Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Portal

29 Januari 2017   18:19 Diperbarui: 29 Januari 2017   18:39 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manamungkin Said bosan dengan cerita tamunya, momen ini adalah momen yang sudah dinantikannya sejak lima tahun belakangan, sejak ia tahu, di kamarnya ada portal penghubung dengan dunia lain. Detik ini di hadapanya duduk seorang pemuda yang berasal dari portal itu.

“Dunia saya berbeda jauh dengan duniamu, Said. Sangat berbeda. Hampir tiap hari kami harus kehilangan orang yang kami sayangi. Nyawa tak punya label harga, sangat murah, bahkan tak berharga sedikitpun.”  

Said tak berkedip, ia fokus mendengarkan cerita tamunya.

“Kami tak tahu harus ke mana, yang kami tahu, bila kami pergi ke tempat lain maka seluruh tanah kelahiran kami akan dirampas oleh penjajah yang tak pernah puas merampok harta benda,  tanah, nyawa, saudara bahkan kebebasan kami. Mereka merampasnya, tak tersisa walau hanya secuil.”

“Bukankah di dunia malaikat tak ada lagi perang?”

“hahaha…perang ada di mana saja, Said. Termasuk di dunia saya, yang konon menurut sebagian besar manusia dunia saya adalah dunia para malaikat dilahirkan.”

Suasana hening sejenak, Said tak habis pikir mengapa dunia yang menjadi tempat dilahirkannya para malaikat masih terjadi perang. Ia tak langsung percaya dengan tamu dihadapannya.

Mungkin saja pemuda di depannya bukan dari portal para malaikat tapi berasal dari portal yang dipenuhi dengan perang dan perang.Pikir Said dalam hatinya, ia terlihat kecewa. Wajahnya tak lagi semringah seperti delapan menit yang lalu.

“Tak usah kecewa, Said. Para malaikat tak mungkin lahir di dunia yang damai, mereka lahir dari janin keikhlasan dan tentusaja di kandung oleh ibu pengorbanan.”

Said tertunduk menatap lantai kamarnya.

“Pernah suatu ketika, sang fajar masih malu-malu menampakkan senyumnya di ufuk timur, dentuman keras menghantam bangunan di samping rumah kami. Saya terperanjak dari renungan pagi itu. Dengan cepat saya menutup Al Qur’an di tangan saya kemudian menuju halaman rumah. Sesampainya di sana, api sudah memberangus bangunan suci dan kebanggaan kami. Beberapa orang terlihat menangis di samping bangunan, dari dalam bangunan itu keluar beberapa orang laki-laki dengan api di sekujur tubuhnya. Mereka mencari pertolongan.” Pemuda itu terdiam sejenak sambil menghapus air dari matanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun