Mohon tunggu...
selamat martua
selamat martua Mohon Tunggu... Penulis - Marketer dan Penulis

Hobby: Menulis, membaca dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Sepotong Cermin

26 Oktober 2020   07:05 Diperbarui: 26 Oktober 2020   07:11 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai Manejer Bank Aku senang diberi label galak, Apalagi berurusan dengan Debitur. Hmmmm Aku harus tegas, teliti, jaga penampilan dan wibawa, pikirku saat itu. Bukan apa-apa, Aku tidak ingin dikadalin sama Debitur nakal. Kebanyakan dari Mereka saat mengajukan kredit dengan cara meMELAS, tetapi giliran memenuhi kewajiban MALES.

Biasanya kalau proposal Debitur tidak meyakinkan, atau Aku curigai mereka adalah Debitur nakal. Aku cukup menjawab proposal Mereka dengan batuk-batuk, maka Debitur langsung ngacir keluar ruangan.

Kondisi ini membuat kebiasaanku berubah. Punya sikap agak congkak dan arogan. Kadang-kadang Aku tega mengusir calon debitur yang kurang mampu berargumen, padahal bisa jadi bisnisnya punya prospek sangat bagus dan proposal mereka itu layak disetujui.

Demikian juga dengan gaya hidup sehari-hari Aku termasuk boros, ada fasilitas kenderaan, punya rumah, anak-anak sekolah sukses. Meskipun bekerja di bidang keuangan, Aku tidak memiliki perencanaan keuangan yang matang, baik itu untuk sendiri maupun buat keluarga. 

Pokoknya nikmati saja hidup yang serba berkecukupan ini, toh Aku kerja di bank dan masa depan sangat terjamin, siapa sih yang enggak butuh Bank, begitu kataku dalam hati.

Tiba-tiba badai menimpa Indonesia. Krisis ekonomi melanda Negeri, ada gejolak politik, Dollar berlari kencang membuat banyak Bank-bank di Indonesia berguguran. Tidak terkecuali Bank tempatku bekerja, ikut kolaps dan pindah kepemilikan. Perusahaan melakukan Normalisasi, termasuk pengurangan pegawai dan Akupun di PHK.

Hidup serasa gelap karena kejadian ini terasa sangat cepat. dan Aku pribadi sangat tidak siap, panik, bingung dan merasa kehilangan pegangan.

Dibulan pertama, situasi ini masih Aku rahasiakan dan tidak seorangpun dari anggota keluarga menyadari (menurutku sih). Aku masih tetap beraktifitas seperti biasa, berangkat ke Kantor jam 07.00 pagi, diantar sopir. 

Meskipun setelah keluar rumah bingung mau kemana. Dalam situasi galau berat seperti itu biasanya Aku berkeliling Kota. Sore hari pulang seolah-olah semuanya berjalan normal.

Bulan ke Dua, sudah ga kuat. Sopir diberhentikan dan Aku kumpulkan keluarga untuk berterus terang bahwa sudah satu bulan ini tidak bekerja. Ketika khabar itu kusampaikan, Istri dan Anak-anak terlihat kaget dan sangat terpukul. Si Bungsu menangis, sedangkan Abangnya meskipun kecewa masih berusaha menyimpan perasaannya. 

Demikian juga Istri Aku yang belum bisa menerima dan sambil tertunduk lesu terlihat berusaha tegar. Sebenarnya respon Mereka juga membuatku semakin kalut, tapi mau apalagi, sekarang semua harus menghadapi kenyataan.

Tiba saat Arisan dan kumpul keluarga besar, Aku yang biasanya sengaja datang terlambat agar disambut seperti Bankir sukses dan akan dipepet oleh Mereka yang punya kepentingan finansial. Hari itu Aku datang lebih cepat dan berusaha untuk tampil seperti biasa dan ngobrol dengan semangat yang dipaksakan.

"Aku dengar Bank tempat Kamu bekerja sudah berpindah tangan yaaa?" tiba-tiba Viktor bertanya dari jarak agak jauh. Sehingga Saudara yang lain ikut memalingkan pandangan kearahku menunggu jawaban.

"Ya betul Bang" jawabku singkat.

"Hebat! Terus jabatanmu sekarang?" tanya Viktor serasa menusuk ke jantungku.

"Ada pengurangan karyawan dan Aku memilih resign" jawabku mencoba berdiplomasi.

"Wuah, pesangonnya besar itu! Jadi Milyarder Dia sekarang" teriak bang Viktor yang membuat orang sekeliling tertawa.

"Boleh juga niiih, kebagian uang dengar" sahut Sumarlan menimpali.

"Kebetulan Aku lagi butuh modal" sambar Choky enggak kalah semangat.

"Bisalah bantu-bantu Kita bisnis kecil-kecilan" Kak Vivin ikut berkomentar.

Sepulang dari acara keluarga, Aku lebih banyak diam dan merasa terpukul. Ada penyesalan dalam diriku, kenapa setelah menghadapi kenyataan yang pahit ini masih berusaha untuk menahan gengsi dan berpura-pura hebat. 

Padahal pertemuan itu bisa menjadi momen penting untuk berterus terang, sehingga dari emphaty Mereka Aku akan dapatkan semangat baru untuk bangkit.

Memang Aku dapat pesangon lumayan, sehingga masih bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Namun tidak mungkin Kami makan uang pesangon terus menerus. 

Aku tetap harus bekerja dan yang jadi persoalan adalah Aku mau kerja apa. Untuk bertahan bekerja di Bank, mayoritas kolaps dan malah cenderung melakukan pengurangan pegawai.

Dalam menjalani kehidupan baru ini, Aku seperti orang linglung. Kebiasaan yang belum hilang adalah bangun pagi, bersih-bersih terus bersiap-siap mau pergi. Tetapi mau pergi kemana. Dunia serasa sempit, sehingga pikiran jadi buntu untuk berpikir dan melangkah.

Kalau biasanya Aku sangat sibuk, baca koran dirapel dihari Sabtu dan Minggu, Namun saat ini, momen baca koran menjadi aktifitas penting. Saat loper koran sedikit terlambat datang, hati ini gelisah seolah-olah ada yang kurang. 

Dahulu ditunggu koran untuk dibaca, sekarang menunggu kedatangan loper koran untuk segera membaca. Kalau baca koran, semua berita termasuk khabar duka, iklan dan apapun yang ada dikoran dilalap habis.Terkadang sengaja membaca secara lamban atau mengulang-ulang baca berita hanya sekedar menghabiskan waktu.

Kondisi ini tertangkap jelas oleh Istriku. Aku merasakan apa yang ada dalam benaknya, namun Ia juga terlihat bingung untuk memulai dari mana.  Akhirnya momen itu tiba, setelah sarapan pagi dan Anak-anak sudah berangkat ke Sekolah, Kami duduk Bersama di ruang tamu dengan masing-masing koran di tangan.

"Gimana Pah! Apa rencana Papa ke depan" tanya istriku memulai obrolan.

"Emmmm, masih bingung mau mulai darimana" sahutku tanpa menoleh.

"Apa sudah dihubungi kawan-kawan lama. Siapa tahu bisa membantu" lanjut istriku memberi saran.

"Kelihatannya Mereka juga mengalami kondisi yang sama" jawabku berdalih.

"Udah dihubungi belum?" desak Istriku.

"Belum sih" jawabku pendek.

"Lha kalau belum dihubungi, koq bisa menyimpulkan" kata istriku.

"Alaaaah, Paling jawabannya sama" kataku membela diri.

"Coba duu ya Pah. Paling tidak dari ngobrol bisa tukar pikiran untuk ide yang lebih baik" saran istriku mengakhiri obrolan Kami.

Memang setelah itu, Aku mencoba hubungi mantan atasan, teman kantor dan beberapa relasi. Aku tidak tahu apakah terpengaruh oleh mindsetku atau mungkin memang situasi sedang sulit, sehingga cerita yang Aku dengar juga tidak jauh berbeda. 

Tetapi  Aku sudah punya semangat untuk terus menghubungi teman-teman, mulai dari sekedar bertanya khabar, cerita tentang keluarga, pengalaman bekerja dan peluang-peluang yang bisa kuambil.

Dari beberapa orang yang Aku hubungi, memang ada yang sudah move on dan menawarkan beberapa pekerjaan diantaranya:

Distributor/ Direct selling tisu. Mantan atasan Aku punya network dengan pabrik tisu, dan menawarkan bisnis tisu. Beliau siap mensuplay harga pabrik, tetapi skema bisnisnya beli putus. Keuntungan bisa 10% - 25%.

Bisnis waralaba Kebab. Seorang mantan Debitur yang sukses dengan bisnis Kebab. Menawarkan waralaba kebab yang biasa mangkal di depan Minimarket. Aku tinggal menyediakan 70% biaya waralaba dan mencari lokasi minimarket. Keuntungan bisa 10%- 20%.

Sales Asuransi. Aku memiliki seorang teman SMA yang sukses sebagai Sales Asuransi, mengajak bergabung sebagai Sales.

Meskipun ada tiga pilihan, namun Aku merasa kesulitan untuk menentukan opsi mana yang harus diambil. Disisi lain, Aku juga khawatir bila ketiga opsi tersebut tidak mendapat dukungan dari keluarga. 

Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan adalah faktor Usia, maklum Aku kini telah berusia 48 tahun. Terbiasa jadi pegawai dan bukan Usia yang muda lagi untuk memulai pekerjaan baru.

Aku masih mencari tahu apa yang menjadi penghalang terbesarku untuk memilih!

WFH, 26-10-2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun