Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Portal

29 Januari 2017   18:19 Diperbarui: 29 Januari 2017   18:39 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana lengang sejenak, said tak bisa berkata apa-apa lagi. Di hadapannya duduk seorang pemuda yang sangat berani melawan penjajah, perampas tanah kelahirannya. Ia tak sedikitpun setara dengannya. Salat berjamaah di masjid saja ia sering lalai apatahlagi panggilan jihad. Ia merasa malu.

“Allahu Akbar… Saya berteriak lantang di hadapan mereka. Moncong meriam itu tak bergeser seinci pun. Matahari sudah mulai bergerak, cahayanya mulai menyinari dengan lembut. Beberapa pemuda di belakang saya turut maju menghadang tank, para wanita dan anak kecil masuk ke dalam rumah.”

“Ibu saya masih melihat dari atas jendela rumah, sekali lagi ia meneriakkan takbir lalu berkata, Fatahillah jemputlah surgamu! Mendengar teriakan ibu untuk kedua kalinya tak setitik pun rasa takut di hati saya. Semenit kemudian, tangan saya bersiap melempar batu ke salah satu tentara di belakang tank, saya membidik dengan seksama, lalu saya lemparkan sekuat tenaga. Batu itu mengenai wajahnya, darahnya bercucuran di tanah. Saya tersenyum puas.”

“Benarkah kau mengenai salah satu tentara?”

“Yah, tentu saja saya mengenainya, Said. Tak butuh waktu lama, moncong meriam tank itu bersiap menembak diikuti tentara di belakangnya, membidik sasaran. Angin berhembus kencang, debu-debu beterbangan di sana-sini. Komandan mereka memberikan perintah tegas, TEMBAK!”

Pemuda itu mengehela napas sejenak, Said mengelus tangannya. Tak terasa bulu kuduknya berdiri. Cerita tamunya membuatnya merinding ketakutan. Di usia yang masih tergolong muda, pemuda itu berani melawan tentara bersenjata lengkap.

“Kau pasti sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya, Said?”

Said terdiam. Ia hanya menggeleng beberapa kali.

“Hahaha… Kau betul-betul tak tahu atau pura-pura tak mau tahu kelanjutannya cerita saya?”

Hening. Hembusan angin malam memasuki sela-sela jendela, memecah kebisuan mereka beberapa detik.

“Baiklah, akan saya ceritakan, Said. Seperti yang telah kau duga, salah satu tentara membidik saya dengan tepat dengan sekali tembak peluru itu menembus kepala saya. Kesadaran saya menguap ke angkasa. Saya terjatuh ke tanah, darah membanjiri tanah. Mata saya terasa berat, namun saya berusaha menatap sekali lagi ibu saya di atas jendela rumah. Susah payah mata saya menemukan sosoknya, di atas sana ia menangis tersedu. Samar-samar saya mendengar lagi teriakannya… ALLAHU AKBAR!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun