Mohon tunggu...
Selvyana Nandini
Selvyana Nandini Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta/Fakultas Syariah/HKI

Saya adalah pribadi yang suka mencoba hal hal baru serta menarik untuk dicobašŸ¤©

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

12 Maret 2024   23:42 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:42 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Book Review
Judul : Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Penerbit : Lembaga Ladang Kata
Tahun Terbit : Desember 2015
Cetakan : Ke-1

Latar Belakang

Hukum Islam telah termanifestasikan sebagai produk hukum di berbagai negara di dunia salahsatunya adalah di Indonesia. Atho' Mudzar mengatakan
terdapat empat macam produk hukum Islam yang telah berkembang dan dikenal dalam sejarah hukum Islam, yaitu : kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan, peraturan perundang-undangan di negeri-negeri muslim.'
Beberapa negara yang mengadopsi hukum Islam sebagai hukum yang berlaku, terdapat tiga kategori negara berdasarkan hukum keluarga yang diterapkan. Yaitu negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional*, yang menerapkan hukum keluarga secara sekuler, dan negara yang menerapkan hukum keluarga yang direformasi.
Negara yang termasuk menerapkan hukum keluarga secara tradisional adalah Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigera, Sinegal, dan Somalia. Negara yang termasuk menerapkan hukum keluarga secara sekuler adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas penduduk muslim Philipina. Sedangkan negara yang menerapkan hukum keluarga yang direformasi adalah diterapkan pertama kali oleh Turki, Libanon, Tunisia, Mesir, Indonesia, Malaysia, Brunei*.
Termasuk hal yang menjadi persoalan' di dunia muslim mulai dari periode klasik hingga kontemporer saat ini, salah yaitu tentang bagaimana Islam sebagai agama yang bersifat universal dapat merespon berbagai macam persoalan yang menyangkut hukum keluarga (al-Ahwal al-Shakhsiyah) yang terdapat di banyak komunitas muslim yang tersebar di dunia."
Salah satu dari sekian banyak permasalahan tersebut yaitu mengenai batas minimal usia menikah yang diberlakukan di tiap negara yang berbeda-beda.
Meskipun pada dasarnya asas yang diterapkan dalam undang-undang perkawinan adalah asas ematangan dan kedewasaan calon mempelai, tetap saja undang-undang perkawinan di dunia Islam berbeda dalam menentukan ambang batas usia perkawinan.' Di tujuh belas negara undang-undang perkawinan memiliki batas umur terendah untuk kawin bagi laki-laki dan perempuan sebagai berikut.
Algeria 21 dan 18 tahun, Bangladesh 21 dan 18 tahun, Mesir 18 dan 16 tahun, Irak 18 dan 18 tahun, Yordania 16 dan 15 tahun Libann 18 dan 17 tahun, Libya 18 dan 16 tahun Malaysia 18 dan 16 tahu, Maroko 18 dan 15 tahun, Yaman Utara 15 dan 15 tahun, Pakistan 18 dan 16 tahun, Somalia 18 dan 18 tahun, Yaman Selatan 18 dan 16 tahun, Syria 18 dan 17 tahun, Tunisia 19 dan 17 tahun, dan Turki 17 dan 15 tahun.*
Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974% yang menyatakan perkawinan dapat dilakukan apabila pihak pria telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 19 tahun tidak terlalu tinggi sebagaimana yang berlaku di Algeria atau terlalu rendah seperti yang diberlakukan di Yaman Utara.
Sedangkan di Malaysia yang merupakan negara federal sampai sekarang belum mempunyai undang-undang hukum keluarga yang berlaku secara nasional.' Akan tetapi dalam undang-undang negara bagian Malaysia secara keseluruhan menyebutkan bahwa batasan minimal usia perkawinan laki-laki adalah 18 tahun dan batasan minimal usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun. Salah satunya yang tertuang pada Enakmen Negeri Sabah pada bagian II seksyen 8. Seksyen 8 menyatakan:
"Tiada suatu perkawinan boleh diakadnikahkan di bawah Akta ini jika lelaki itu berumur kurang daripada lapan belas tahun atau perempuan itu berumur kurang daripada enam belas tahun kecuali jika hakik syarie telah memberi kebenarannya secara tertulis dalam hal keadaan tertentu"
Berbeda lagi yang di berlakukan di Negara Brunei Darussalam, jika di Malaysia tiap negara bagian memiliki Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam yang berbeda-beda sesuai negara bagian, Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Brunei Darussalam berbeda berdasarkan etnis dan agama. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam (Islamic Family Law) tertuang pada Laws of Brunei Bab 217 tidak secara jelas memuat tentang batas minimal usia nikah, akan tetapi terdapat di beberapa Pasal yang mengatakan bahwa menghalang perkawian laki-laki yang telah mencapai usia 18 tahun dan perempuan yang telah mencapai 16 tahun merupakan suatu pelanggaran terhadap undang-undang dengan ancaman denda maksimal dua ribu dolar, penjara maksimal enam bulan atau keduanya.
Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam banyak memiliki kesamaan, ketiga negara tersebut juga dapat dikatakan berada dalam satu lingkup teritori.
Kesamaan ketiga negara tersebut ialah sama-sama merupakan negara dengan mayotitas penduduknya adalah beragama Islam, dengan mayoritas paham agama yang sama pula yaitu mazhab Syafi'i, dengan bahasa pemersatu yaitu Bahasa Melayu yang sejak dahulu sudah dipergunakan sebagai bahasa penghubung (lingua franca) di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Berdasarkan data diatas, peneliti menyimpulkan bahwa ketiga Negara di atas yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, adalah negara yang dalam penerapan hukum keluarganya berbentuk hukum keluarga yang direformasi. Ketiga Negara tersebut memiliki kesamaan mengenai batas minimal usia menikah. Negara tersebut juga negara Islam walaupun Indonesia tidak mengakui sebagai negara muslim pada kenyataannya Indonesia merupakan negara yang berkependudukan muslim terbesar di dunia. Yang menjadi persoalan adalah mengapa ketiga negara tersebut menetapkan batas minimal usia menikah yang berbeda, padahal banyak kesamaan antara ketiga negara tersebut.
Oleh sebab itu hukum keluarga Islam di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang menganut penerapan berupa reformasi hukum Islam hendaknya dilaksanakan sejalan dengan apa yang menjadi tujuan hukum Islam itu sendiri yaitu memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, dan hendaknya didasarkan kepada maslahah yang sejalan dengan prinsip-prinsip magoshid al-shari'ah dan sesuai dengan tujuan-tujuan hukum dalam sistem hukum.Ā 

Dengan harapan reformasi hukum keluarga Islam yang mendapat legislasi dari pihak yang berwenang ini dapat menciptakan ketentraman, kedamaian dalam kehidupan masyarakat Islam dan masyarakat luas pada umumnya. Berdasarkan problem akademik yang penulis sampaikan di atas, maka penulis menilai penting untuk meneliti peraturan batas usia perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam dalam prespektif maslahah mursalah dan politik hukumnya.

Bab I
Hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengamalan agama yang amat penting dalam kehidupan umat Islam. Hukum Islam di Indonesia termanifestasikan dalam bentuk produk hukum. Setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam yang disebutkan Atho' Mudzar, telah berkembang dan dikenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu: kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim.Ā 

Masing-masing produk pemikiran ini memiliki ciri khas tersendiri. 3 Dalam konteks keindonesian, hukum Islam dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam empat produk pemikiran hukum yakni fikih, fatwa, keputusan poengadilan dan undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam Indonesia.24 Dengan demikian, fatwa merupakan bahagian dari hukum Islam.
Sedangkan hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan.25 Menurut Prof Subekti, "Hukum keluarga ialah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.26
Ā  Ā  Berdasarkan beberapa konsep teoritis yang dikemukakan maka dibutuhkan alur pikir dalam menyelesaikan permasalahan dalam studi ini. Sebagaimana diketahui, Cik Hasan Bisri telah merumuskan model kerangka berpikir dalam penelitian fatwa organisasi kemasyarakatan. Dengan mendasarkan pada tiga hasil penelitian tentang fatwa keagamaan, ia menyimpulkan bahwa ketiga penelitian tersebut berpangkal dari kerangka berpikir makro yang sama.Ā 

Kerangka pikir tersebut terdiri atas sembilan komponen, yaitu: (1) sumber hukum (madir akm); (2) determinasi perubahan; (3) cara berpikir yang digunakan; (4) metode istinb al-akm; (5) produk pemikiran fuqaha sebagaimana tersebar dalam berbagai kitab fikih dan mencerminkan aliran pemikiran; (6) orientasi organisasi yang memiliki hirarki secara nasional, (7) perubahan sosial yang mencakup struktur sosial dan pola budaya masyarakat; (8) dan (9) produk fatwa organisasi yang menjadi fokus penelitian.83
Ā  Ā Dengan berdasarkan model kerangka fikir tersebut maka dalam tulisan ini akan diformulasikan alur fikir dalam penelitian ini sebagaimana berikut ini:

Skema di atas menunjukkan bahwa fatwa MUI mengenai hukum perkawinan menjadi fokus dengan menganalisis tidak hanya dari aspek sumber-sumber dan metodologi yang digunakan sebagaimana yang tampak pada prosedur penetapan fatwa dan madir akm yang digunakan komisi fatwa tetapi juga menelaah aspek pembaruan dari segi usul fikih dan fikihnya dengan berlandaskan pada teori perubahan hukum dari Ibnul Qayyim.

Bab II
A.Batas-batas Pembaruan Hukum
1. Pengertian Pembaruan
Istilah pembaruan sering dipadankan dengan kata modern. Kata ini banyak digunakan dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Banyak pengkaji Islam menggunakan istilah modern.1 Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.2 Kata modernisme dianggap mengandung arti negatif di samping positif, sehingga digunakan istilah pembaruan.3
2. Pembaruan dalam Islam
Pembaruan dalam Islam memiliki tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern. Dalam tradisi ilmu ushul fiqh, konsep pembaruan banyak dikaitkan pada persolan hukum yang bersifat qa' dan ann.5 Keqa'an sebuah nas dapat dilihat dari 2 aspek; Pertama, qa' al- ubt atau al-wurd Kedua, qa' al-dallah.
3.Pembaruan Hukum Islam
Menurut Abdul Mannan, pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid), melalui cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat hukum, agar hukum Islam dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.13 Pentingnya melakukan pembaruan hukum dikarenakan perubahan sosial-budaya yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kemajuan tersebut telah melahirkan permasalahan-permasalahan baru dalam hukum.
B.Pembaruan Hukum Keluarga Islam
Dilihat dari sejarahnya, awal mula pembaruan hukum kelurga baru tampak pada awal abad ke-20. Meskipun gerakan pembaruan dalam Islam secara luas sudah dimulai pada abad ke-14 Masehi di Kerajaan Usmani akan tetapi, gerakan ini baru terjadi dalam bidang kebudayaan dan kemiliteran, dan belum tersentuh dalam bidang hukum Islam\ karena pembaruan di kerajaan Usmani waktu itu tidak dipelopori oleh para ulama.Ā 

Ide-ide pembaruan termasuk pembaruan hukum Islam semakin mempengaruhi dunia Islam termasuk Indonesia setelah munculnya tokoh-tokoh pembaru ternama seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan lain-lain.26 Sejak muncul pembaru tersebut, pembaruan hukum Islam tidak hanya pada wilayah hukum-hukum muamalah tetapi juga dalam wilayah hukum lain termasuk hukum keluarga. Pembaruan dalam bidang hukum keluarga tampak pada beberapa negara Muslim. Dalam beberapa literatur, pembaruan ini lebih banyak dalam bentuk perundang-undangan.
C. Metode Pembaruan Hukum Keluarga
Tahir Mahmood menyebutkan bahwa pada dasarnya pembaruan hukum keluarga itu terdiri atas dua macam, yaitu:
1. Intra-doctrinal reform, yaitu reformasi hukum keluarga Islam yang dilakukan dengan menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab atau mengambil pendapat lain selain dari mazhab utama yang dianut.
2. Extra-doctrinal reform, yaitu pembaruan hukum dengan cara memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nas yang ada.
D. Tujuan dan Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Keluarga Islam
1. Tujuan Pembaruan Hukum Keluarga
Pertama, negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum perkawinan. Usaha ini dilakukan karena ada sejumlah mazhab yang diikuti di suatu negara baik dari beberapa mazhab di kalangan kelompok Sunni maupun antara Sunni dan Syi'.
Kedua, usaha peningkatan status wanita.Ā 

Tujuan ini didasarkan pada adanya respon tuntutan-tuntutan peningkatan status wanita. Beribu tahun sebelum Islam, perempuan dipandang tidak memilki kemanusiaan yang utuh.
Ketiga, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman. Konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu menjawab permasalahan baru. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan ketiga ini dapat menjadi tujuan utama dari pembaruan hukum perkawinan meskipun pada beberapa negara mengcover beberapa tujuan lain sekaligus.128
2.Lingkup Materi Pembaruan Hukum Keluarga
Dalam penelitian Tahir Mahmood, pembaruan hukum keluarga sejak awal mula dilakukan pada abad ke-20 di beberapa negara Muslim sedikitnya telah meliputi 13 masalah, yaitu:
1. Masalah pembatasan umur minimal untuk kawin bagi laki-laki dan wanita, dan masalah perbedaan umur antara pasangan yang hendak kawin.
2. Masalah peranan wali dalam nikah.
3. Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan
4. Masalah keuangan perkawinan: maskawin dan perkawinan.
5. Masalah poligami dan hak-hak istri dalam poligami
6. Masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tinggal.
7. Masalah talak dan cerai di muka pengadilan.
8. Masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya
9. Masalah masa hamil dan akibat hukumnya
10. Masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak-anak setelah terjadi perceraian.
11. Masalahhakwarisbagianaklaki-lakidanwanita,termasukbagi anak dari anak yang terlebih dahulu meninggal.
12. Masalah wasiat bagian ahli waris.
13. Masalah keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.
Dalam bentuk fatwa, pengucapan tiga talak sekaligus dapat menjadi salah satu contoh permasalahan yang memiliki sisi pembaruan. Meskipun persolan ini bukan masalah baru tapi persoalan lama yang sama tuanya dengan agama Islam sendiri. Masalah ini penting dibahas karena kedudukan hukum pengucapan tiga talak sekaligus dipertanyakan apakah hal ini jatuh tiga atau satu talak saja? Ketentuan hukum yang pasti tentu akan melahirkan konsekwensi hukum atau akibat-akibat hukum selanjutnya.
Fatwa ini bertentangan dengan pandangan sebagian besar sahabat Nabi, semua empat mazhab Sunni dan Ibnu azm al-hir, yang menyatakan bahwa pengucapan tiga talak sekaligus berlaku sebagai talak tiga. Meskipun pandangan jumhur ulama lebih kuat, akan tetapi MUI lebih mengikuti pandangan ulama lain yang terdiri dari Thawus, mazhab Imami (Syi'ah), Ibnu Taymiyyah, dan beberapa fuqaha Zahiri yang menyatakan bahwa penjatuhan talak tiga berlaku sebagai talak satu.12

BAB III
MUI DAN FATWA-FATWANYA

A.Pembentukan dan Perkembangan MUI
MUI telah mengcover berbagai kelompok Islam dan pemikiran dari tradisional hingga modern. Keberagaman ini akan memperlihatkan sisi lain pembaruan hukum dalam bentuk fatwa.
B. Fungsi dan Peran Utama MUI
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI, yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (waraatul anbiy')
2. Sebagai pemberi fatwa (muft)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (riwyt wa khdim al-ummah)
4. Sebagai gerakan ila wa al-tajdd
5. Sebagai penegak amar ma'rf dan nahi munkar.
C.Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI
Pedoman dan prosedur penetapan fatwa yang ditetapkan MUI tampak pada pedoman terbaru disusun secara sistematis ke dalam tujuh bab dan setiap bab terdiri atas beberapa poin. Berikut sistematika pedoman penetapan fatwa MUI.
D.Tinjauan Umum Mengenai Fatwa-Fatwa MUI
1. Fatwa-Fatwa dalam Sidang Komisi Fatwa dan Munas Ulama se-Indonesia.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan dalam sidang komisi fatwa MUI dan Munas ulama se-Indonesia dikompilasi dan diklasifikasi menjadi empat bidang, yaitu : bidang akidah dan aliran keagamaan sebanyak 14 buah, bidang ibadah sebanyak 37 buah, bidang sosial budaya sebanyak 51 buah dan bidang pangan, obat-obatan, ilmu pengetahuan dan tehknologi sebanyak 35 buah.
2. Fatwa/Keputusan Berdasarkan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia.
Keputusan Ijtima' Ulama se-Indonesia yang dihimpun berdasarkan tahunnya dilaksanakan sebanyak tiga kali, yaitu Ijtima' Ulama Komisi fatwa se-Indonesia I pada tahun 2003, Ijtima' Ulama II tahun 2006, dan Ijtima' Ulama tahun 2009. Asrorun Ni'am Sholeh menyebutkan bahwa representasi forum ijtima' Ulama Indonesia ini merupakan bentuk ijma' ulama Indonesia.Ā 

Oleh karena itu, aspek masalah yang dibahas pun menyangkut hal-hal strategis terkait, kehidupan sosial, bernegara dan beragama Sedangkan fatwa yang dikeluarkan berdasarkan hasil Ijtima Ulama se-Indonesia berjumlah 52. Fatwa ini diputuskan melalui ijtima Ulama I pada tahun 2003 sebanyak 13 buah, ijtima Ulama II pada tahun 2006 sebanyak 18 buah, dan ijtima Ulama III pada tahun 2009 sebanyak 21 buah.
3. Deskripsi Fatwa MUI tentang Hukum Keluarga
Secara umum persoalan hukum keluarga yang dikaji oleh komisi fatwa MUI berjumlah 12 buah fatwa. Meskipun demikian, masalah perkawinan dan keluarga dapat dikatakan lebih banyak jika lingkup keluarga diperluas pada persoalan kontemporer. Dalam tulisan Asrorun Niam Sholeh, fatwa-fatwa yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan keluarga tidak hanya mengcover ke-12 fatwa tersebut tetapi juga memasukkan masalah kontemporer lainnya yang tergolong masalah keluarga seperti; adopsi, bayi tabung, aborsi, kloning, pornografi, bias jender, Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan penggunaan organ tubuh, ari-ari dan Air Seni Manusia untuk Obat dan Kosmetika.
4.Fatwa-Fatwa yang Berkenaan dengan Perkawinan
a. Fatwa Perkawinan Campuran
Fatwa tentang perkawinan campuran diputuskan oleh MUI dalam Musyawarah Nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H bertepatan dengan tanggal 26 Mei-1Juni 1980 M. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya, maka MUI memfatwakan bahwa perkawinan campuran hukumnya haram.
b.Prosedur Perkawinan
Dalam fatwa ini, MUI tidak melahirkan produk hukum yang bersifat normatif karena disampaikan dalam bentuk pernyataan dan ajakan. Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa hari ini telah menerima pengaduan, pertanyaan, dan permintaan fatwa yang disampaikan secara langsung tertulis, maupun lewat telepon dari masyarakat sekitar masalah tersebut.
c.Nikah Mut'ah
Pertimbangan MUI adalah bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlu sunnah wal jam'ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi'ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut'ah secara khusus diputuskan bahwa nikah mut'ah itu hukumnya adalah haram, dan pelakunya harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama dimusyawarahkan dalam Munas MUI VII tahun 2005. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan MUI membahas persoalan ini dalam musyawarah tersebut, yaitu:
1) Perkawinan beda agama telah banyak terjadi dalam masyarakat
2) Perkawinan ini tidak saja mengundang perdebatan mengenai keabsahannya di tengah-tengah masyarakat muslim tetapi juga melahirkan keresahan dalam masyarakat.
3) Munculnya pemikiran di kalangan masyarakat yang membe- narkan perkawinan beda agama dengan alasan hak asasi manusia dan kemaslahatan.
4) Perlunya mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga.
Dengan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam
Munas tersebut diputuskan bahwa (1) perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. (2) perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah. Fatwa ini ditetapkan berdasarkan beberapa dalil baik al-Qur'an, dan hadis serta kaidah fiqh dan sadd al-ar'ah.
f.Nikah wisata
Istilah nikah wisata adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang ketika bepergian Oleh karena itu, dalam komisi C bidang fatwa Musyawarah nasional (Munas) VIII tahun 2010 menetapakan dua ketentuan, yaitu: (1) Ketentuan Umum bahwa dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Nikah wisata adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan. Berdasarkan ketentuan umum tersebut maka (2) ketentuan hukum dari pernikahan tersebut hukumnya haram karena merupakan nikah mu'aqqat (nikah sementara) yang merupakan salah satu bentuk nikah mut'ah.
g.Pernikahan Usia Dini.
MUI menetapkan beberapa ketentuan hukum, yaitu:
1) Pada dasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ad' wa al-wujb), sebagai ketentuan sinn al-rusyd.
2) (a) Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudarat, (b) kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
3) Guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedoman.

BAB IV

FATWA MUI TENTANG HUKUM PERKAWINAN: ANTARA PROGRESIVITAS DAN REGRESIVITAS

A. Fatwa MUI Tentang Hukum Perkawinan
ada 7 fatwa MUI tentang perkawinan yang dianalisis dalam bab ini. Di antara ke-7 fatwa tersebut ada yang memiliki persamaan secara substansial baik segi produk hukum (fikih) maupun metodologis (usul fikih). Pada fatwa tentang perkawinan campuran yang dikeluarkan pada tahun 1980 dalam Musyawarah Nasional (Munas) II memiliki persamaan dengan perkawinan beda agama yang dibahas pada rapat komisi MUI tahun 2005.Ā 

Perkawinan mut'ah dan nikah wisata juga memiliki kesamaan secara substansial. Oleh karena itu, fatwa yang memiliki kesamaan tersebut akan dianalisis secara utuh dalam satu sub bahasan.
1. Perkawinan Campuran dan Perkawinan Beda Agama
Permasalahan pernikahan beda agama bukan persoalan yang baru muncul dalam masyarakat. Perdebatan mengenai keabsahan pernikahan ini juga telah didiskusikan dalam naskah-naskah fikih klasik. Meskipun istilah perkawinan campuran dalam konteks perundangan-undangan di Indonesia berbeda pemaknaannya dengan istilah perkawinan beda agama1 akan tetapi kedua istilah ini digunakan oleh MUI dalam fatwa-fatwanya mengandung makna yang sama. Hal ini tampak pada fatwa perkawinan campuran memuat permasalahan perkawinan beda agama antara muslim dengan non muslim.
Fatwa perkawinan campuran yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, menurut Muhammad Atho Mudzar, adalah sebagai tanggapan atas bertambahnya perhatian masyarakat terhadap makin seringnya terjadi pernikahan antaragama. Begitu pentingnya fatwa ini, sehingga pembicaraan mengenai hal ini diadakan dalam Konferensi tahunan pada Munas II MUI Tahun 1980 dan bukan dalam rapat-rapat biasa Komisi Fatwa.Ā 

Fatwa tersebut mengandung dua pernyataan gamblang, yaitu; seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam, dan begitu pula sebaliknya bahwa seorang pria Islam tidak dibolehkan menikahi seorang wanita muslim.
Setelah melewati 25 tahun, persoalan ini kembali diangkat dalam Konferensi Tahunan pada Munas VII Tahun 2005 dan menetapkan dua diktum, yaitu: pertama, perkawinan beda agama, adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitb, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah. Dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai perkawinan beda agama sebanyak 2 kali. Pertama, pada Munas II MUI tanggal 26 Mei -- 1 Juni 1980 M bertepatan dengan tanggal 11-17 Rajab 1400 H. Kedua, pada Munas VII MUI Tanggal 28 Juli tahun 2005 bertepatan dengan bulan Jumadil Akhir 1426 H.
Apa yang difatwakan MUI mengenai perkawinan beda agama, baik yang diputuskan pada Munas II Tahun 1980 maupun Munas VII Tahun 2005, pada dasarnya tidak memberikan perubahan hukum secara signifikan. Bahkan jauh sebelum fatwa tentang perkawinan beda agama dibahas oleh MUI Pusat, masalah ini telah didiskusikan dan diputuskan oleh MUI Daerah Jakarta.Ā 

Sebagaimana yang dicatat Muhammad Atho Mudzhar, pada tanggal 11 Agustus 1975 Majelis Ulama Daerah Jakarta telah mengeluarkan suatu pernyataan mengenai larangan bagi seorang laki-laki muslim untuk menikahi seorang perempuan bukan Islam, sekalipun yang dari ahl al-Kitb. Bahkan enam tahun setelah MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang perkawianan beda agama, pada tahun 1986 MUI Daerah Jakarta kembali menghidupkan perrmasalahan ini dan menganggap perlu untuk mengeluarkan pernyataan panjang lebar yang bertujuan untuk memberikan tuntunan bagi umat Islam.
Dilihat dari aspek pembaruan materinya dapat dikatakan bahwa isu ini telah ada sejak dahulu dan menjadi isu kontroversi dalam sejarah Islam. Ulama telah mendiskusikannya dan memerinci hukum perkawinan ini menjadi beberapa kondisi, yaitu:
Pertama, apabila perkawinan beda agama terjadi antara perempuan Islam dengan laki-laki yang non Islam, baik calon suami itu dari ahlul Kitb maupun non ahlul kitb, maka ulama sepakat hukumnya haram dan tidak sah berdasarkan QS al-Baqarah/2: 221 dan ijma yang melarang perkawinan perempuan muslim dengan pria non @muslim apapun agama dan kepercayaannya.
Kedua, apabila perkawinan itu terjadi antara laki-laki muslim dan perempuan musyrik, maka ulama juga sepakat haram hukumnya dan tidak sah berdasarkan QS. al-Baqarah/2: 221. Hanya saja konsep musyrikah ini diperselisihkan oleh para ulama. Syeikh Muhammad Rasyid Rida yang menukil pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsr al-Manr berpendapat bahwa wanita musyrikah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dari kalangan bangsa Arab karena tidak memiliki kitab suci saat al-Qur'an turun.Ā 

Pendapat ini juga dikutip dari penafsiran klasik jauh sebelumnya, yaitu tafsir dari Imam al-abar (225-310). Sebagian ulama berpendapat bahwa agama Majusi (Zoroaster), Yahudi dan Nasrani mengandung unsur syirik sehingga diharamkan menikah dengan perempuan tersebut. Akan tetapi pandangan tersebut berubah dengan mengecualikan perempuan yang tergolong ahlul kitb berdasarkan QS al-Midah/5: 5-6.Ā 

Menurut jumhur ulama fikih bahwa yang dimaksud dengan wanita musyrikah adalah semua wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani baik dari bangsa Arab maupun dari bangsa non Arab (Ajam). Menurutnya, bahwa semua wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi dan Kristen, apapun agama dan kepercayaannya dikategorikan dengan musyrikah yang haram dinikahi, seperti wanita dari umat Budha, Hindu, Khonghucu, Zoroaster.
Ketiga, apabila terjadi perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitb, terdapat beberapa pendapat ulama, yaitu:
a. Hukumnya dibolehkan asalkan ahlul kitb itu berasal dari golongan Yahudi dan Nasrani. Dalil yang dikemukakan adalah berdasarkan QS al-Maidah/5: 5. Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Boleh menikahi wanita ahli kitab, dengan beberapa syarat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut pendapat mereka, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Yahudi/Nasrani dengan syarat yaitu ibu bapak wanita tersebut harus orang Yahudi dan Nasrani juga".Ā 

Jika bapak atau nenek wanita itu menyembah berhala dan bukan termasuk golongan ahlul kitb (Taurat/Injil), kemudian ia memeluk agama Yahudi atau Nasrani maka tidak boleh menikahi wanita dari keturunan itu. Selain QS al-Midah/5: 5 sebagai dasar atau dalil yang digunakan jumhur ulama, kebolehan pernikahan muslim laki-laki dengan perempuan ahlul Kitb juga mengacu pada perkawinan Nabi saw dengan wanita ahlul Kitb yaitu; Mariah al-Qibtiyah (Nasrani), perkawinan seorang sahabat senior yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman dengan seorang wanita Yahudi.
Meskipun jumhur menyepakati kebolehan perkawinan dengan wanita Ahlul Kitb, menurut Sayyid Sbiq, hal ini tetap menjadi sesuatu yang makruh sehingga lebih baik dan dianjurkan untuk ditinggalkan apabila tidak ada konsiderans dan alasan syar'i yang menjadi rukhah (dispensasi) untuk melakukannya. Ulama modern yang membolehkan pernikahan dengan perempuan ahli kitab dengan syarat adalah Professor Hazairin.Ā 

Beliau membolehkan laki laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab dengan syarat, yaitu susah mendapatkan wanita muslimah di sekitarnya yang hendak berumah tangga. Misalkan seperti keadaan seorang yang tinggal di sebuah negara yang sangat jarang ditemui kaum muslimahnya dan sebaliknya, sangat banyak kaum wanita ahli kitab. Selain syarat tersebut, terdapat syarat lain yang harus dipenuhi yaitu kadar iman lelaki muslim sangat kuat dan mampu memelihara agama dan keturunannya.Ā 

Namun jika iman dan kemampuannya tidak kuat maka pernikahan tersebut dilarang karena dikhawatirkan tidak mendidik keluarganya berdasarkan ajaran agama Islam.
c. Melarang ataupun mengharamkan pernikahan dengan ahlul Kitb. Di antara ulama dari kalangan sahabat yang melarang pernikahan dengan wanita ahlul Kitb adalah Umar Bin Khattab. Alasannya, karena Allah secara umum telah mengharamkan laki- laki muslim menikahi perempuan musyrikah. Menurut pendapat ini, pada hakekatnya ahlul kitab memiliki doktrin akidah dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang jelas, misalnya konsep trinitas dan mengultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (bunda Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan bahwa usair adalah putra Allah dan mengkultuskan Haikal Sulaiman a.s bagi umat Yahudi.
Yusuf al Qardhawi dalam bukunya halal dan haram dalam Islam menyatakan " kalau jumlah muslimin di suatu negeri termasuk minoritas, maka menurut pendapat yang lebih kuat laki-laki muslim di negeri tersebut haram menikahi perempuan non muslimah, juga karena akan merusak kondisi perempuan-perempuan muslimah itu sendiri.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Huzaemah T. Yanggo. Menurutnya, menikah dengan ahli kitab hukumnya adalah haram sadd a-ar'ah. Karena terjadi mafsadah dan madharat, baik lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, dan dengan wanita ahli kitab yang sudah menyimpang dari ajaran Taurat dan Injil yang asli maupun yang belum menyimpang, karena dalam QS al-Midah/5: 5 tersebut tidak membedakan antara wanita ahli kitab yang masih murni dengan wanita ahli kitab yang sudah melenceng dari ajaran agamanya. Oleh karena keduanya dapat menimbulkan mafsadah dan madharat, maka untuk menghindarinya, pernikahan dengan wanita ahli kitab diharamkan sadd li a-ar'ah. Meskipun Yusuf al-Qardhawi mengharamkan pernikahan beda agama antara lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, akan tetapibeliaujugamembolehkanpernikahaninijika dalamkeadaan tertentu dengan syarat yang sangat ketat, yaitu:
a.Kitabiah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak atheis.
b.Kitabiah yang muhanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina).
c. Ā Wanita itu bukanlah kitabiah yang kaumnya berada pada status permusuhan dan peperangan dengan kaum muslimin.
d. Ā Dibalik pernikahan dengan kitabiah itu tidak terjadi fitnah, yaitu mafsadah ataupun kemudhartan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemudharatan maka makin besar tingkat larangan keharamannya karena nabi bersabda: "tidak bahaya dan tidak membahayakan."
Selanjutnya Yusuf al Qardhawi mengingatkan bahwa terdapat banyak kemudharatan yang mungkin terjadi karena pernikahan dengan wanita non muslim, diantaranya adalah:
a. Suami bisa saja terpengaruh dengan agama si istri.
b. Akan menimbulkan kesulitan dalam hal suami istri dan juga berpengaruh pada anak mereka.
Syeikh Yusuf al Qardhawi juga menjelaskan adanya rukhsah
nikah dengan non muslim atau kitabiah. Ada dua keharusan yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Wanita kitabiah itu benar-benar beragama samawi.
b. Yang mengontrol atau yang memberi pengaruh dalam keluarga haruslah dari seorang suami muslim yang teguh berpegang pada ajaran Islam.
Adapun ayat " dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu"1menurut mereka hendaklah diitimlkan kepada perempuan ahlul kitab yang telah masuk Islam atau diitimlkan kepada pengertian bahwa kebolehan menikahi ahli kitab adalah pada masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.
Pendapat selanjutnya yang melarang penikahan beda agama adalah pendapat Umar bin Khattab yang melarang laki-laki muslim terutama para pemimpinnya kawin dengan perempuan non muslimah (wanita ahli kitab)
Larangan ini didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi perempuan Islam, bersuamikan pemimpin Islam dan untuk kepentingan negara agar jangan sampai penguasa Muslim membocorkan rahasia negara melalui istrinya yang nonmuslimah itu. Bahkan dalam suatu riwayat Umar ra pernah berkata pada Huzaifah "bila orang-orang Islam suka mengawini perempuan kitabiah maka siapakah yang akan mengawini perempuan Islam? Ini memberi alasan bahwa khalifah Umar melarang perkawinan ini dalambidangpenjagaandanpengawasan danbukankarenaharam kawin dengan perempuan-perempuan ahli kitab.
Pada prinsipnya, permasalahan ini terpola menjadi tiga pendapat, yaitu:Pertama, melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara mutlak pernikahan antara muslim dan non muslim, baik yang dikategorikan musyrik maupun Ahlul Kitb. Larangan itu berlaku baik bagi perempuan Muslim maupun laki-laki Muslim.Ā 

Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan Muslim dan perempuan non Muslim dengan syarat perempuan non muslim itu dari kelompok Ahlul Kitb tetapi tidak sebaliknya. Ketiga, sebagian ulama lainnya membolehkan pernikahan antara Muslim dan non Muslim, dan kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Tampaknya pandangan pada kelompok pertama yang sesuai dengan fatwa MUI. Kesepakatan ulama ini dipandang sebagai ijma' dimana ijma dipakai sebagai salah satu sumber hukum Islam. Larangan pernikahan beda agama secara mutlak, menurut Musdah Mulia, yang menjadi pandangan mainstrem umat Islam di Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi'i. Pandangan inilah yang kemudian dilegalkan negara melalui KHI dan tafsir monolitik atas UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Dengan demikian, persoalan ini bukan sesuatu yang baru. Meskipun demikian, fatwa MUI mengenai hukum perkawinan ini telah melahirkan salah satu produk hukum keluarga yang memiliki sisi pembaruan dalam arti penyesuaian hukum. Sisi pembaruan tersebut dapat dilihat pada pandangan jumhur ulama yang membolehkan pernikahan ini dan sebagian ulama dari golongan Syafi'iyah dan Ahmad bin Hanbal membolehkannya secara bersyarat tampaknya berbeda dengan fatwa MUI yang melarang secara mutlak dan menyatakan bahwa perkawinan beda agama hukumnya haram dan tidak sah. Apa yang difatwakan MUI ini sejalan dengan pendapat ulama kontemporer Yusuf al-Qardawi menetapkan hukum yang sama.
2. Nikah Mut'ah dan Nikah Wisata
Seperti halnya dengan pernikahan beda agama, nikah mut'ah merupakan persoalan lama yang hingga kini masih menjadi isu kontroversial karena praktiknya dalam masyarakat tidak pernah punah. Itulah sebabnya, keabsahan mengenai perkawinan ini selalu dipertanyakan hingga menjadi permasalahan penting yang harus dibahas dan dikaji pada sidang Komisi fatwa MUI tanggal 25 Oktober 1997. Dalam sidang tersebut ditetapkan bahwa nikah mut'ah hukumnya adalah haram.
Ketetapan dalam fatwa ini pada dasarnya tidak menampakkan pembaruan atau perubahan hukum yang berarti apabila dibandingkan dengan pandangan hukum dari ulama klasik. Dalam pandangan mazhab Hanafi, Imam Syamsuddin al-Sarkhasi (wafat 490 H) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut mazhab kami. Demikian pula Imm 'Ala al-Dn al-Kasn (wafat 587 H) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah"
Dalam mazhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) mengatakan bahwa hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir, dan yang diperselisihkan oleh ulama lebih pada awal mula diharamkan"1Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al- Kubra mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
Dalam pandangan pendiri Mazhab Syafi'i, Imam Syafi'i (150-204 H) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan."Ā 

Dalam kitabnya al-Majm' Imam Nawawi (wafat 676 H) berpendapat bahwa , "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq atau kekal (mu'abbad), maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
Hal yang sama juga dikemukakan dari mazhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang batil." Pandangan ini dinukil dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
Berdasarkan pandangan dari berbagai mazhab ulama, maka dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama sepakat hukum nikah mut'ah adalah haram. Ketentuan ini menunjukkan bahwa fatwa MUI tentang nikah mut'ah lebih bersifat menguatkan dan menegaskan hukum yang sudah ada karena tidak memberikan perubahan hukum sedikitpun.Ā 

Tidak adanya pembaruan atau perubahan hukum akan dianalisis kemudian dari segi metodologi serta faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya produk hukum tersebut pada sub bagian analisis metode pembaruan.
Sedangkan nikah wisata dapat dikatakan bentuk perkawinan baru di era modern ini. Permasalahan ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Meskipun istilah ini merupakan hal yang baru, akan tetapi perkawinan ini memiliki kemiripan secara substansial dengan bentuk kawin mut'ah disebabkan jenis perkawinan ini bersifat sementara.Ā 

Bedanya, dalam akad perkawinan mut'ah disebut batasan waktu berlakunya pernikahan sehingga apabila waktu yang ditentukan sudah berakhir maka berakhir pula ikatan perkawinan tersebut. Sedangkan dalam nikah wisata, dalam akadnya tidak disebutkan jangka waktu perkawinannya tetapi diniatkan perkawinan ini berakhir ketika masa perantauannya (wisatanya) sudah selesai. Itulah sebabnya, ada yang menyamakan jenis pekawinan ini dengan nikah misyr, nikah yang diniatkan untuk talak.
Ā Disebut demikian, karena biasanya pria yang melakukan praktek nikah ini tidak ada tujuan pernikahan yang lestari dan untuk waktu selamanya, tetapi hanya untuk tempo tertentu saja seperti satu malam, seminggu dan sebagainya, tetapi keinginan mentalaq dalam tempo tertentu tersebut tidak diucapkan secara verbal dalam akad nikah. Biasanya mereka melakukan kesepakatan dulu sebelum akad, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tersebut tidak disebut dalam akad nikah.
Pernikahan ini merebak di Indonesia seiring dengan menjamur model praktek nikah yang dilakukan orang-orang Arab kaya yang suka melancong ke manca negara, semisal Indonesia. Praktek nikah wisata ini marak dan menjadi sorotan publik karena fenomena ini juga menjadi lahan bisnis bagi sekelompok orang sebagaimana yang terjadi pada daerah wisata di Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada bulan-bulan tertentu, wisatawan asal Timur Tengah membanjiri kawasan tersebut untuk menikahi sesaat dengan perempuan-perempuan lokal.
Biasanya dalam prakteknya, nikah model ini dilakukan sebagai- mana layaknya sebuah pernikahan biasanya, yaitu pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau hak gilir, atau tempat tinggal. Model pernikahan ini kemudian dipertanyakan keabsahannya.
Dalam literatur fikih klasik, ada beberapa model perni- kahan yang diperselisihkan keabsahannya oleh ulama, namun nikah misyar atau nikah wisata tidak ditemukan pembahasannya. Model penikahan ini hanya dapat ditemukan dalam kajian fikih kontemporer.
Berbeda dengan pandangan Yusuf Qardhawi, kawin misyar bukan merupakan sesuatu yang baru karena sudah dikenal di kalangan masyarakat sejak dahulu. menurutnya, kawin misyar adalah di mana seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki di rumahnya (laki-laki).Ā 

Tujuannya agar suami dapat bebas dari kewajiban terhadap isteri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah, memberikan hak yang sama dibanding isteri yang lain (istri pertama).
Disebutkan Abunuralif, setidaknya ada tiga arus pendapat di kalangan ahli fikih kontemporer mengenai keabsahan perkawinan ini.
Inspirasi
Untuk melihat dinamika hukum keluarga Islam di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari sumber hukum yang digunakan, wacana hukum yang berkembang, dan praktik hukum di tengah masyarakat. Sumber hukum yang digunakan di Indonesia dalam hal perkawinan dapat dibagi tiga macam.Ā 

Pertama, hukum Islam yang menjadi kerangka normatif dominan bagi masyarakat Islam. Kedua, hukum perkawinan adat yang mash dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, seperti adat perkawinan Minangkabau. Ketiga, hukum negara yang dimanifestasikan dalam peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Perkembangan hukum keluarga Indonesia mengalami proses yang panjang.Ā 

Hal tersebut tidak lepas dari pertarungan wacana serta kontestasi dan negosiasi ideologi yang melingkupi masyarakat Indonesia. Pertarungan wacana dan negosiasi ideologi ini dapat dilihat sejak awal pembentukan awal undang-undang perkawinan yang membutuhkan waktu cukup lama.Ā 

Setelah terbentuknya undang-undang perkawinan bukan berarti pertarungan wacana tersebut berakhir. Hal ini terlihat dari banyaknya pengajuan gugatan terhadap undang-undang perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan ini memperlihatkan bahwa hukum keluarga Islam di Indonesia mendapatkan tantangan ketika terhadap wacana-wacana global, seperti HAM, gender, dan pluralisme.Ā 

Praktik hukum keluarga dalam masyarakat lebih cenderung merujuk pada hukum Islam konservatif. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya masyarakat yang melakukan pernikahan dini, poligami, dan hukum-hukum lainnya yang mendiskriminasikan perempuan dan anak.Ā 

Dalam tataran Pengadilan Agama maupun Mahkamah Agung, hakim dalam menyelesaikan perkara juga merujuk ke hukum Islam, seperti fikih klasik. Konsekuensinya kemudian adalah putusan-putusan yang mereka keluarkan lebih banyak tidak memihak pada perempuan. Hal ini menjelaskan bahwa sensitivitas gender hakim di pengadilan masih rendah. Meskipun demikan hakim juga mendasarkan pada hukum negara (UUP) dan Hukum Adat.
Selvyana Nandini 222121018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun