Karena itu, apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia - Markus 10:9Â
Begitulah bunyi ayat kitab suci terkenal yang menjadi nasihat saat pemberkatan pernikahan menurut ajaran agama saya. Sebagai orang Kristen, saya yakin dan percaya bahwa pernikahan terjadi hanya sekali seumur hidup.Â
Saya pun mengidam-idamkan hal yang sama di masa depan. Oleh karenanya, saya memahami betul bahwa untuk menikah dengan orang yang tepat, maka kita pun harus memiliki ideologi yang sama tentang pernikahan.Â
Ideologi adalah kepercayaan atau nilai-nilai dasar yang diyakini oleh seseorang merupakan hal yang benar dan dijadikan sebagai landasan hidup. Sebagai contoh, ideologi negara kita adalah Pancasila sehingga sikap hidup toleransi dan solidaritas antara warga negara menjadi bentuk pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.Â
Dalam hubungan romansa, perempuan dan laki-laki telah dipasangkan sejak masa penciptaan sebagai pasangan yang sepadan. Hubungan mereka pada masa itu dikatakan bukan sebagai pasangan, melainkan penolong. Artinya, hubungan yang dibangun adalah saling mengasihi satu sama lain. Kerjasama dan saling mendukung menjadi kunci penting menjaga keharmonisan hubungan.Â
Mencapai kestabilan atau kesuksesan dalam hubungan bukan perkara mudah. Dalam perjalanannya menemui banyak masalah dan konflik untuk menyatukan dua orang yang berbeda.Â
Pada fase tersebut, fungsi krusial ideologi diperlukan sebagai pedoman nilai-nilai yang dipelihara bersama pasangan. Berikut ini merupakan daftar beberapa hal penting yang perlu didiskusikan bersama pasangan sebelum masuk dalam biduk pernikahan:Â
1. Peran GenderÂ
Peran gender yang mendasari tugas suami dan istri menjadi hal pertama yang perlu disepakati. Bagaimana gambaran tugas dan tanggung jawab pasangan kalian di kemudian hari setelah menikah.Â
Apa saja harapan kalian terhadap peran pasangan dalam pernikahan sangat krusial ditetapkan sejak awal. Tujuannya agar setelah menikah nanti kalian sudah tahu bagaimana pembagian tugas dalam rumah tangga.Â
2. Kultur
Kultur berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi yang biasanya dilakukan baik secara pribadi, keluarga, atau social circle lainnya. Tentu setelah menikah ada saja culture shock yang baru ditemui dari pasangan. Tapi tidak ada salahnya kan saling berbagi value ini sejak pacaran supaya pasangan sudah tahu sejak awal hal-hal apa saja yang kamu lakukan bersama dalam keluarga dan pertemanan.Â
Hal ini dimaksudkan melatih konformitas pasangan anda terhadap kebiasaan-kebiasaan Anda tersebut, sehingga membantu pasangan Anda mengenal boundaries Anda setelah menikah.Â
3. Spiritual
Spiritual dalam hal ini tidak melulu dikaitkan dengan agama dan religiusitas. Lebih daripada itu bagaimana kedua pasangan saling berbagi berbagai pengalaman dalam hidupnya yang dapat mengarahkan mereka membentuk tujuan pernikahan. Makna hidup seperti prinsip, nilai-nilai yang diyakini, cita-cita, dan harapan untuk masa depan penting untuk didiskusikan.Â
4. Pola AsuhÂ
Mengarungi mahligai rumah tangga dengan menginginkan kehadiran anak menjadi doa sebagai besar pasangan. Selain kebutuhan finansial untuk menjamin masa depan cemerlang, gaya pengasuhan tidak kalah penting untuk ditetapkan sejak awal.Â
Dibesarkan dalam keluarga yang berbeda, tentunya pasangan memiliki gaya pengasuhan yang berbeda pula. Gaya pengasuhan perlu didiskusikan lebih awal guna menghindari konflik mengenai cara mendidik anak di kemudian hari.Â
5. Karier
Melangkah dalam pernikahan bukan berarti meninggalkan hal-hal yang penting untuk dirimu sendiri, termasuk karir. Mungkin bagi beberapa pasangan, topik karir menjadi hal sensitif untuk didiskusikan berkaitan dengan stereotip peran gender antara suami dan isteri. Di sinilah pasangan diuji dalam hal memposisikan tanggung jawab dirinya setara atau lebih tinggi.Â
Idealis Terbentur Realistis
Siapa yang tidak mengimpikan pernikahan ideal? Kalau saja perjalanan pernikahan mulus seperti jalan tol, pasti banyak yang tidak akan berpikir dua kali untuk menjalaninya.
Dilansir dari cxomedia.id, menurut Laporan Statistik Indonesia 2024, angka pernikahan Indonesia menyusut dengan penyusutan paling tinggi terjadi tahun 2021-2023, yakni sebanyak 2 juta. Penyusutan angka pernikahan ini hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Di Jakarta misalnya, mengalami penurunan angka nyaris 4 ribu. Sementara, di Jawa Barat hampir menyentuh angka 29 ribu.Â
Penurunan jumlah warga negara yang menikah tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan turut menunjukkan fenomena yang sama.Â
Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?Â
Fenomena ini menyiratkan bahwa pernikahan bukan lagi menjadi prioritas utama dalam hidup, sehingga banyak dari generasi muda yang memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak mengejar itu sama sekali.Â
Secara psikologis, tentu ada banyak faktor penyebab seperti pengalaman hidup yan membuat trauma, ketidaksanggupan berkomitmen, dan lain sebagainya.Â
Dalam lingkup pergaulan, topik tentang pernikahan hangat diperbincangkan. Berdasarkan pengalaman obrolan dengan beberapa teman, ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan mengenai "framing takut menikah" dan alasan generasi muda menunda pernikahan.Â
Pertama, bukan pernikahan yang ditakuti melainkan dengan siapa kita akan menjalani hidup pernikahan. Karena meyakini pernikahan sekali seumur hidup, maka memilih teman hidup untuk selamanya pun perlu hati-hati.Â
Kedua, kestabilan finansial menjadi alasan utama menunda pernikahan.Â
Hal ini lebih dominan dirasakan oleh kaum pria karena tuntutan norma sosial bahwa tugas kepala keluarga adalah menafkahi istri.Â
Ketiga, mempersiapkan segala sesuatu sejak awal berdampak pada rendahnya kompromi pada pasangan.Â
Maksud dari rendahnya kompromi bukan berarti tidak ada sama sekali. Melainkan kompromi yang lebih sedikit, cenderung kurang sabar menghadapi kesalahan yang dilakukan oleh pasangan.Â
Saya pikir pemikiran ini dipengaruhi karena generasi muda mengenal konsep toxic relationship, sehingga lebih memilih untuk "lebih baik tidak menikah cepat daripada tidak bahagia dalam pernikahan".Â
Keempat, prinsip patriarki vs feminisme.Â
Pemikiran yang tidak terkendali tentang dua prinsip tersebut beresiko menuntun pada ekspektasi yang tidak realistis terhadap pasangan. Pada akhirnya berdampak pada ketidakpuasan dalam pernikahan.Â
Kelima, menikmati waktu bebas selama masih single.Â
Pencapaian karier dan sukses hidup mandiri membuat sebagai besar generasi muda tidak memprioritaskan pernikahan sebagai hal utama. Walaupun begitu, hal ini tergantung pada preferensi masing-masing.Â
Akhir kata, saya yakin bahwa semua orang memiliki versi menikah ideal yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun, sikap realistis juga dibutuhkan supaya mampu mengantisipasi berbagai hal tidak terduga jika menikah nanti.Â
Tidak masalah Anda adalah orang yang idealis atau realistis karena pernikahan mengharuskan pasangan untuk saling berkompromi mengikuti perubahan yang terus terjadi. Oleh karena itu, mengambil waktu sebanyak mungkin mempersiapkan diri dalam segala aspek bagi pasangan bukanlah hal yang egois dan anda tidak perlu merasa bersalah untuk itu.Â
Sekian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI