Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Portal

29 Januari 2017   18:19 Diperbarui: 29 Januari 2017   18:39 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Apakah bangunan yang kau maksud itu adalah masjid?” Tanya Said penasaran.

“Iya,” pemuda itu menatap Said dengan sendu. “Di dunia saya, masjid adalah sasaran empuk para penjajah. Mereka menganggap masjid adalah tempat menyusun strategi untuk melawan mereka. Padahal kami hanya melakukan ibadah di masjid, tak ada tujuan lain. Tiap hari, bukan, tiap jam, banyak wanita yang kehilangan suami atau anak kesayangannya. Ratapan menyelimuti tiap sudut dinding rumah, seakan tak ada seinci pun kebebasan untuk kami.”

Di dinding kamar, portal itu masih terbuka lebar. Di dalam sana tak terlihat perang dan darah walau setetes, yang ada hanya bintang gemintang serta planet yang bersinar terang. Tapi mengapa pemuda ini bercerita tentang perang?

“Setelah saya menelisik sekitar, ternyata bom yang menghantam masjid di samping rumah saya berasal dari pesawat tempur yang terbang di atas kota kami, mencari sasaran selanjutnya. Kami tak punya senjata untuk bisa menjatuhkan pesawat tempur secanggih itu. Seketika, gema takbir membahana, naluri jihad dalam hati saya membuncah. Dari atas, di jendela rumah saya, ibu meneriaki saya dengan lantang, Fatahillah kuikhlaskan kau menjadi malaikat hari ini… pergi nak, jemput surgamu!”

“Tak berapa lama, sekompi pasukan bersenjata lengkap menghampiri rumah saya, di belakang mereka satu tank perang siap menghadang kami yang berniat melawan. Moncong meriamnya tak mengenal anak kecil, wanita atau orang tua sekalipun. Siapa yang berani maju maka bersiaplah menghembuskan napas terakhir.”

Said lagi-lagi hanya bisa terdiam, ia tersadar betapa manjanya ia saat ini. Di dunianya yang penuh dengan kedamaian tak pernah sekalipun ia melihat tank perang apalagi mendengar dentuman bom dari pesawat tempur. Ia hanya bisa menatap penuh belas kasihan kepada tamu di depannya. Dalam hati ia berbisik perlahan, kau memang berasal dari dunia para malaikat. Maafkan saya yang tak pernah sedikitpun membantu dan mendoakan kalian.

“Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya, Said?”

Said menggeleng, wajahnya terlihat pucat. Ia tak ingin membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.

“Saya memperhatikan sekeliling, mencari ‘senjata’ seadanya, di samping saya, dua langkah dari tempat saya berdiri ada batu sebesar genggaman tangan kecil saya. Kuraih batu itu kemudian dengan langkah pasti menghadang sekompi tentara bersenjata lengkap. Sesuai dugaan, tank itu berjalan perlahan mendekati saya sedang para tentara berlindung di belakang tank. Semenit kemudian, moncong meriam tank itu tepat berada satu meter di depan wajah saya.”

“Apakah kau tidak takut sedikitpun?” Said memotong cerita tamunya.

“Tentu saja saya takut, tapi di dalam hati, saya percaya janji surga bagi para mujahidin itu pasti. Ketakutan saya berganti rindu akan surgaNya…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun