Mohon tunggu...
Selvyana Nandini
Selvyana Nandini Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta/Fakultas Syariah/HKI

Saya adalah pribadi yang suka mencoba hal hal baru serta menarik untuk dicoba🤩

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

12 Maret 2024   23:42 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:42 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut jumhur ulama fikih bahwa yang dimaksud dengan wanita musyrikah adalah semua wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani baik dari bangsa Arab maupun dari bangsa non Arab (Ajam). Menurutnya, bahwa semua wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi dan Kristen, apapun agama dan kepercayaannya dikategorikan dengan musyrikah yang haram dinikahi, seperti wanita dari umat Budha, Hindu, Khonghucu, Zoroaster.
Ketiga, apabila terjadi perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitb, terdapat beberapa pendapat ulama, yaitu:
a. Hukumnya dibolehkan asalkan ahlul kitb itu berasal dari golongan Yahudi dan Nasrani. Dalil yang dikemukakan adalah berdasarkan QS al-Maidah/5: 5. Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Boleh menikahi wanita ahli kitab, dengan beberapa syarat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut pendapat mereka, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Yahudi/Nasrani dengan syarat yaitu ibu bapak wanita tersebut harus orang Yahudi dan Nasrani juga". 

Jika bapak atau nenek wanita itu menyembah berhala dan bukan termasuk golongan ahlul kitb (Taurat/Injil), kemudian ia memeluk agama Yahudi atau Nasrani maka tidak boleh menikahi wanita dari keturunan itu. Selain QS al-Midah/5: 5 sebagai dasar atau dalil yang digunakan jumhur ulama, kebolehan pernikahan muslim laki-laki dengan perempuan ahlul Kitb juga mengacu pada perkawinan Nabi saw dengan wanita ahlul Kitb yaitu; Mariah al-Qibtiyah (Nasrani), perkawinan seorang sahabat senior yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman dengan seorang wanita Yahudi.
Meskipun jumhur menyepakati kebolehan perkawinan dengan wanita Ahlul Kitb, menurut Sayyid Sbiq, hal ini tetap menjadi sesuatu yang makruh sehingga lebih baik dan dianjurkan untuk ditinggalkan apabila tidak ada konsiderans dan alasan syar'i yang menjadi rukhah (dispensasi) untuk melakukannya. Ulama modern yang membolehkan pernikahan dengan perempuan ahli kitab dengan syarat adalah Professor Hazairin. 

Beliau membolehkan laki laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab dengan syarat, yaitu susah mendapatkan wanita muslimah di sekitarnya yang hendak berumah tangga. Misalkan seperti keadaan seorang yang tinggal di sebuah negara yang sangat jarang ditemui kaum muslimahnya dan sebaliknya, sangat banyak kaum wanita ahli kitab. Selain syarat tersebut, terdapat syarat lain yang harus dipenuhi yaitu kadar iman lelaki muslim sangat kuat dan mampu memelihara agama dan keturunannya. 

Namun jika iman dan kemampuannya tidak kuat maka pernikahan tersebut dilarang karena dikhawatirkan tidak mendidik keluarganya berdasarkan ajaran agama Islam.
c. Melarang ataupun mengharamkan pernikahan dengan ahlul Kitb. Di antara ulama dari kalangan sahabat yang melarang pernikahan dengan wanita ahlul Kitb adalah Umar Bin Khattab. Alasannya, karena Allah secara umum telah mengharamkan laki- laki muslim menikahi perempuan musyrikah. Menurut pendapat ini, pada hakekatnya ahlul kitab memiliki doktrin akidah dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang jelas, misalnya konsep trinitas dan mengultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (bunda Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan bahwa usair adalah putra Allah dan mengkultuskan Haikal Sulaiman a.s bagi umat Yahudi.
Yusuf al Qardhawi dalam bukunya halal dan haram dalam Islam menyatakan " kalau jumlah muslimin di suatu negeri termasuk minoritas, maka menurut pendapat yang lebih kuat laki-laki muslim di negeri tersebut haram menikahi perempuan non muslimah, juga karena akan merusak kondisi perempuan-perempuan muslimah itu sendiri.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Huzaemah T. Yanggo. Menurutnya, menikah dengan ahli kitab hukumnya adalah haram sadd a-ar'ah. Karena terjadi mafsadah dan madharat, baik lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, dan dengan wanita ahli kitab yang sudah menyimpang dari ajaran Taurat dan Injil yang asli maupun yang belum menyimpang, karena dalam QS al-Midah/5: 5 tersebut tidak membedakan antara wanita ahli kitab yang masih murni dengan wanita ahli kitab yang sudah melenceng dari ajaran agamanya. Oleh karena keduanya dapat menimbulkan mafsadah dan madharat, maka untuk menghindarinya, pernikahan dengan wanita ahli kitab diharamkan sadd li a-ar'ah. Meskipun Yusuf al-Qardhawi mengharamkan pernikahan beda agama antara lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, akan tetapibeliaujugamembolehkanpernikahaninijika dalamkeadaan tertentu dengan syarat yang sangat ketat, yaitu:
a.Kitabiah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak atheis.
b.Kitabiah yang muhanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina).
c.  Wanita itu bukanlah kitabiah yang kaumnya berada pada status permusuhan dan peperangan dengan kaum muslimin.
d.  Dibalik pernikahan dengan kitabiah itu tidak terjadi fitnah, yaitu mafsadah ataupun kemudhartan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemudharatan maka makin besar tingkat larangan keharamannya karena nabi bersabda: "tidak bahaya dan tidak membahayakan."
Selanjutnya Yusuf al Qardhawi mengingatkan bahwa terdapat banyak kemudharatan yang mungkin terjadi karena pernikahan dengan wanita non muslim, diantaranya adalah:
a. Suami bisa saja terpengaruh dengan agama si istri.
b. Akan menimbulkan kesulitan dalam hal suami istri dan juga berpengaruh pada anak mereka.
Syeikh Yusuf al Qardhawi juga menjelaskan adanya rukhsah
nikah dengan non muslim atau kitabiah. Ada dua keharusan yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Wanita kitabiah itu benar-benar beragama samawi.
b. Yang mengontrol atau yang memberi pengaruh dalam keluarga haruslah dari seorang suami muslim yang teguh berpegang pada ajaran Islam.
Adapun ayat " dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu"1menurut mereka hendaklah diitimlkan kepada perempuan ahlul kitab yang telah masuk Islam atau diitimlkan kepada pengertian bahwa kebolehan menikahi ahli kitab adalah pada masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.
Pendapat selanjutnya yang melarang penikahan beda agama adalah pendapat Umar bin Khattab yang melarang laki-laki muslim terutama para pemimpinnya kawin dengan perempuan non muslimah (wanita ahli kitab)
Larangan ini didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi perempuan Islam, bersuamikan pemimpin Islam dan untuk kepentingan negara agar jangan sampai penguasa Muslim membocorkan rahasia negara melalui istrinya yang nonmuslimah itu. Bahkan dalam suatu riwayat Umar ra pernah berkata pada Huzaifah "bila orang-orang Islam suka mengawini perempuan kitabiah maka siapakah yang akan mengawini perempuan Islam? Ini memberi alasan bahwa khalifah Umar melarang perkawinan ini dalambidangpenjagaandanpengawasan danbukankarenaharam kawin dengan perempuan-perempuan ahli kitab.
Pada prinsipnya, permasalahan ini terpola menjadi tiga pendapat, yaitu:Pertama, melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara mutlak pernikahan antara muslim dan non muslim, baik yang dikategorikan musyrik maupun Ahlul Kitb. Larangan itu berlaku baik bagi perempuan Muslim maupun laki-laki Muslim. 

Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan Muslim dan perempuan non Muslim dengan syarat perempuan non muslim itu dari kelompok Ahlul Kitb tetapi tidak sebaliknya. Ketiga, sebagian ulama lainnya membolehkan pernikahan antara Muslim dan non Muslim, dan kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Tampaknya pandangan pada kelompok pertama yang sesuai dengan fatwa MUI. Kesepakatan ulama ini dipandang sebagai ijma' dimana ijma dipakai sebagai salah satu sumber hukum Islam. Larangan pernikahan beda agama secara mutlak, menurut Musdah Mulia, yang menjadi pandangan mainstrem umat Islam di Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi'i. Pandangan inilah yang kemudian dilegalkan negara melalui KHI dan tafsir monolitik atas UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Dengan demikian, persoalan ini bukan sesuatu yang baru. Meskipun demikian, fatwa MUI mengenai hukum perkawinan ini telah melahirkan salah satu produk hukum keluarga yang memiliki sisi pembaruan dalam arti penyesuaian hukum. Sisi pembaruan tersebut dapat dilihat pada pandangan jumhur ulama yang membolehkan pernikahan ini dan sebagian ulama dari golongan Syafi'iyah dan Ahmad bin Hanbal membolehkannya secara bersyarat tampaknya berbeda dengan fatwa MUI yang melarang secara mutlak dan menyatakan bahwa perkawinan beda agama hukumnya haram dan tidak sah. Apa yang difatwakan MUI ini sejalan dengan pendapat ulama kontemporer Yusuf al-Qardawi menetapkan hukum yang sama.
2. Nikah Mut'ah dan Nikah Wisata
Seperti halnya dengan pernikahan beda agama, nikah mut'ah merupakan persoalan lama yang hingga kini masih menjadi isu kontroversial karena praktiknya dalam masyarakat tidak pernah punah. Itulah sebabnya, keabsahan mengenai perkawinan ini selalu dipertanyakan hingga menjadi permasalahan penting yang harus dibahas dan dikaji pada sidang Komisi fatwa MUI tanggal 25 Oktober 1997. Dalam sidang tersebut ditetapkan bahwa nikah mut'ah hukumnya adalah haram.
Ketetapan dalam fatwa ini pada dasarnya tidak menampakkan pembaruan atau perubahan hukum yang berarti apabila dibandingkan dengan pandangan hukum dari ulama klasik. Dalam pandangan mazhab Hanafi, Imam Syamsuddin al-Sarkhasi (wafat 490 H) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut mazhab kami. Demikian pula Imm 'Ala al-Dn al-Kasn (wafat 587 H) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah"
Dalam mazhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) mengatakan bahwa hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir, dan yang diperselisihkan oleh ulama lebih pada awal mula diharamkan"1Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al- Kubra mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
Dalam pandangan pendiri Mazhab Syafi'i, Imam Syafi'i (150-204 H) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." 

Dalam kitabnya al-Majm' Imam Nawawi (wafat 676 H) berpendapat bahwa , "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq atau kekal (mu'abbad), maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
Hal yang sama juga dikemukakan dari mazhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang batil." Pandangan ini dinukil dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
Berdasarkan pandangan dari berbagai mazhab ulama, maka dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama sepakat hukum nikah mut'ah adalah haram. Ketentuan ini menunjukkan bahwa fatwa MUI tentang nikah mut'ah lebih bersifat menguatkan dan menegaskan hukum yang sudah ada karena tidak memberikan perubahan hukum sedikitpun. 

Tidak adanya pembaruan atau perubahan hukum akan dianalisis kemudian dari segi metodologi serta faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya produk hukum tersebut pada sub bagian analisis metode pembaruan.
Sedangkan nikah wisata dapat dikatakan bentuk perkawinan baru di era modern ini. Permasalahan ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Meskipun istilah ini merupakan hal yang baru, akan tetapi perkawinan ini memiliki kemiripan secara substansial dengan bentuk kawin mut'ah disebabkan jenis perkawinan ini bersifat sementara. 

Bedanya, dalam akad perkawinan mut'ah disebut batasan waktu berlakunya pernikahan sehingga apabila waktu yang ditentukan sudah berakhir maka berakhir pula ikatan perkawinan tersebut. Sedangkan dalam nikah wisata, dalam akadnya tidak disebutkan jangka waktu perkawinannya tetapi diniatkan perkawinan ini berakhir ketika masa perantauannya (wisatanya) sudah selesai. Itulah sebabnya, ada yang menyamakan jenis pekawinan ini dengan nikah misyr, nikah yang diniatkan untuk talak.
 Disebut demikian, karena biasanya pria yang melakukan praktek nikah ini tidak ada tujuan pernikahan yang lestari dan untuk waktu selamanya, tetapi hanya untuk tempo tertentu saja seperti satu malam, seminggu dan sebagainya, tetapi keinginan mentalaq dalam tempo tertentu tersebut tidak diucapkan secara verbal dalam akad nikah. Biasanya mereka melakukan kesepakatan dulu sebelum akad, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tersebut tidak disebut dalam akad nikah.
Pernikahan ini merebak di Indonesia seiring dengan menjamur model praktek nikah yang dilakukan orang-orang Arab kaya yang suka melancong ke manca negara, semisal Indonesia. Praktek nikah wisata ini marak dan menjadi sorotan publik karena fenomena ini juga menjadi lahan bisnis bagi sekelompok orang sebagaimana yang terjadi pada daerah wisata di Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada bulan-bulan tertentu, wisatawan asal Timur Tengah membanjiri kawasan tersebut untuk menikahi sesaat dengan perempuan-perempuan lokal.
Biasanya dalam prakteknya, nikah model ini dilakukan sebagai- mana layaknya sebuah pernikahan biasanya, yaitu pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau hak gilir, atau tempat tinggal. Model pernikahan ini kemudian dipertanyakan keabsahannya.
Dalam literatur fikih klasik, ada beberapa model perni- kahan yang diperselisihkan keabsahannya oleh ulama, namun nikah misyar atau nikah wisata tidak ditemukan pembahasannya. Model penikahan ini hanya dapat ditemukan dalam kajian fikih kontemporer.
Berbeda dengan pandangan Yusuf Qardhawi, kawin misyar bukan merupakan sesuatu yang baru karena sudah dikenal di kalangan masyarakat sejak dahulu. menurutnya, kawin misyar adalah di mana seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki di rumahnya (laki-laki). 

Tujuannya agar suami dapat bebas dari kewajiban terhadap isteri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah, memberikan hak yang sama dibanding isteri yang lain (istri pertama).
Disebutkan Abunuralif, setidaknya ada tiga arus pendapat di kalangan ahli fikih kontemporer mengenai keabsahan perkawinan ini.
Inspirasi
Untuk melihat dinamika hukum keluarga Islam di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari sumber hukum yang digunakan, wacana hukum yang berkembang, dan praktik hukum di tengah masyarakat. Sumber hukum yang digunakan di Indonesia dalam hal perkawinan dapat dibagi tiga macam. 

Pertama, hukum Islam yang menjadi kerangka normatif dominan bagi masyarakat Islam. Kedua, hukum perkawinan adat yang mash dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, seperti adat perkawinan Minangkabau. Ketiga, hukum negara yang dimanifestasikan dalam peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Perkembangan hukum keluarga Indonesia mengalami proses yang panjang. 

Hal tersebut tidak lepas dari pertarungan wacana serta kontestasi dan negosiasi ideologi yang melingkupi masyarakat Indonesia. Pertarungan wacana dan negosiasi ideologi ini dapat dilihat sejak awal pembentukan awal undang-undang perkawinan yang membutuhkan waktu cukup lama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun