Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala. Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.
Fenomenologi memberi tekanan pada keperluan melukiskan gejala-gejala tanpa prasangka. Istilah fenomenologi dipakai untuk pertama kali oleh J.H. yang menyebut fenomenologi sebagai sebuah penyelidikan kritis mengenai hubungan antara sesuatu yang lepas dari pertimbangan dan sesuatu sebagai akibat pengalaman kita. Dari beberapa pengertian di atas, jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama. Aliran fenomenologi lahir sebagai reaksi metodelogi positivistic yang di perkenalkan Comte.
Â
positivistik ini selalu mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat objektif, atas segala yang tampak secara kasat mata. Dengan demikian, metodologi ini cenderung melihat fenomena hanya dari kulitnya, dan kurang mampu memahami makna dibalik gejala yang tampak tersebut. Sedangkan fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme, yang
tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna di balik gejala itu. Fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dengan sesuatu yang sudah menjadi atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena Plato mendefinisikan fenomenologi sebagai studi tentang struktur pengalaman, atau struktur kesadaran.
Menurut Plato, fenomenologi merupakan studi tentang "fenomena", tentang penampilan suatu atau sejumlah hal yang muncul dari kesadaran pengalaman orang lain, termasuk cara kita memberikan makna terhadap hal-hal yang mengemuka dari dalam pengalaman tersebut. Apa yang kita alami terhadap orang lain termasuk presepsi (mendengar, melihat, meraba, mencium dan lain-lain), hal percaya, tindakan mengingat, memutuskan, merasakan, menilai, mengevaluasi adalah pengalaman dari tubuh kita yang terdeskripsi secara fenomenologis.
Fenomenologi mampu nengungkap objek secara meyakinkan,meskipun objek itu berupa objek kognitif maupun tindakan ataupun ucapan. Fenomenologi mampu melakukan itu karena segala dalam penerapan fenomenologis, khususnya yang berkaitan dengan fenomena keagamaan, pakar antropologi menetapkan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan.
Tidak menggunakan kerangka pemikiran tertentu untuk menilai kebenaran pandangan subyek. Hal tersebut dikarenakan tugas peneliti bukanlah menilai atau menentukan kebenaran pandangan keagamaan yang diteliti, namun mendeskripsikannya sebaik mungkin melalui perspektif penganutnya.
Pandangan keagamaan yang didapat juga tidak memerlukan penilaian. Dalam kacamata fenomenologi, semua "kesadaran" adalah "benar.
Dalam melihat fenomena atau subyek, peneliti dapat dianalogikan sebagai "murid" yang ingin memahami pandangan keagamaan suatu individu atau komunitas dan bermaksud mendeskripsikannya sesuai pemahaman individu tersebut
peneliti harus selalu mengingat bahwa tujuan utamanya adalah mengungkapkan pandangan, keyakinan atau kesadaran kolektif masyarakat terhadap suatu fenomena keagamaan. Karenanya, hendaknya peneliti menahan diri dari memberikan pendapat yang mungkin bertolak belakang dengan pandangan subyek. Konsep-konsep inilah yang akan dibawa dalam ranah komunikasi antaragama sebagai pendekatan awal dalam memahami konsepsi agama menurut kacamata penganutnya