang pemuliaan yang didalamnya konsep-konsep pengembangan  pemuliaan dibahas dan dirumuskan serta merupakan suatu badan konsolidasi dan mobilisasi ilmuwan pemuliaan di Indonesia, jelas merupakan suatu aset nasional. Dengan mekanisme pergantian kepemimpinan yang jelas dan secara periodik (pergantian kepengurusan berikutnya akan berlangsung tahun 2013, sebagaimana dikemukakan Prof. Kusuma Diwyanto, Ketua umum PERIPI saat ini) akan memberikan kesempatan secara berkelanjutan bagi kader-kader baru menduduki posisi-posisi kepengurusan dengan membawa visi-misi yang segar, berlanjut dan sesuai panggilan jaman.

  • PERIPI dengan demikian perlu diperkenalkan secara lebih luas bagi stake holders pemuliaan di Indonesia baik AD/ART-nya maupun struktur dan persoalia kepengurusannya secara lengkap, secara khusus bagaimana sifat keanggotaan PERIPI dan bagaimana mekanisme pembentukan suatu Komisariat Daerah, dan dengan demikian diharapkan potensi dari 33 Propinsi di Indonesia dapat direkrut kedalam kepengurusan PERIPI.

Seminar Nasional selain merupakan ajang dimana perkembangan terakhir pemuliaan tanaman di Indonesia dapat diikuti, juga menjadi ajang memamerkan dan membanggakan keberhasilan kelompok kerja,  tentunya dalam arti positif, saling iri yang positif, saling belajar satu dari lainnya, saling memberikan masukan, sanggahan yang membangun, serta ajang belajar bagi para pemulia muda menyampaikan hasil penelitiannya dan menyimak presentasi dari peserta lainnya.  Seminar Nasional kali ini menampilkan 183 makalah, 123 diantaranya di presentasikan dan didiskusikan dalam klas-klas paralel yang terbagi menurut kelompok tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, kehutanan dan tanaman obat, serta peternakan dan perikanan.

 Sejumlah pembicara utama juga ditampilkan dari SABRAO, Nagoya University-Japan, Institut Pertanian Bogor, Balai Penelitian Umbian dan Kacang-kacangan (Balitkabi), Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak (Puslitbangnak), PT BISI Internasional, Crop Life, PT Sampoerna Agro Tbk, serta tiga Penerima AKIL bidang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).

Pembagian kelompok diskusi atau klas paralel menurut kelompok tanaman dan ternak jelas dapat menampung berbagai bidang terkait pemuliaan serta materi yang ingin dipresentasikan, namun menurut penulis pembagian ini belum secara sungguh mengacu pada atau merefleksikan perkembangan pemuliaan di Indonesia. Pembagian atau penggolongan dalam kelompok-kelompok seperti konservasi sumberdaya genetik, methode pemuliaan, bioteknologi, regulasi, menurut penulis, akan lebih menggambarkan adanya sense terhadap perkembangan pemuliaan, serta aliran sungai pemuliaan dari hulu sampai ke hilir, dimana pada hulu terdapat sumberdaya genetik yang semakin kritis karena tererosi yang perlu diupayakan konservasinya, pada bagian batang sungai ada program pemuliaan untuk merakit varietas-varietas baru dengan metode-metode dan teknik yang semakin di maksimalkan penggunaannya baik metode konvensional maupun penggunaan bioteknologi termasuk mutasi, sidik jari DNA, transfer gen, dan seterusnya, serta pada bagian hilir ada aturan-aturan semisal paten dan perlindungan varietas tanaman, regulasi introduksi GMT dan lain-lain yang memungkinkan adanya proteksi terhadap varietas yang dihasilkan serta terhadap penggunaan varietas baru bagi pemulia, petani, masyarakat tradisional serta masyarakat umum.  

Tambahan pada keynote speaker yang ditampilkan, penulis berpendapat, perlu pula ditampilkan perusahan-perusahaan pemuliaan swasta asing lainnya yang merupakan representasi dari kemajuan pemuliaan (tanaman) dunia yang berbasis di Indonesia yakni Monsanto yang memiliki kebun penelitian dan pengembangan varietas di Mojokerto, ataupun Dupon yang kabarnya akan ikut terlibat dalam penyususnan konsep aturan bagi introduksi secara kehati-hatian (precausionary) organisma hasil rekayasa genetika (Geneticly Modified Organism-GMO) di Indonesia.

 Dari mereka dapat dipelajari metode dan teknik baru pengembangan varietas tanaman, melibatkan para pemulia muda Indonesia untuk ikut belajar pada program pemuliaan yang dikembangkan serta memintakan mereka agar tidak hanya memanfaatkan plasma nutfah dari Indonesia untuk mengembangkan varietas di negara lain atau menggunakan wilayah Indoneisa untuk hanya menguji varietas yang diintroduksi tetapi juga mengembangkan varietas baru berbasiskan plasma nutfah Indonesia sebagai latar belakang genetik agar lebih adaptif pada wilayah Indonesia.

  • Sekalipun event yang diselenggarakan merupakan suatu Seminar Nasional, penulis berharap, melalui prakarsa PERIPI, adanya suatu pernyataan tekad atau upaya untuk menjadikan pemuliaan berperan lebih signifikan membangun pertanian nasional,  semisal suatu kebulatan tekat untuk menjadikan pemuliaan sebagai back bone pertanian Indonesia dan menjadikan konservasi sumberdaya genetik sebagai back bone pemuliaan. Justifikasi kebulatan tekad ini akan dicoba dielaborasi lebih lanjut dalam bagian lain dari tulisan ini.  

  • Jumlah "pemulia" di Indonesia yang bila ditelusuri melalui keterlibatan dalam diskusi dunia maya atau keanggotaan dalam PERIPI sebanyak 750 orang secara khusus diberikan penekanan oleh ketua PERIPI dalam sambutannya. Jumlah ini jelas suatu potensi bagi pemuliaan nasional yang kemudian dapat diorganisir dan dimanfaatkan bagi pengembangan pemuliaan Indonesia. Jumlah ini bagi penulis masih perlu diulas dari beberapa aspek yakni dalam hal batasan yang digunakan, yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya, spesifikasi tanaman dan bidang ilmu, regenerasinya dan distribusinya di wilayah tanah air.  

  • Bila defenisi paling tua pemuliaan tanaman yakni "seni dalam mengembangkan keturunan tanaman" diaplikasikan, maka petani akan tercakup dalam jumlah pemulia yang perlu dihitung dalam jumlah ini.  Peranan masyarakat tani dalam pengembangan keturunan tanaman khususnya dalam men-domestikasi tanaman entah melalui seleksi sadar maupun tak sadar, diketahui. 
  • Salah satu dari sekian banyak contoh yang dapat diberikan adalah seleksi yang menghasilkan jenis-jenis Ubi (Dioscorea spp.) yang dikultivasi saat ini yang bebas dari kandungan diosgenin (suatu senyawa steroid yang salah satu pemanfaatananya adalah sebagai bahan aktif pada pil kontrasepsi).  Dalam suatu penelitian dilakukan analisis kandungan diosgenin terhadap 17 kultivar ubi hasil koleksi proyek umbi-umbian di Maluku.  

  • Analisis yang dilakukan di Laboratorium pada Universitas Uthrech negri Belanda mendapatkan kandungan diosgenin sangat rendah atau mendekati nol dari semua spesimen yang dikirimkan.  Diketahui bahwa varietas liar Dioscorea umumnya mengandung diosgenin dalam konsentrasi tertentu, dengan beberapa spesies seperti D. floribunda, D. mexicana memiliki kandungan dengan nilai ekonomis untuk dikembangkan lebih lanjut. Karena diosgenin memiliki rasa yang agak pahit, diduga bahwa secara tak sadar masyarakat tani telah menyeleksi untuk mengkultivasi dan mengkonsumsi varietas-varietas yang tidak berasa pahit atau dengan diosgenin yang rendah dan menghasilkan varietas-varietas yang dikutivasi saat ini. 

  •  Bahkan hingga saat ini di wilayah tropis termasuk Indonesia, dengan ketersediaan keragaman yang tinggi diantara varietas-varietas lokal, masyarakat tani dapat bersama-sama melakukan seleksi melalui metode yang dikenal dengan participatory breeding untuk menghasilkan varietas unggul pada berbagai spesies tanaman kultivasi.

  • Bila definisi yang di kenakan adalah sebagaimana pada negara-negara maju dimana seorang pemulia yang dimintakan untuk mendapakan pekerjaan sebagai pemulia tanaman adalah seorang lulusan S2 pemuliaan dengan pengalaman melakukan pemuliaan tanaman selama lebih dari 5 tahun atau seorang lulusan S3 pemuliaan dengan pengalaman penelitian pada bidang lain semisal genetika selama lebih dari 3 tahun maka kualifikasi ini sulit dipenuhi pemulia Indonesia, atau mungkin hanya beberapa pemulia yang dapat memenuhi kreteria ini. 

  • Pemulia dengan kualifikasi demikian akan memanfaatkan berbagai metode konvensional yang telah dikembangkan selama lebih kurang 100 tahun dengan tambahan pemanfaatan teknik-teknik bioteknologi dalam membantu dan mempercepat dihasilkannya varietas baru dengan tujuan-tujuan yang semakin kompleks.

  • Jadi jelas ketua PERIPI menggunakan definisi yang sesuai atau dapat diterima di negara berkembang semisal Indonesia yang mengikutkan praktisi pemuliaan, peneliti pemuliaan, pengajar ilmu pemuliaan maupun pengamat pemuliaan di Indonesia dalam batasan yang digunakan yang menghasilkan jumlah yang dikemukakan.

  • Bila ditelusuri lebih lanjut, dari jumlah pemulia yang dibicarakan, bagian terbesarnya terkonsentrasi di pulau jawa dan merupakan para pemulia dari institusi-institusi penelitian yang mengemban tupoksi berskala nasional diikuti oleh universitas-universitas yang relatif lebih maju di Indonesia, sebagian kecil lainnya berasal dari Sulawesi dan lainnya berasal dari Sumatera.  Distribusi yang tidak seimbang pada 33 propinsi di Indonesia tentu menjadi persoalan dengan semakin maju dan berkembangnya masayarakat saat ini dan dikemudian hari. 

  • Perbedaan atau keragaman yang mencolok diantara 33 propinsi di Indonesia dalam hal tanah, iklim, ketinggian tempat, budaya dan teknik bercocok tanam, selera masyarakat setempat, dan lainnya menghendaki pengembangan varietas yang spesifik untuk suatu wilayah agar benar-benar unggul pada wilayah dimaksud. 

  • Sebagai bandingan dapat dikemukakan bahwa dalam penelitian yang membandingkan penampilan produksi beberapa jagung lokal dengan menggunakan varietas unggul nasional sebagai pembanding pada lokasi penelitian propinsi Maluku, didapati bahwa varietas unggul nasonal berproduksi lebih rendah dari varietas lokal tertentu. Hal yang sama berlaku pada spesies kacang hijau dimana beberapa galur turunan hasil persilangan kacang hijau varietas unggul nasional dengan varietas lokal, berproduksi lebih baik dibanding varietas unggul nasional.

  • Upaya PERIPI memperjuangkan pembinaan pemulia-pemulia tingkat daerah sangat diharapkan agar pemuliaan dapat berkontribusi tidak hanya di pulau Jawa tetapi pada seluruh wilayah tanah air sesuai kebutuhan tiap-tiap wilayah yang spesifik. Good news yang disampaikan ketua PERIPI bahwa "kebutuhan tenaga S1 jurusan pemuliaan nampaknya sangat besar, terutama untuk industri perbenihan dan Badan Litbang Pertanian", dalam suasana dimana minat masyarakat atau para pelajar terhadap bidang pertanian berada dalam keadaan terpuruk, sangat diapresiasi. 

  • Pasar kerja ini jelas akan memberikan motivasi bagi generasi muda menekuni bidang pemuliaan tanaman. Apresiasi juga di tujukan pada upaya PERIPI meyakinkan Kepala Badan Litbang Pertanian serta Dirjen DIKTI untuk membuka kembali jurusan Pemuliaan S1 pada berbagai universitas melalui penyusunan justifikasi pelaksanaannya.

  • Dengan demikian pada kondisi saat ini, peranan dan pengembangan bidang pemuliaan, dalam pemahaman penulis, dapat dilihat dalam suatu strategi pengembangan dengan analogi tombak dimana wilayah-wilayah yang telah berkembang maju serta dominan atau intensif dalam menghasilkan varietas baru ditempatkan pada ujung tombak yang akan menancap lebih dulu pada sasaran, memberikan gambaran akan kemajuan pemuliaan di Indonesia, kemudian diikuti wilayah-wilayah yang mulai berkembang, belajar dari atau mengambil manfaat dari kemajuan-kemajuan yang telah dicapai atau dibuka ujung tombak.  

  • Strategi lain yang dapat di jadikan bahan pemikiran adalah strategi apel pie  yang akan dibagi oleh berbagai  wilayah pemuliaan dan komuditas yang hendak dikembangkan sesuai peranan strategisnya dan kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Tiap-tiap wilayah dan komuditas bernilai strategis akan memberikan justifikasi pengembangan sehingga mendapatkan bagian pie sesuai kerja kerasnya dan seberapa meyakinkannya justifikasi yang diberikan.

  • Dalam menampilkan pembicara keynote speaker, khusunya tiga orang penerima/saat itu calon penerima AKIL (Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa), ditunjukkan adanya suatu proses regenerasi yang jelas dengan seorang pemulia muda bidang hortikultura (tanaman cabai), Dr. M. Syukur dari IPB Bogor, kemudian pemulia agak senior, Dr.  Andi Takdir dari Balitsereal, Maros, Sulsel serta seorang pemulia senior, Dr. Buang Abdullah dari BBalitpa, Sukamandi/Muara. 

  • Hal ini jelas menunjukkan adanya pemahaman dan keinginan mengalihkan secara bertahap tongkat estafet pemuliaan dari generasi lanjut ke generasi baru dengan melatih dan mempersiapkan dengan baik para pemulia muda pada berbagai spesifikasi bidang ilmu dan komoditi di Indonesia dimana program-program pemuliaan telah berkembang dengan baik demi menjaga sustainabilitas pengembangan varietas baru yang semakin dibutuhkan. Hal ini diharapkan tetap menjadi concern PERIPI kedepan.

  • Congratulations dan salute disampaikan bagi 8 pemulia penerima AKIL. Dr. Andi Takdir dari Balitsereal, Maros, Sulsel, Dr. Buang Abdullah, BBalitpa, Sukamandi/Muara, Dr. M. Yusuf, Balitkabi, Malang, Dr. M. Syukur, IPB, Dr. Erwina Lubis, BBalitpa, Muara, Prof. Dr. Totok Agung, UNSOED, Dr. Dedy, Puslit Kakao, Jember (sekarang Petro Kimia Gresik) dan Dr. Kuswanto, Unibraw.

Dengan hadiah Rp. 250 juta per pemulia, penulis, tanpa harus ikut campur dalam pengelolaannya, ingin mempertanyakan, kemana atau bagaimana dana ini akan dimanfaatkan? Apakah akan dimanfaatkan seluruhnya bagi kebutuhan pribadi atau keluarga pemulia?, ataukah dibagi diantara para pelaksana pemuliaan?, ataukah diinvestasikan kembali kedalam program pemuliaan? Penggunaan dalam cara pertama dan kedua jelas lebih diutamakan karena merupakan penghargaan terhadap prestasi pribadi, keluarga dan kolega. 

Pertanyaan ini membawa pada pertanyaan lanjut, bagaimana membiayai program pemuliaan yang tidak sedikit jumlahnya yang terrentang dari pemilihan tetua, pelaksanaan persilangan, penanaman populasi dan seleksi dari generasi ke generasi pada wilayah yang berbeda, penanaman pada berbagai lokasi untuk menguji superioritasnya terhadap verietas pembanding, pemeriksaan dan registrasi, pengajuan perlindungan varietas pada kantor Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), perbanyakan benih dan seterusnya hingga sampai ke tangan petani?, suatu pekerjaan yang berada dalam rentang waktu yang dapat mencapai puluhan tahun?

 Apakah PERIPI dapat atau telah memperjuangkan agar alokasi dana untuk ini diprioritaskan pada Badan Litbang Pertanian atau institusi manapun yang relevan agar sustainabilitas kerja pemuliaan dan dengan demikian produksi varietas baru dapat terjaga? Sebagai pembanding, penulis mengamati bahwa seorang pemulia pada universitas di negara maju serupa Canada dipercayai dana yang besar bagi pengembangan varietas pada suatu spesies tanaman hinga mampu membayar setiap pos pengeluaran dari tahun ke tahun. Tentu dengan usulan kerja (proposal) dan pelaporan perkembangan dan hasil kerja yang meyakinkan pada pemerintah atau pihak penyedia dana.

Pemuliaan Sebagai Tulang Punggung (Back bone) Pertanian 

Di Indonesia dewasa ini, pemuliaan tidak menjadi primadona dalam pengembangan pertanian.   

Pembicaraan terkait bidang pertanian, khususnya terkait kebijakan intensifikasi,  bagian terbesarnya berkisar pada perbaikan dan pengembangan sarana-prasarana, kepemilikan lahan petani yang sempit, distribusi pupuk bersupsidi yang sampai ke petani dalam harga tidak tersubsidi, sampai pada ditribusi benih bersubsidi ke tingkat petani.  Pada tanaman pangan tertentu, benih yang didistribusikan setengahnya berasal dari varietas import yang penampilan produksinya berada jauh dibawah potensi genetiknya karena iklim yang extrim maupun serangan hama penyakit, yang lainya merupakan hasil pengembangan dalam negri namun potensi genetiknya masih rendah.  

Pada komuditas lain, dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk menambahkan satu varietas baru kedalam daftar varietas yang telah ada.  Peningkatan produksi berbagai komuditas memenuhi kebutuhan dalam negri umumnya bertumpu pada kebijakan extensifikasi yakni melalui pembukaan lahan-lahan produksi yang baru selain juga kebijakan export-import komuditas pangan.

Di negara maju, pemuliaan memegang peranan penting dalam peningkatan produksi dan perbaikan kualitas berbagai komuditas tanaman. Pemuliaan terhadap komuditas seperti gandum, barley, jagung, kedele, kacang-kacangan, alfalfa, canola, rumput turf berlangsung secara terus menerus dibawah tanggung jawab seorang pemulia pada universitas, departemen pertanian atau pada perusahaan pemuliaan swasta. Daftar varietas berubah dari tahun ke tahun karena dihasilkannya varietas baru dengan keunggulan tertentu. 

Peran sentral pemuliaan dalam peningkatan produktivitas pangan di negara maju telah berlangsung selama lebih-kurang satu abad ketika dimulainya revolusi hijau.  

Kontribusi pemuliaan dalam kenaikan produktifitas jagung, misalnya, sejak revolusi hijau (Prof. Duane Falk, Lecture on plant breeding course, OAC, 1992), adalah kenaikan produktifitas rata-rata sebesar 7 persen per tahun hingga lebih dari setengah abad, kemudian terjadi penurunan laju peningkatan produksi menjadi sebesar rata-rata 1% per tahun, bagian terbesarnya, sebagai akibat dari menyempitnya keragaman genetik.  Tidak heran jika USA dan Kanada, selalu menjadi contoh negara dengan kemampuan berswasembada dan memiliki ketahanan pangan kuat (Lasa, 2006).  

Meskipun peningkatan produksi usaha tani, selain ditentukan oleh benih ber-genotipe superior, juga oleh input factor lainnya termasuk pengolahan tanah, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit dan sebagainya, namun optimalisasi input factor tersebut, dimaksudkan untuk mengexploitasi secara penuh potensi genetik yang dimiliki varietas yang ditanam serta mencegah produksi yang dihasilkan, dikonsumsi oleh makluk hidup/pihak lain selain manusia/petani, bahkan sebagaian dari peranan input factor tadi dapat dipenuhi melalui program pemuliaan tanaman termasuk misalnya, pemuliaan ketahanan terhadap hama dan penyakit, pemuliaan terhadap toleransi tanah masam, tanah berkadar garam tinggi, dan seterusnya,  dan dengan demikian pemuliaan sudah sepantasnya menjadi back bone dari polecy pertanian termasuk di Indonesia.

Bila negara maju secara terus menerus selama lebih dari satu abad telah mengexploitasi sumberdaya genetik dan tetap sustainable dalam peningkatan produksi tanaman maka negara  dengan potensi sumberya genetik tinggi untuk pertanian sebagaimana Indonesia tentu akan sustainable untuk tahun-tahun kedepan dengan melakukan hal yang sama.

Konservasi Sumberdaya Genetik Sebagai Tulang Punggung (Back Bone) Pemuliaan

Dalam keadaan dimana sumberdaya genetik masih tesedia melimpah atau adanya keragaman genetik yang tinggi dalam populasi alami suatu kultivar tanaman maka penggunaan metode pemuliaan sederhana seperti seleksi massa serta seleksi galur murni yakni seleksi secara langsung dalam populasi alami yang beragam dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penampilan populasi (melalui seleksi negatif membuang individu-individu inferior atau seleksi positif dengan menyeleksi individu-individu terbaik untuk dikultivasi pada generasi berikutnya pada seleksi massa) atau mengembangkan keturunan tanaman dari generasi ke generasi dari satu individu terseleksi pada seleksi galur murni, dapat diaplikasikan.

Ketika keragaman dalam kultivar darimana seleksi dilakukan, semakin menurun atau diperlukan sifat-sifat lain yang tidak tersedia dalam kultivar alami dimaksud maka pemulia akan melakukan persilangan-persilangan dan seleksi pada populasi bersegregasi menggunakan methode-methode seperti seleksi pedigri, penurunan satu biji, seleksi silang balik, seleksi populasi bulk dan seterusnya untuk menghasilkan varietas-varietas baru memenuhi tujuan-tujuan pemuliaan yang semakin kompleks.

Dalam memanfaatkan sumbedaya genetik, mencari gen-gen yang diperlukan untuk mengembangkan varietas baru sesuai tujuan pemuliaan yang dicanangkan, pertama-tama pemulia akan mencari pada kulttivar-kultivar lainnya dalam spesies yang sama pada wilayah yang sama dan dengan demikian persilangan dalam sepsies ini akan mudah dilakukan secara alami tanpa melalui berbagai modifikasi.  

Bila gen-gen yang diperlukan sulit atau tidak dapat ditemukan pada wilayah yang sama maka pemulia dapat mengintroduksi dari wilayah lainnya, kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam perbedaan waktu pembungaan misalnya dengan mengatur waktu penanaman, menggunakan penambahan fotoperiode ataupun memasukkan gen-gen yang tidak peka (insensitive) terhadap perubahan foroperiode agar waktu pembungaan dapat disamakan dan persilangan dapat dilakukan untuk menghasilkan keturunan yang fertil. 

Namun bila gen-gen yang diperlukan tidak dapat ditemukan atau sulit diperoleh pada varietas lain dalam spesies yang sama maka pemulia akan mengevaluasi kerabat-kerabat liar atau dari spesies yang berbeda untuk diintroduksi (disilangkan) kedalam populasi pemuliaan.  

Dalam hal ini kesulitan yang dihadapi adalah persilangan secara alami tidak dapat atau sukar berhasil atau akan diperoleh keturunan yang tidak fertil. Salah satu permasalahannya adalah embrio yang dihasilkan tidak dapat bertumbuh lebih lanjut karena endosperm yang tidak mampu menyediakan nutrisi  bagi perumbuhannya. 

Untuk ini pemulia akan mengupayakan teknik in vitro, penyelamatan embrio (embryo rescue) dengan mengkultivasi embrio pada media kultur bagi pertumbuhannya. Selanjutnya gen-gen yang diperlukan akan diupayakan dari genus yang berbeda atau dari famili, ordo sampai pada kingdom yang berbeda dengan konsekuensi bahwa persilangan secara alami tidak mungkin dilakukan. 

Dalam hal demikian pemulia akan memanfaatkan teknik rekayasa genetika, transfer gen dan menghasilkan organisma termodifikasi secara genetik (GMO).Dari pemahaman diatas dapat dilihat bahwa sumberdaya genetik, baik dalam spesies yang sama atau dari kerabat liar suatu varietas sangat berharga bagi pengembangan varietas baru dengan berbagai tujuan yang dicanangkan.  

Pemanfaatan plasma nutfah bagi penciptaan varietas baru berimplikasi pada sempitnya keragaman genetik pada populasi varietas dimaksud, yang pada akhirnya dapat memunculkan kekhawatiran akan adanya suatu plafon genetik (genetic ceiling) yang dapat memungkinkan peningkatan produksi lebih lanjut sulit terjadi atau adanya kepekaan terhadap hama dan penyakit serta faktor lingkungan lainnya. Kekhawatiran ini muncul  dari suatu survay yang dilakukan tahun 1979 pada tanaman jagung, dimana dari seluruh plasma nutfah jagung di USA bagian terbesar dari komposisi genetiknya (39% dan 42%) berasal dari hanya dua kultivar dan18% berasal dari kultivar lainya yang dikultivasi di USA.  

Namun kekhawatiran ini agak mereda melalui studi lebih detail yang menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang besar atau landasan genetik yang luas pada  kultivar-kultivar penyusun plasma nutfah di USA tadi (Stoskopf et al., 1993).

Pada kenyataanya, dewasa ini, kehilangan sumberdaya genetik terjadi dengan sangat pesat karena berbagai sebab, salah satunya adalah penanaman secara intensif varietas-varietas baru yang dikembangkan, mengabaikan kultivr-kultivar lokal atau ras-ras alami (land races).

Pentingnya sumberdaya genetik juga terlihat dari perhatian FAO membentuk International Institute for Plant Genetic Resources (IPGRI) yang berfungsi mengkoordinasi konservasi sumberdaya genetik dan penelitian tanaman-tanaman pangan penting di dunia melalui Pusat-Pusat Penelitian Internasional yang bertempat di berbagai negara di Dunia. Selebihnya koleksi sumberdaya genetik secara nasional pada tiap-tiap negara dilakukan pada bank-bank gen dengan berbagai methode dan teknik termasuk kebun koleksi, arboretum, kebun raya, koleksi biji, koleksi in-vitro serta kriopreservasi.

Amerika Serikat saat ini memiliki koleksi terbesar di dunia yakni sebanyak sekitar 450.000 aksesi tanaman dari 4474 spesies, tersimpan pada hampir seluruh negara bagian yang merupakan sistim plasma nutfah Amerika Serikat (US National Plant Germplasm System -- US NPGS), German memiliki koleksi sebesar lebih dari 151. 000 aksesi dari 3212 spesies dari 776 genus yang tadinya tersimpan pada dua bank gen namun kemudian disatukan pada bank gen Institut fuer Pflanzengenetik und Kultupflanzenforshung (IPK) Gatersleben dengan beberapa stasion luarnya, Inggris memiliki sekitar 178.000 aksesi dari sekitar 30.000 jenis tanaman yang bagian terbesarnya tersimpan pada Royal Bothanical Garden,  Jepang memiliki lebih dari 50.000 aksesi yang tadinya tersebar pada 15 bank gen, namun kemudain menyatu dalam 8 bank gen (Dr. Takao Niino, personal communication), dan seterusnya sebagian besar negara didunia memiliki bank gen tersendiri.

Plasma nutfah yang dikoleksi negara-negara maju tidak hanya yang berasal dari atau yang tersebar di wilayah negaranya tetapi juga dari negara lain khususnya negara berkembang. Jepang, misalnya mengoleksi plasma nutfah dari Malaysia, Thailand, Philipina dan Indonesia. Koleksi yang dilakukan sebelum tahun 1993 tentu akan menjadi milik negara pengoleksi sebagai konsekuensi dari konsensus konvensi biodiversitas Rio de Jenairo tahun 1992, karena terjadi sebelum hasil konvensi disepakati dan diratifikasi.

 Konvensi yang menghasilkan 42 artikel (keputusan) yang salah satunya adalah konservasi ex-situ (konservasi diluar habitat asli dari organisma) itu menyepakati, salah satunya, bahwa biodiversitas yang ada pada wilayah suatu negara menjadi kekuasaan (sovereignty) dari negara dimaksud. Pertukaran sumberdaya genetik dapat dilakukan secara bebas bea (free exchange) namun harus disertai persetujuan pemindahan materi (Material Transfer Agreement-MTA).

Bertolak dari kenyataan bahwa sebelum kesepakatan tahun 1992,  plasma nutfah dimanapun bertumbuh dan berkembang merupakan milik dunia dan dengan demikian negara manapun dapat mengoleksi dan memilikinya, kemudian kesepakatan Rio de Jenaioro 1992 bahwa penguasaan terhadap pasma nutfah ada pada negara tempatnya bertumbuh dan berkembang dengan pertukaran secara bebas bea menggunakan persetujuan pemindahan materi untuk menjamin hak-hak pembagian keuntungan secara adil (benefit sharing) dalam pemanfaatannya lebih lanjut, dapat diduga bahwa dimasa mendatang dengan semakin sulitnya memperoleh plasma nutfah, pertukaran plasma nutfah tidak lagi bebas bea tetapi dengan harga yang akan ditentukan kemudian. 

Dalam hal ini bila koleksi di negara berkembang termasuk Indonesia, tidak dilakukan dengan baik, maka Indonesia akan membeli plasma nutfah yang tadinya milik negara Indonesia dari negara Jepang.  

Koleksi plasma nutfah Indonesia terpusat pada Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumbedaya Genetik Tanaman (BBBiogen) Bogor dengan koleksi kerja yang tersebar pada berbagai institusi penelitian dan universitas.  Namun berapa jumlah aksesi yang dikoleksi, bagaimana fasilitas koleksi dan kondisi koleksi, methode dan teknik koleksi yang digunakan, rencana pengembangan kedepan serta koordinasi diantara berbagai institutsi yang mengoleksi, menurut penulis, perlu di ketahui oleh seluruh pemangku kepentingan.  

Lembaga konservasi di daerah-daerah propinsi di Indonesia juga perlu di bentuk dan dikoordinasikan tugas-tugas pokoknya agar pemanfaatan sumberdaya genetik yang sangat bernilai ini, bagi pengembangan varietas-varietas baru secara sustainable dapat diefektifkan. 

Suatu kendala dalam upaya koleksi dan konservasi sumberdaya genetik di Indonesia adalah mind set beberapa kolega yang masih bertumpu pada keuntungan langsung, dalam waktu singkat dari kegiatan dimaksud. Pada kenyataanya, kegiatan koleksi dan konservasi merupakan investasi masa depan yang dalam pandangan seorang ilmuan bank gen "biaya yang dibutuhkan dimasa depan untuk mendapatkan sumberdaya genetik yang dibutuhkan akan jauh lebih mahal dari biaya yang diperlukan untuk mengoleksi dan mengkonservasi sumberdaya genetik dimaksud saat ini".

Beberapa Diskusi Spesifik

Dalam diskusi paralel, penulis berada dalam kelompok "Tanaman Pangan-2", menampilkan sejumlah pembicara yang sebagian daripadanya membahas pemuliaan kedele.  

Beberapa fakta yang terungkap dalam sedikitnya empat pembicara dan diskusi tentang pemuliaan kedele adalah pertama terdapat koorelasi negatif antara kandungan protein dan kandungan minyak pada kedele, artinya bahwa bila pemuliaan diarahkan untuk peningkatan konsentrasi protein maka pada varietas yang sama akan diperoleh kandungan minyak yang rendah, dan sebaliknya. Kedua bahwa ukuran biji (ditentukan melalui berat 100 biji) adalah rendah sampai sedang yang berakibat produksi yang rendah sampai sedang (relatif terhadap kedele dari manca negara). 

 Ketiga bahwa dalam membicarakan kualitas tempe/tahu yang dihasilkan dari kedele, dalam kasus tertentu terdapat aroma ataupun rasa tertentu yang merupakan akibat dari kualitas kedele yang mengandung minyak. Menanggapi permasalahan yang mengemuka, penulis mencoba melakukan pembandingan terhadap pemahaman yang didapatkan di manca negara. Memang, seingat penulis, sudah diterima secara tetap (well established/well documented) dari berbagai penelitian di Canada dan USA bahwa ada koorelasi negatif antara dua sifat yang di bicarakan (kandungan minyak dan protein) pada kedele. 

Penjelasan teoritis secara genetik untuk kondisi ini adalah terdapat salah satu dari dua kemungkinan yakni pleitropi atau pautan yang sangat erat (tight linkage).  Pleitropi menjelaskan adanya satu gen yang mengendalikan dua sifat secara bersamaan. Dengan kata lain satu gen (seutas DNA yang dibatasi kodon awal dan kodon akhir) memiliki sejumlah kodon (pasangan tiga basa DNA) yang menyandikan asam amino tertentu untuk membentuk ikatan polipeptida (protein atau enzim tertentu) yang bertanggungjawab mensintesis protein tinggi dan minyak rendah atau minyak tinggi dan protein rendah secara bersama-sama. 

Terpaut erat (tight linkage) menjelaskan bahwa gen pengendali protein tinggi dan minyak rendah atau protein rendah dan minyak tinggi berada pada kromosom yang sama dan berdempetan sangat dekat sehingga selalu akan berpindah bersama-sama ke kutup yang sama dalam segregasi berdasarkan hukum Mendel. P

ada kondisi terpaut erat, meskipun memiliki peluang sangat kecil, mungkin dapat dipisahkan (kedua sifat yang terpaut) melalui persilangan dan segregasi dimana ada kemungkinan terjadinya pindah silang (crossing over) yang mematahkan pautan yang terjadi, memisahkan kedua sifat dan menyatukan sifat protein tinggi dan minyak tinggi serta protein rendah dan minyak rendah. Pada kondisi pleitropi tidak dapat diupayakan pemisahannya melalui program persilangan. Mungkin melalui study biokimia, kondisi pleitropi dapat dipahami.

Seingat penulis, kedele yang dikembangkan di negara maju sebagaimana disebutkan, diarahkan untuk di peras (crash) bagi kandungan minyaknya, dan sisanya dengan kandungan protein rendah di jadikan makanan ternak, tentu dengan menambah asupan protein dari sumber lain.  Kedele yang dikembangkan untuk kandungan minyaknya atau kedele dari manca negara (sebagaimana sekitar 30 galur pemuliaan dan varietas yang dibawa kembali oleh penulis) memiliki ukuran biji yang besar.  Kedele di Indonesia, dilain pihak, sesuai data yang ditampilkan, telah dikembangkan untuk kebutuhan pembuatan tempe, tahu atau kebutuhan kandungan protein yang tinggi, memiliki ukuran biji kecil hingga sedang. 

 Ukuran biji, selain jumlah biji, merupakan parameter produksi yang sangat dekat dengan produksi dan dengan demikian kedele Indonesia yang dikembangkan untuk keperluan kandungan protein yang tinggi, yang berbiji kecil akan memberikan penampilan produksi rendah.  Pendekatan pemuliaan tanaman untuk meningkatkan produksi kedele di Indonesia mungkin lebih logis melalui peningkatan jumlah biji per tanaman.

Akan halnya masalah rasa atau bau yang pada kedele Indonesia meskipun dirasakan, tidak telalu mencolok (sebagaimana juga di sampaikan pemulia kedele lain dalam diskusi), pada pengamatan penulis agak mencolok pada minyak kedele yang di konsumsi di manca negara, saat itu sekitar awal tahun 1990-an.

Penjelasan untuk ini terdapat pada kandungan asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid) atau asam lemak berantai ganda yang terkandung dalam minyak kedele seperti asam linoleat (linoleate fatty acid) dan aslam linolenat (linolenate fatty acid). Bila minyak dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu maka rantai ganda asam lemak akan terputus dan menimbulkan reaksi berantai yang pada akhirnya memunculkan rasa dan bau yang tidak menyenangkan (mungkin melalui program pemuliaan, kandungan asam lemak dimaksud telah diturunkan).

Implikasi dari presentasi, diskusi dan penjelasan diatas adalah bahwa dalam mengembangkan varietas unggul kedele bagi kebutuhan dalam negri yang mengutamakan kandungan protein yang tinggi bagi kebutuhan tempe dan tahu, pemanfaatan plasma nutfah (sumberdaya genetik) dari manca negara (sebagaimana kedele yang dikembangkan di USA dan Canada) akan kurang menguntungkan karena kandungan protein yang rendah dan kualitas (rasa dan bau) yang kurang baik.

Prof. Dr. Sobir dari IPB Bogor, sebagai pembicara utama membawakan materi "Strategi Pemuliaan Tanaman Hortikultura Berkelanjutan dalam Mewujudkan Keunggulan Kompetitif di Tingkat Nasional dan Internasional". Dalam presentasi Prof. Sobir disinggung prosedur pemeriksaan varietas baru sebelum dimasukkan dalam daftar varietas yang direkomendasikan. 

Sebagai seorang yang tidak banyak berkecimpung dalam pemuliaan praktis di Indonesia, penulis menanyakan apakah konsep yang dibicarakan merupakan suatu usulan ataukah suatu prsedur yang telah dijalankan.  Pertanyaan penulis berkaitan dengan publikasi daftar varietas baru yang jarang diterbitkan, serta upaya menyediakan infra struktur bagi efektifitas pelaksanaan pemuliaan.

Pengalaman di Negara maju khususnya untuk tanaman pangan, pemeriksaan ini dilakukan oleh seed grower association (perhimpunan penangkar benih) sebuah badan yang beranggotakan pemulia, akademisi, petani, serta pemulia swasta,  yang pada stadia tertentu berkeliling mengunjungi lokasi-lokasi pengujian dan memeriksa beberapa karakter tertentu, memeriksa/menganalisis data produksi kemudian memutuskan apakah varietas tertentu pantas direkomendasikan. 

Daftar varietas yang direkomendasikan untuk wilayah tertentu, kemudian dipublikasikan bagi semua pemangku kepentingan. Dalam publikasi disertakan juga data produksi selama tiga tahun pengujian, yang minimal melampaui varietas pembanding dalam tahun/musim tertentu, tidak harus melampaui secara statistika.  Badan ini mungkin juga mengelola lisensi perbanyakan benih setelah direkomendasikan.

Beberapa badan lain yang, menurut penulis menjadi bagian dari infra struktur pemuliaan termasuk lembaga Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), perangkat lebaga peradilan yang memungkinkan adanya penyelesaian perkara yang berkaitan dengan hak-hak pemulia, hak-hak masyarakat tradisional dll, lembaga konservasi sumberdaya genetik, lembaga-lembaga negri dan swasta yang dapat diberi lisensi memperbanyak benih, selain program pemuliaan di berbagai lembaga dengan spesifikasi tanaman tertentu yang ditangani pemulia tertentu dengan stasiun-stasiun pengujian/penelitian dan kerjasama pengujian di berbagai lokasi dengan petani/kelompok tani, lembaga pemerintah maupun perusahaan swasta.  

Sebenarnya semua komponen infra struktur pemuliaan yang disebutkan diatas telah tersedia di Indonesia, meskipun peranannya, sepertinya belum maksimal, misalnya saja diketahui dari media massa bahwa pimpinan Asosiasi Penangkar Benih Indonesia terlibat dalam masalah hukum berkaitan dengan tugas-tugas badan dimaksud.  Yang memprihatinkan juga adalah lembaga-lembaga dimaksud pada sebagian besar daerah propinsi sama sekali tidak tersedia.  

Untuk menghasilkan varietas-varietas unggul sesuai kondisi dan kebutuhan daerah maka dibutuhkan lembaga-lembaga pemuliaan yang mencanangkan tujuan-tujuan pemuliaan sesuai kebutuhan daerah, diperlukan asosiasi penangkar benih daerah, diperlukan lembaga konservasi sumberdaya genetik yang mengoleksi kekayaan sumberdaya genetik daerah, tentu duplikatnya perlu dikirimkan ke pusat sebagai cadangan kalau-kalau terjadi kehilangan, diperlukan pula PVT daerah yang merupakan cabang dari PVT pusat, lembaga-lembaga untuk diberi lisensi dan lainnya.  

Pembicara utama lainnya dari PT Sampoerna Agro Tbk, Dr. Dwi Asmono menyampaikan materi berjudul "Strategi Pemuliaan dalam Mewujudkan Kemandirian Benih Perkebunan secara Berkelanjutan". Bagian dari materi yang berkaitan dengan pengembangan kelapa sawit pada perusahaan dimana Dr. Dwi Asmono bekerja, dijelaskan adanya introduksi plasma nutfah dari berbagai negara bagi pengembangan kelapa sawit yang lebih superior.  Masalah yang dihadapi adalah dibutuhkan lahan yang luas untuk mengoleksi semua sumberdaya genetik yang dimiliki karena harus dikoleksi dalam bentuk koleksi lapang. Hal ini tentu merupakan suatu inefisiensi dalam penggunaan lahan selain konsekuensi lain yang mungkin dapat terjadi pada sumberdaya genetik dimaksud yang tentu sangat bernilai.  

Koleksi secara konvensional menggunakan biji untuk tanaman kelapa sawit tidak mungkin dilakukan karena memiliki biji rekalsitran (bukan biji orthodoks sebagaimana padi, jagung, kedele dll.) yakni biji yang tidak dapat dikeringkan dan disimpan pada suhu rendah atau dengan pengeringan dan penyimpanan pada suhu rendah akan mematikan viabilitas biji. Pilihan lain adalah melakukan koleksi in-vitro. 

Koleksi secara kultur jaringan ini memungkinkan perusahaan tidak harus menggunakan lahan yang luas untuk mengoleksi serta dapat mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan koleksi lapang. Dengan memiliki ketrampilan praktis dalam hal mengintroduksi ke kultur in-vitro, melakukan sub-kultur secara berkala, serta aklimatisasi pada rumah kaca dan akhirnya penanaman lapang, koleksi secara in vitro  dapat bermanfaat untuk kebutuhan jangka pendek dan menengah.  

Biaya koleksi yang mungkin agak tinggi dapat dikurangi dengan usaha memperpanjang periode sub-kultur (hingga dua tahun misalnya)  menggunakan penambahan sat kimia tertentu (mannitol, sorbitol), penambahan media kultur atau penggunaan tabung kultur yang lebih besar dan lainnya.  Untuk koleksi jangka panjang dan menegah, penulis menawarkan pada Dr. Asmono, pemanfaatan teknik yang baru berkembang, kriopreservasi. Setelah menguasai prosedur sirkulasi pada kultur jaringan maka penggunaan teknik kriopreservasi akan lebih di fasilitasi. 

 Teknik kriopreservasi melibatkan konservasi pada tabung-tabung penampung (container) berisi nitrogen cair yang masing-masing dapat memuat ribuan aksesi (materi genetik yang dikoleksi), tergantung kapasitas tabung, dan tidak perlu di-sub kultur hingga periode tak terhingga. Kriopreservasi dengan demikian, merupakan teknik konservasi yang efisien dari segi luas areal dan ekonomis.

Sebagai teknik konservasi yang baru berkembang, pemahaman tentang kripreservasi memang belum menyebar luas di Indonesia dan penelitian-penelitian pengembangan protokol kriopreservasi belum banyak dilakukan. Namun pemahaman telah ada dan penelitian-penelitian pendahuluan telah dilakukan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Biodiversitas serta keahlian (seorang lulusan S3 dari IPB Bogor dengan pengalaman luar negri pada beberapa negara) dan penelitian pengembangan protokol juga telah dilakukan pada BBBiogen, Bogor.

 Selebihnya minat mahasiswa S2 IPB Bogor untuk melakukan penelitian dalam bidang kriopreservasi, penulis temui dalam diskusi informal ketika berlangsungnya Seminar Nasional PERIPI.

Pengembangan protokol kriopresevasi (dengan asumsi bahwa prosedur kultur in-vitro telah rutin diaplikasikan) untuk kelapa sawit dapat diprakarsai oleh perusahaan PT Sampoerna Agro Tbk., dapat juga didahului dengan suatu loka-karya memperkenalkan metode/teknik ini pada karyawan PT Sampoerno Agro Tbk.  Meskipun usulan penulis mendapat tanggapan beragam dari Dr. Dwi Asmono sendiri, Prof. Dr. Kusumo Diwyanto dan Dr. Sugiono Mulyopawiro, bagaimanapun tetap merupakan suatu usulan bagi upaya konservasi sumberdaya genetik di Indonesia yang kaya akan biodiversitas khususnya yang berbiji rekalsitran, semi-rekalsitran dan berbiak vegetatif.

Referensi

Lasa, Y. 2006.  Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005.

Stoskopf N. C., Tomes D. T. and Chriestie B. R. (1993). Plant Breeding: Theory and Practice. Westview Press. Inc. Boulder. ISBN 0-8133-1764-9.

Senayan City, Jakarta, Maret 2013

Publikasi kedua, Seminyak-Kuta Bali April, 2022.

Selamat Paskah

Selamat menjalankan Ibadah Puasa

Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun