Hal ini lebih dominan dirasakan oleh kaum pria karena tuntutan norma sosial bahwa tugas kepala keluarga adalah menafkahi istri.Â
Ketiga, mempersiapkan segala sesuatu sejak awal berdampak pada rendahnya kompromi pada pasangan.Â
Maksud dari rendahnya kompromi bukan berarti tidak ada sama sekali. Melainkan kompromi yang lebih sedikit, cenderung kurang sabar menghadapi kesalahan yang dilakukan oleh pasangan.Â
Saya pikir pemikiran ini dipengaruhi karena generasi muda mengenal konsep toxic relationship, sehingga lebih memilih untuk "lebih baik tidak menikah cepat daripada tidak bahagia dalam pernikahan".Â
Keempat, prinsip patriarki vs feminisme.Â
Pemikiran yang tidak terkendali tentang dua prinsip tersebut beresiko menuntun pada ekspektasi yang tidak realistis terhadap pasangan. Pada akhirnya berdampak pada ketidakpuasan dalam pernikahan.Â
Kelima, menikmati waktu bebas selama masih single.Â
Pencapaian karier dan sukses hidup mandiri membuat sebagai besar generasi muda tidak memprioritaskan pernikahan sebagai hal utama. Walaupun begitu, hal ini tergantung pada preferensi masing-masing.Â
Akhir kata, saya yakin bahwa semua orang memiliki versi menikah ideal yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun, sikap realistis juga dibutuhkan supaya mampu mengantisipasi berbagai hal tidak terduga jika menikah nanti.Â
Tidak masalah Anda adalah orang yang idealis atau realistis karena pernikahan mengharuskan pasangan untuk saling berkompromi mengikuti perubahan yang terus terjadi. Oleh karena itu, mengambil waktu sebanyak mungkin mempersiapkan diri dalam segala aspek bagi pasangan bukanlah hal yang egois dan anda tidak perlu merasa bersalah untuk itu.Â
Sekian.