Mohon tunggu...
Selvyana Nandini
Selvyana Nandini Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta/Fakultas Syariah/HKI

Saya adalah pribadi yang suka mencoba hal hal baru serta menarik untuk dicoba🤩

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

12 Maret 2024   23:42 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:42 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuan ini didasarkan pada adanya respon tuntutan-tuntutan peningkatan status wanita. Beribu tahun sebelum Islam, perempuan dipandang tidak memilki kemanusiaan yang utuh.
Ketiga, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman. Konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu menjawab permasalahan baru. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan ketiga ini dapat menjadi tujuan utama dari pembaruan hukum perkawinan meskipun pada beberapa negara mengcover beberapa tujuan lain sekaligus.128
2.Lingkup Materi Pembaruan Hukum Keluarga
Dalam penelitian Tahir Mahmood, pembaruan hukum keluarga sejak awal mula dilakukan pada abad ke-20 di beberapa negara Muslim sedikitnya telah meliputi 13 masalah, yaitu:
1. Masalah pembatasan umur minimal untuk kawin bagi laki-laki dan wanita, dan masalah perbedaan umur antara pasangan yang hendak kawin.
2. Masalah peranan wali dalam nikah.
3. Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan
4. Masalah keuangan perkawinan: maskawin dan perkawinan.
5. Masalah poligami dan hak-hak istri dalam poligami
6. Masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tinggal.
7. Masalah talak dan cerai di muka pengadilan.
8. Masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya
9. Masalah masa hamil dan akibat hukumnya
10. Masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak-anak setelah terjadi perceraian.
11. Masalahhakwarisbagianaklaki-lakidanwanita,termasukbagi anak dari anak yang terlebih dahulu meninggal.
12. Masalah wasiat bagian ahli waris.
13. Masalah keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.
Dalam bentuk fatwa, pengucapan tiga talak sekaligus dapat menjadi salah satu contoh permasalahan yang memiliki sisi pembaruan. Meskipun persolan ini bukan masalah baru tapi persoalan lama yang sama tuanya dengan agama Islam sendiri. Masalah ini penting dibahas karena kedudukan hukum pengucapan tiga talak sekaligus dipertanyakan apakah hal ini jatuh tiga atau satu talak saja? Ketentuan hukum yang pasti tentu akan melahirkan konsekwensi hukum atau akibat-akibat hukum selanjutnya.
Fatwa ini bertentangan dengan pandangan sebagian besar sahabat Nabi, semua empat mazhab Sunni dan Ibnu azm al-hir, yang menyatakan bahwa pengucapan tiga talak sekaligus berlaku sebagai talak tiga. Meskipun pandangan jumhur ulama lebih kuat, akan tetapi MUI lebih mengikuti pandangan ulama lain yang terdiri dari Thawus, mazhab Imami (Syi'ah), Ibnu Taymiyyah, dan beberapa fuqaha Zahiri yang menyatakan bahwa penjatuhan talak tiga berlaku sebagai talak satu.12

BAB III
MUI DAN FATWA-FATWANYA

A.Pembentukan dan Perkembangan MUI
MUI telah mengcover berbagai kelompok Islam dan pemikiran dari tradisional hingga modern. Keberagaman ini akan memperlihatkan sisi lain pembaruan hukum dalam bentuk fatwa.
B. Fungsi dan Peran Utama MUI
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI, yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (waraatul anbiy')
2. Sebagai pemberi fatwa (muft)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (riwyt wa khdim al-ummah)
4. Sebagai gerakan ila wa al-tajdd
5. Sebagai penegak amar ma'rf dan nahi munkar.
C.Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI
Pedoman dan prosedur penetapan fatwa yang ditetapkan MUI tampak pada pedoman terbaru disusun secara sistematis ke dalam tujuh bab dan setiap bab terdiri atas beberapa poin. Berikut sistematika pedoman penetapan fatwa MUI.
D.Tinjauan Umum Mengenai Fatwa-Fatwa MUI
1. Fatwa-Fatwa dalam Sidang Komisi Fatwa dan Munas Ulama se-Indonesia.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan dalam sidang komisi fatwa MUI dan Munas ulama se-Indonesia dikompilasi dan diklasifikasi menjadi empat bidang, yaitu : bidang akidah dan aliran keagamaan sebanyak 14 buah, bidang ibadah sebanyak 37 buah, bidang sosial budaya sebanyak 51 buah dan bidang pangan, obat-obatan, ilmu pengetahuan dan tehknologi sebanyak 35 buah.
2. Fatwa/Keputusan Berdasarkan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia.
Keputusan Ijtima' Ulama se-Indonesia yang dihimpun berdasarkan tahunnya dilaksanakan sebanyak tiga kali, yaitu Ijtima' Ulama Komisi fatwa se-Indonesia I pada tahun 2003, Ijtima' Ulama II tahun 2006, dan Ijtima' Ulama tahun 2009. Asrorun Ni'am Sholeh menyebutkan bahwa representasi forum ijtima' Ulama Indonesia ini merupakan bentuk ijma' ulama Indonesia. 

Oleh karena itu, aspek masalah yang dibahas pun menyangkut hal-hal strategis terkait, kehidupan sosial, bernegara dan beragama Sedangkan fatwa yang dikeluarkan berdasarkan hasil Ijtima Ulama se-Indonesia berjumlah 52. Fatwa ini diputuskan melalui ijtima Ulama I pada tahun 2003 sebanyak 13 buah, ijtima Ulama II pada tahun 2006 sebanyak 18 buah, dan ijtima Ulama III pada tahun 2009 sebanyak 21 buah.
3. Deskripsi Fatwa MUI tentang Hukum Keluarga
Secara umum persoalan hukum keluarga yang dikaji oleh komisi fatwa MUI berjumlah 12 buah fatwa. Meskipun demikian, masalah perkawinan dan keluarga dapat dikatakan lebih banyak jika lingkup keluarga diperluas pada persoalan kontemporer. Dalam tulisan Asrorun Niam Sholeh, fatwa-fatwa yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan keluarga tidak hanya mengcover ke-12 fatwa tersebut tetapi juga memasukkan masalah kontemporer lainnya yang tergolong masalah keluarga seperti; adopsi, bayi tabung, aborsi, kloning, pornografi, bias jender, Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan penggunaan organ tubuh, ari-ari dan Air Seni Manusia untuk Obat dan Kosmetika.
4.Fatwa-Fatwa yang Berkenaan dengan Perkawinan
a. Fatwa Perkawinan Campuran
Fatwa tentang perkawinan campuran diputuskan oleh MUI dalam Musyawarah Nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H bertepatan dengan tanggal 26 Mei-1Juni 1980 M. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya, maka MUI memfatwakan bahwa perkawinan campuran hukumnya haram.
b.Prosedur Perkawinan
Dalam fatwa ini, MUI tidak melahirkan produk hukum yang bersifat normatif karena disampaikan dalam bentuk pernyataan dan ajakan. Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa hari ini telah menerima pengaduan, pertanyaan, dan permintaan fatwa yang disampaikan secara langsung tertulis, maupun lewat telepon dari masyarakat sekitar masalah tersebut.
c.Nikah Mut'ah
Pertimbangan MUI adalah bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlu sunnah wal jam'ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi'ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut'ah secara khusus diputuskan bahwa nikah mut'ah itu hukumnya adalah haram, dan pelakunya harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama dimusyawarahkan dalam Munas MUI VII tahun 2005. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan MUI membahas persoalan ini dalam musyawarah tersebut, yaitu:
1) Perkawinan beda agama telah banyak terjadi dalam masyarakat
2) Perkawinan ini tidak saja mengundang perdebatan mengenai keabsahannya di tengah-tengah masyarakat muslim tetapi juga melahirkan keresahan dalam masyarakat.
3) Munculnya pemikiran di kalangan masyarakat yang membe- narkan perkawinan beda agama dengan alasan hak asasi manusia dan kemaslahatan.
4) Perlunya mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga.
Dengan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam
Munas tersebut diputuskan bahwa (1) perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. (2) perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah. Fatwa ini ditetapkan berdasarkan beberapa dalil baik al-Qur'an, dan hadis serta kaidah fiqh dan sadd al-ar'ah.
f.Nikah wisata
Istilah nikah wisata adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang ketika bepergian Oleh karena itu, dalam komisi C bidang fatwa Musyawarah nasional (Munas) VIII tahun 2010 menetapakan dua ketentuan, yaitu: (1) Ketentuan Umum bahwa dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Nikah wisata adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan. Berdasarkan ketentuan umum tersebut maka (2) ketentuan hukum dari pernikahan tersebut hukumnya haram karena merupakan nikah mu'aqqat (nikah sementara) yang merupakan salah satu bentuk nikah mut'ah.
g.Pernikahan Usia Dini.
MUI menetapkan beberapa ketentuan hukum, yaitu:
1) Pada dasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ad' wa al-wujb), sebagai ketentuan sinn al-rusyd.
2) (a) Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudarat, (b) kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
3) Guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedoman.

BAB IV

FATWA MUI TENTANG HUKUM PERKAWINAN: ANTARA PROGRESIVITAS DAN REGRESIVITAS

A. Fatwa MUI Tentang Hukum Perkawinan
ada 7 fatwa MUI tentang perkawinan yang dianalisis dalam bab ini. Di antara ke-7 fatwa tersebut ada yang memiliki persamaan secara substansial baik segi produk hukum (fikih) maupun metodologis (usul fikih). Pada fatwa tentang perkawinan campuran yang dikeluarkan pada tahun 1980 dalam Musyawarah Nasional (Munas) II memiliki persamaan dengan perkawinan beda agama yang dibahas pada rapat komisi MUI tahun 2005. 

Perkawinan mut'ah dan nikah wisata juga memiliki kesamaan secara substansial. Oleh karena itu, fatwa yang memiliki kesamaan tersebut akan dianalisis secara utuh dalam satu sub bahasan.
1. Perkawinan Campuran dan Perkawinan Beda Agama
Permasalahan pernikahan beda agama bukan persoalan yang baru muncul dalam masyarakat. Perdebatan mengenai keabsahan pernikahan ini juga telah didiskusikan dalam naskah-naskah fikih klasik. Meskipun istilah perkawinan campuran dalam konteks perundangan-undangan di Indonesia berbeda pemaknaannya dengan istilah perkawinan beda agama1 akan tetapi kedua istilah ini digunakan oleh MUI dalam fatwa-fatwanya mengandung makna yang sama. Hal ini tampak pada fatwa perkawinan campuran memuat permasalahan perkawinan beda agama antara muslim dengan non muslim.
Fatwa perkawinan campuran yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, menurut Muhammad Atho Mudzar, adalah sebagai tanggapan atas bertambahnya perhatian masyarakat terhadap makin seringnya terjadi pernikahan antaragama. Begitu pentingnya fatwa ini, sehingga pembicaraan mengenai hal ini diadakan dalam Konferensi tahunan pada Munas II MUI Tahun 1980 dan bukan dalam rapat-rapat biasa Komisi Fatwa. 

Fatwa tersebut mengandung dua pernyataan gamblang, yaitu; seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam, dan begitu pula sebaliknya bahwa seorang pria Islam tidak dibolehkan menikahi seorang wanita muslim.
Setelah melewati 25 tahun, persoalan ini kembali diangkat dalam Konferensi Tahunan pada Munas VII Tahun 2005 dan menetapkan dua diktum, yaitu: pertama, perkawinan beda agama, adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitb, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah. Dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai perkawinan beda agama sebanyak 2 kali. Pertama, pada Munas II MUI tanggal 26 Mei -- 1 Juni 1980 M bertepatan dengan tanggal 11-17 Rajab 1400 H. Kedua, pada Munas VII MUI Tanggal 28 Juli tahun 2005 bertepatan dengan bulan Jumadil Akhir 1426 H.
Apa yang difatwakan MUI mengenai perkawinan beda agama, baik yang diputuskan pada Munas II Tahun 1980 maupun Munas VII Tahun 2005, pada dasarnya tidak memberikan perubahan hukum secara signifikan. Bahkan jauh sebelum fatwa tentang perkawinan beda agama dibahas oleh MUI Pusat, masalah ini telah didiskusikan dan diputuskan oleh MUI Daerah Jakarta. 

Sebagaimana yang dicatat Muhammad Atho Mudzhar, pada tanggal 11 Agustus 1975 Majelis Ulama Daerah Jakarta telah mengeluarkan suatu pernyataan mengenai larangan bagi seorang laki-laki muslim untuk menikahi seorang perempuan bukan Islam, sekalipun yang dari ahl al-Kitb. Bahkan enam tahun setelah MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang perkawianan beda agama, pada tahun 1986 MUI Daerah Jakarta kembali menghidupkan perrmasalahan ini dan menganggap perlu untuk mengeluarkan pernyataan panjang lebar yang bertujuan untuk memberikan tuntunan bagi umat Islam.
Dilihat dari aspek pembaruan materinya dapat dikatakan bahwa isu ini telah ada sejak dahulu dan menjadi isu kontroversi dalam sejarah Islam. Ulama telah mendiskusikannya dan memerinci hukum perkawinan ini menjadi beberapa kondisi, yaitu:
Pertama, apabila perkawinan beda agama terjadi antara perempuan Islam dengan laki-laki yang non Islam, baik calon suami itu dari ahlul Kitb maupun non ahlul kitb, maka ulama sepakat hukumnya haram dan tidak sah berdasarkan QS al-Baqarah/2: 221 dan ijma yang melarang perkawinan perempuan muslim dengan pria non @muslim apapun agama dan kepercayaannya.
Kedua, apabila perkawinan itu terjadi antara laki-laki muslim dan perempuan musyrik, maka ulama juga sepakat haram hukumnya dan tidak sah berdasarkan QS. al-Baqarah/2: 221. Hanya saja konsep musyrikah ini diperselisihkan oleh para ulama. Syeikh Muhammad Rasyid Rida yang menukil pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsr al-Manr berpendapat bahwa wanita musyrikah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dari kalangan bangsa Arab karena tidak memiliki kitab suci saat al-Qur'an turun. 

Pendapat ini juga dikutip dari penafsiran klasik jauh sebelumnya, yaitu tafsir dari Imam al-abar (225-310). Sebagian ulama berpendapat bahwa agama Majusi (Zoroaster), Yahudi dan Nasrani mengandung unsur syirik sehingga diharamkan menikah dengan perempuan tersebut. Akan tetapi pandangan tersebut berubah dengan mengecualikan perempuan yang tergolong ahlul kitb berdasarkan QS al-Midah/5: 5-6. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun